Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Membanting" Pendemo: Dapatkah Berlindung di Dalam Bungkus Wewenang?

14 Oktober 2021   17:56 Diperbarui: 14 Oktober 2021   18:05 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan saya tahu apa yang Anda pikirkan ketika membaca paradigma "menang-menang", lantas Anda bertanya, "Bagaimana kita mengakui kemenangan jika tidak ada pihak yang kalah?" Anda benar, tapi bukan seperti itu cara membacanya.

Paradigma menang-menang di sini saya maksudkan sebagai cara pandang yang terbentuk atas kesadaran kedua pihak akan pentingnya mencapai tujuan masing-masing tanpa mengabaikan prinsip kebersamaan.

Tapi toh paradigma demikian belum melekat dalam pemikiran mereka (bahkan kebanyakan orang), barangkali karena kejernihan pikiran mereka dibuat kacau akibat panasnya udara siang yang menyulut api emosi mereka.

Demokrasi memang menyediakan wadah untuk konflik, ketegangan, pertentangan, dan duel ... tetapi dalam konteks intelektual. Ketika semua itu beralih ke konteks yang lain, demokrasi hanyalah payung yang dibentangkan di teriknya padang Sahara.

Saya sudah bosan mendengar kekerasan fisik yang dibungkus atas nama legalitas, hukum, dan wewenang.

Tindakan "membanting" itu sebenarnya bukanlah hukuman yang bersifat represif, melainkan sebuah aktivitas amoral yang dibungkus selimut wewenang (sehingga terkesan legal) dan dimaksudkan agar "yang lain" takut atau tidak melanjutkan tindakannya yang melanggar hukum.

Tetapi justru, "yang lain" itu semakin memberontak sebab yang mereka hadapi bukanlah benda mati, melainkan manusia yang sadar bahwa dirinya sedang dikenai ketidakadilan, maka pemberontakan tidak bisa diberhentikan.

Saya pikir, aparat keamanan hadir tidak hanya untuk mengawasi, mengikuti perintah atau menjalankan hukum serta kewajiban. Mereka juga hadir untuk menggapai kedamaian dan kebenaran. Mereka ada untuk menciptakan ketertiban.

Jadi, apakah "membanting" manusia bisa diselimuti legalitas? Di mana poin "memanusiawikan tata kelola hidup bersama dan membela tata damai dengan makna yang sedalam-dalamnya"?

Saya malah berpikir lebih jauh bahwa mungkin saja kejadian semacam itu juga terjadi di sudut lain yang tersembunyikan dan sama sekali tidak terjangkau kamera yang merekam. Tentu itu menjadi permasalahan berikutnya yang kita pertanyakan dengan kemirisan.

Dan lebih ironisnya lagi, peristiwa amoral tersebut sampai ke pembicaraan bangsa luar seolah-olah angin bertiup membawakan dengung berita "pembantingan manusia" di jalanan Indonesia. Lantas mereka bertanya, "Ada apa dengan cinta Indonesia?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun