Skenario terburuk yang mungkin terjadi adalah, moralitas semakin berkembang sebagai formalitas dan nilai-nilai kemanusiawian semakin memudar di titik mana pun. Trompet kehancuran semakin bising dan hanya sekelumit orang saja yang menyadarinya.
Perkembangan teknologi bukan saja sesuatu yang secara signifikan mengubah kehidupan manusia, tapi juga (seperti kata Sophocles) membawa kutukan yang tersebar di belahan dunia mana pun.
Dunia menjadi serba ambivalen.
Media sosial membawa kebebasan yang mendukung demokrasi, tapi toh fanatisme pun semakin meningkat dengan alasan yang lucu. Semua orang diberi akses secara luas dengan ujung jarinya, namun seiring itu pula masyarakat menjadi semakin terkotak-kotak.
Sejauh ini, demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik. Alasan utamanya, karena demokrasi merupakan satu-satunya sistem yang secara terbuka mengakui politik sebagai arena pertarungan ego manusia.
Di tengah-tengah sistem demokrasi, kebanyakan orang justru menjadi lebih kekanak-kanakan. Kebebasan dan keterbukaan demokrasi, alih-alih dimanfaatkan untuk pertarungan yang manusiawi, malah menjadi panggung konflik yang tidak etis.
Ketika satu kelompok memutuskan bahwa nilai-nilai merekalah yang lebih benar daripada kelompok lain, dan kemudian melahirkan ekstremisme politis ... saat itulah sistem demokrasi runtuh.
Banyak orang yang mengkritik tanpa keterbukaan untuk menerima kritik terhadap dirinya sendiri. Mereka mengharapkan kebebasan, tetapi kebebasan itulah yang dijadikan dalih untuk menghancurkan kebebasan orang lain.
Beberapa orang berusaha memperbaiki hal-hal di luar dirinya dengan mengabaikan fakta betapa dirinya sendiri perlu dipedulikan. Akhirnya, alasan altruisme menjadi kekacauan lainnya yang terdengar etis.
Kini orang menjadi semakin gemar untuk berburu "kambing hitam".
Kekacauan dunia saat ini justru lebih disebabkan oleh pertarungan dengan diri sendiri yang gagal dimenangkan oleh kesadaran pribadinya, dan lalu membiarkan ego untuk menjadi majikan atas kesadaran tersebut.