Sekali lagi, demokrasi kita tercemar oleh peristiwa-peristiwa yang serupa. Demo yang belakangan meletup di banyak tempat semestinya menjadi bahan evaluasi dan alarm bising yang menggetarkan nurani pemangku kekuasaan.
Menurut saya, mereka terlalu fokus menangani hal-hal yang bersifat "melangit" sehingga mereka gagal untuk membumi dan merangkul orang-orang yang sebelumnya telah membuat mereka bisa "melangit".
Mereka dengan gigih membangun atap bangsa ini, tapi toh bagian dasarnya saja belum diselesaikan dengan baik. Padahal kesejahteraan dibangun dari sana; dasar dan motorik dari sebuah sistem.
Pelaku berdalih bahwa tindakannya itu hanyalah refleks. Tetapi dengan begitu, saya kembali bertanya-tanya tentang mengapa refleks yang muncul adalah "pembantingan".
Refleks biasanya muncul ketika kita merasa tidak aman atau adanya sesuatu yang dirasa membahayakan kita. Jika sesuatu mendekati mata saya, maka refleks yang saya tunjukkan adalah menutup mata.
Jika bola basket meluncur keras ke wajah saya, maka dengan refleks saya akan berusaha menangkisnya dengan tangan. Tetapi jika pelaku "refleks membanting" pendemo, apa yang membuatnya merasa tidak aman?
Apakah pelaku (sekadar) habis kesabaran atau termakan emosinya sendiri?
Refleks tertentu juga dapat muncul karena kita terbiasa melakukannya. Contoh, seorang kiper berlatih menangkap bola dengan gaya jatuh tertentu, maka ketika pertandingan, dia akan mempraktikkan gaya jatuh tersebut secara otomatis.
Apakah mungkin pelaku tersebut (memang) sudah terbiasa melakukan tindakan tersebut, sehingga refleks yang muncul di kala itu adalah "membanting" (manusia)?
Dan lagi pula, ajaib juga di mana korban sedemikian semangat dan "beringas" ketika di jalanan, tapi kemudian seperti luluh dan hanya bilang, "Saya tidak mati. Saya masih hidup dan sedikit pegal-pegal saja."
Ah, baiklah. Ternyata pegal linu bisa memengaruhi kadar emosional.