Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Logis untuk Memperbaiki Dunia: Sebuah Refleksi

26 Desember 2021   15:44 Diperbarui: 26 Desember 2021   16:07 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbaikan dunia dibangun oleh perubahan-perubahan kecil secara kolektif dan terus-menerus | Ilustrasi oleh StockSnap via Pixabay

Pada mulanya, manusia tidak memiliki apa-apa selain kekuatan kecil dari tangannya yang tidak bersenjata untuk melindungi dirinya. Manusia sama tidak berdayanya seperti kelinci yang diterkam singa, harimau, atau serigala.

Nenek moyang kita kiranya menerima hukum alam dengan pasrah bahwa mereka memang senantiasa akan dibayang-bayangi oleh bahaya dari hewan-hewan yang lebih unggul ketimbang mereka.

Namun, evolusi mengubah segalanya.

Berkat anugerah ketajaman intelegensinya, manusia telah melengkapi dirinya secara artifisial dan membuatnya sangat efektif. Jika ingin digambarkan secara berlebihan, manusia berada di puncak piramida bumi, dan mungkin semesta.

Dunia berkembang ke arah yang, secara sekilas, tampak baik. Angka harapan hidup semakin meningkat, sumber daya alam semakin tereksplorasi, sekat geografis seolah memudar oleh gelombang sinyal yang melayang-layang di atas kita; semuanya serba praktis dan mudah.

Tetapi, di balik semua kemajuan yang mengagumkan itu, ada banyak nyawa yang tak terhitung sebagai korbannya. Bahkan bagi mereka yang bertahan hidup, kebahagiaan dan ketenangan mereka berada di ambang batas nihilisme.

Mengapa dunia menjadi ruang yang dipenuhi paradoks semacam itu? Ada banyak jawaban yang mungkin dapat memuaskan kita, tetapi saya tidak akan membahasnya di sini karena saya tahu, jawaban saya hanya akan mereduksi kompleksitas permasalahan.

Yang jelas, kemajuan yang luar biasa ini membawa konsekuensi yang tidak terelakkan: bencana perubahan iklim, pandemi global, kehancuran ekologis, keruntuhan sistem global, penyalahgunaan AI (mungkin termasuk metaverse), dan ancaman perang nuklir.

Ah, tentu saja, saya sama sekali tidak punya kapasitas untuk mengupas semua permasalahan tersebut. Tetapi satu hal yang agak-agaknya menjadi akar dari semua itu adalah, kematangan budaya kita telah merosot.

Sesungguhnya, itu normal. Maksud saya, sejarah peradaban manusia memang kerap berjalan demikian seperti keniscayaan siklus yang berputar. Namun kemerosotan yang kita rasakan sekarang ini, ironisnya, semakin cepat dan nyaris tidak dapat dikendalikan lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun