Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat (Cinta) Teruntuk Gadis Safir

9 Agustus 2021   17:00 Diperbarui: 9 Agustus 2021   17:54 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melihat planet Neptunus di kedua bola matamu ... biru sebiru safir yang terkandung milyaran tahun di perut Bumi. Di sana terdapat kerumitan yang belakangan kusadari sebagai cerminan dari perasaanku yang tidak pernah terjelaskan padamu.

Tidak ada yang lebih indah dari matamu, aku berjanji. Pada kedalaman matamu yang biru jernih, Tuhan bercermin atas diri-Nya yang Maha Sempurna. Ketika engkau menengadahkan kepalamu pada bintang-bintang, mereka hanya akan melihat keindahannya sendiri.

Aku menyukai batang mahoni yang tumbang di tepi danau Savero ... malam ketika kita duduk di bawah hujan bintang yang gemilang, dengan dengkuran burung hantu dan ocehan kolibri, ilalang yang bercahaya oleh kepulan titik kunang-kunang pada musim gugur.

Gemercik air danau yang lembut membuatmu tidak sabar dan berteriak, "Sirius!" Dan jarimu menunjuk pada cahaya mungil nan terang itu di kepekatan langit malam, lantas engkau memaksaku untuk turut melihatnya dan aku berputus asa.

Tentu aku tersenyum dan masih tidak tahu apa yang harus kukatakan, tetapi engkau menyela, "Bagaimana angin dapat meredupkan nyala bintang, sedangkan mereka terlalu indah untuk dipadamkan?"

Pada malam yang hangat itu, kuputuskan tentang liciknya seekor capung jingga yang dengan nyamannya hinggap di rambutmu yang lurus terurai. Dia menyaksikan Dewi Malam di atas kepalamu, sementara ragaku tidak bisa melakukan hal serupa.

Intuisiku bisa merasakan gerak-gerik bola matamu yang mencari keindahan di samping Sirius. Seperti yang selalu bisa kuramalkan, engkau menepuk lenganku lagi dan berseru, "Canopus!" Telunjukmu mengarahkanku pada arah jam 11, dan aku lihat keindahan itu.

"Tahukah kau bahwa seberkas sinar dari Canopus yang kita lihat sekarang ini adalah cahayanya dari masa 700 tahun yang lalu?" tanyamu dan segera kujawab dengan anggukan kepala yang menggembirakan. Aku tahu itu, dan aku lebih tahu tentangmu.

Kita sedikit berdebat tentang apakah cahaya Canopus itu kuning atau putih. Tetapi setelah kita meredamkan diri dengan berputus asa pada mata, kita mulai melihatnya dengan hati.

Pada akhirnya kita sepakat ... bahwa tidak satu pun dari bintang-bintang yang bersinar kuning atau putih, sekalipun merah. Semua cahaya yang kita saksikan di alam semesta ada pada diri kita masing-masing dengan kilauannya yang lembut nan mengagumkan.

Ah! Tiupan angin musim menggelitikku dengan lemah. Lantas kau berbisik padaku, "Hanya dengan hati, kita bisa melihat keajaiban yang tak tampak oleh mata."

Aku bisa melihat raut kelegaan dari wajahmu setelah sebelumnya begitu masam. Kau bilang Canopus adalah bintang spesialmu, tetapi itu membuatku bertanya-tanya tentang arti kehadiranku yang kala itu berada di sampingmu dengan besar hati.

Siapa aku dalam pikiranmu, Gadis Safir? Apa arti "duduk di sampingmu" ketika aku benar-benar ada di sana?

Aku iri pada bintang Canopus yang selalu engkau kagumi di langit malam tanpa kepastian apakah itu benar-benar dia. Canopus ada dalam relung hatimu yang terdalam dengan cahayanya yang engkau kasihi sebesar kasihmu pada daun-daun tabebuya.

Engkau katakan padaku dengan sendu bahwa Canopus bukan yang paling terang, tetapi cintamu padanya tidak pernah membutuhkan kilauan apa pun karena pada dirinya sendiri, cinta itu bersinar.

Sejenak terbetik ide bahwa jika aku adalah Canopus ... akan kutunjukkan dengan penuh kesopanan bahwa Canopus tidak pernah tulus padamu dan bahwa cintaku padamu jauh lebih murni daripada sinarnya yang engkau agung-agungkan selama ini.

Seandainya aku hanyalah seorang pesulap murahan dengan topi bodohnya, akan kuarahkan tongkat sihirku pada dadamu untuk membuatnya sesak sejenak. Tidak akan ada air mata yang mencacimu.

Tetapi jika tidak tertahankan, kumohon untuk tegarlah seperti sebatang kaktus yang berdiri kesepian di tengah kesunyian Padang Sahara.

Angin malam yang sedari awal membuat mataku perih telah pergi, menyingkap gemerlap cahaya tak terjelaskan di atas kita, lalu engkau bersorak gembira tentang gugusan Bima Sakti yang pada dasarnya cukup mustahil untuk terlihat dari tempat kita duduk kala itu.

Gadis Safir yang segalanya bagiku, apakah ada penglihatan yang lebih hebat daripada melihat unsur-unsur kehidupan melalui gerakan murni?

Cintaku tidak pernah bisa terjelaskan, tetapi dapat kumengerti dengan sempurna. Orang bilang, jatuh cinta itu membuatmu gila. Maka, apa yang bisa dipahami oleh si gila tentang cinta yang sedang merangkulnya?

Beberapa kali kukatakan pada mereka bahwa jatuh cinta ... adalah kegilaan yang paling mengasyikkan untuk dinikmati.

Engkau bukan hanya sinar pelangi yang satu-satunya kuketahui bisa berkilauan di kala malam, tapi engkau juga matahari yang menerangi, menghangatkan, dan lagi menghidupkan. Inilah engkau yang apa adanya, dan aku adalah pria sederhana yang memujamu.

Malam itu, aku mencintaimu dengan cara yang belum engkau ketahui seperti rotasi Uranus di tata surya kita. Engkau bukan sekedar cincin Saturnus yang tampak indah dari kejauhan, engkau juga aurora yang amat suka dengan kegelapan malam.

Siapa pun yang bisa memandangimu dari jarak 30 cm dan menemanimu di kehangatan malam musim gugur, adalah manusia beruntung yang menang taruhan di meja perjudian. Perlu kau sadari bahwa aku adalah dadu terpilih dari lemparan acak takdir semesta.

Cintaku tidak akan berhenti secepat ia mula-mulanya datang. Percayalah padaku, tidak ada sesuatu pun di atas bumi yang bisa didapat tanpa usaha, bahkan cinta, yang terindah dan perasaan yang alami ini sekalipun. Aku bukan hanya beruntung, tapi juga pemenang.

Aku mengenalimu dalam seluruh keindahan yang mengitariku, di dalam warna pucat sang Dewi Malam, di dalam wewangian danau yang tawar, di dalam nada harmonis siulan angin pada kalanya: semua itu berarti bagiku sebagai wujud cintaku.

Engkau begitu mengagumkan dalam segalanya; itulah yang cintaku katakan pada malam itu. Aku sadar bahwa aku mengagumi ... keseluruhanmu!

Aku selalu ingin tahu tentang keindahan mata safirmu, tapi tak pernah kutatap kedalamannya lebih dari 10 detik. Di sana juga mengerikan ... tempat di mana aku melihat seseorang yang lain sedang bersemayam dengan kekar.

Tetapi jauh darimu pun sama-sama menyakitkan. Ketika engkau tiada di dekatku, aku merasa seperti sebongkah kanvas kosong yang menanti coretan sang pelukis yang tak kunjung datang. Pada akhirnya, kanvas itu tidak pernah melukiskan apa pun.

"Aku kedinginan," keluhmu dengan raut lemah dan pucat. Apa yang kuingat ketika itu hanyalah tentang keinginanku yang meronta-ronta untuk terucap seakan-akan dunia akan berakhir pada esok hari dan bahwa keterlambatanku sama dengan kehancuran semesta.

Jika kau masih ingat, aku mengenakan mantel hangatku pada pundakmu dan kuselami kedalaman mata safirmu dengan berani. Ketika di lautan biru itu kulihat pantulanku sendiri, aku mulai gugup seakan seseorang telah lebih dulu ada dalam pantulanmu.

Sekali lagi, intuisiku tidak keliru.

Ketika aku mengungkapkan kemurnian cintaku dengan kata-kata yang miskin, engkau hanya menanggapinya dengan tangisan ... pertanda yang pada akhirnya kusadari sebagai gelengan kepala dan penolakan.

Seketika itu, semestaku gelap total. Tidak kulihat retak-retak di atas langit, melainkan adanya tubrukan yang teramat dahsyat dalam diriku di antara tangisan dan senyuman. Bagaimanapun juga, aku memilih tersenyum; keputusan yang jelas munafik untuk orang sepertiku.

Engkau berusaha menjelaskan alasanmu dengan terbata-bata, sesuatu yang pastinya aku tolak dengan kelembutan. Aku sama sekali tidak tertarik untuk tahu, dan kenyataannya, aku hanya sedang bertarung dengan air mataku sendiri yang begitu memedihkan bagi mataku.

Ketika alam semestamu hancur, engkau tidak akan sempat lagi untuk bertanya "mengapa", sebab perasaanmu akan merespons mendahului rasio. Dalam artian, engkau hanya akan menangis dan tidak bisa memikirkan apa pun yang barangkali lebih penting dari itu.

Aku tahu tentang betapa marahnya kau saat itu. Kau berlari menjauhiku dengan terisak-isak seperti daun tabebuya yang terbang berserah pada badai salju yang dingin, meninggalkanku sendiri di batang mahoni tua nan rapuh, mengabaikan bintang Canopus yang semakin terang.

Harus kuakui, aku merasa lega ketika itu. Meskipun engkau pergi menghindariku, dan mungkin untuk selamanya, aku merasa puas telah mampu mengungkapkan kedalaman cintaku.

Cinta yang kumiliki tidak pernah bersyarat, Gadis Safir, maka kuterima dengan sepenuh hati keputusanmu itu. Hanya saja, dapatkah engkau mengubah keadaan ini bahwa seluruh dirimu bukanlah milikku, dan aku pun tidak dapat memiliki dirimu seutuhnya?

Engkau adalah lentera mungil kehidupanku yang kini telah kupadamkan secara sukarela. Sekitarku telah gelap seperti ruang hampa yang terbentang antara Bumi dan Dewi Malam.

Satu-satunya cara untuk terbiasa hidup dalam kegelapan adalah dengan menghancurkan satu-satunya cahaya yang kau miliki. Itulah yang kulakukan, begitulah ironi kehidupan.

Di tengah gemetarannya jari-jariku sekarang ini, aku berhenti mencintaimu. Apa yang selama ini aku kira sebagai cahaya ternyata hanyalah ilusi semacam sihir, di mana aku mempercayainya dengan penuh kasih dan ia mengkhianatiku dengan pedih.

Engkau adalah kupu-kupu terindah yang aku pikir bisa kumiliki. Dan ada sesuatu yang telah kulupakan tentang kupu-kupu, bahwa semakin engkau mengejarnya, semakin ia menjauhimu. Konon, engkau mesti menjadi sekuntum mawar untuk bisa memikat kupu-kupu.

Setelah aku menjadi mawar yang mekar bersama fajar di musim dingin, legenda itu tetap tidak benar. Aku punya banyak duri yang tumbuh di kelopakku, Gadis Safir! Engkau terluka ketika mendekat, dan engkau menjauh ketika berdarah.

Kini akan kusampaikan tentang rencanaku selanjutnya sembari menunggu kematianku. Aku akan mengembara ke arah Barat yang sama sekali tidak kuketahui daerah apa yang kusinggahi. Katanya di sana lebih sepi, dan aku mulai cinta kesunyian.

Aku ingin pengembaraanku seperti gelandangan. Dengan membusuk di antara sampah-sampah dan pengemis, aku akan bertanya pada lalat-lalat tentang cara menjadi mawar yang tanpa duri.

Aku ingin seorang penggoda, aku ingin not-not yang amat dibenci harmoni nadanya. Aku ingin penghormatan, cercaan, kerapuhan, keabadian ... aku ingin kebodohanku seperti dulu, saat ketika satu-satunya yang kutahu hanyalah keajaiban alam semesta.

Siapa orang yang ada dalam hatimu, Gadis Safir? Akan kuajarkan dia tentang rahasia kehidupan agar engkau merasa nyaman dengannya, dan biarlah diriku ini mengembara sejauh mungkin hingga aku belajar tentang caranya mencintai bintang Canopus.

Tidak ada lagi rasa iri maupun kekesalan yang membakar nurani. Yang ada hanyalah peng-iya-an terhadap hidup; sikap ketika engkau bisa menerima apa pun yang telah termaktub untukmu dengan kegembiraan dan ketabahan.

Ah! Biarlah kuucapkan terima kasih padamu ... teruntuk Gadis Safir yang mata birunya sempat menjadi semesta mungilku di tengah kedinginan malam tanpa bintang-bintang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun