Mereka tidak lebih bahagia dari sebelumnya. Mereka tidak terkejut dan malah terkesan jenuh dengan keberhasilan mereka sendiri. Belakangan saya menyadari ironi tersebut ketika saya benar-benar mengalaminya. Ini seperti, "Nah, lalu apa lagi?"
Saya seperti sampai di sebuah jalan buntu yang selama ini telah saya impikan dan idam-idamkan.
Apa yang kemudian saya sadari adalah, bukan impian itu yang terpenting, melainkan apa yang akan kita lakukan setelah mimpi itu tercapai.
Katakanlah Anda bermimpi menjadi seorang aktor terkenal. Pada suatu waktu, Anda mewujudkannya dan berada di puncak ketenaran. Jika Anda termasuk orang yang seperti Joe, saya jamin, ketenaran itu tidak akan mengandung makna apa pun bagi kehidupan Anda.
Berbeda seandainya Anda telah memutuskan hal-hal apa saja yang ingin Anda lakukan dengan keberhasilan mimpi tersebut jauh sebelum Anda menumpahkan setetes keringat perjuangan. Puncak ketenaran Anda akan menjadi rantai kebahagiaan dan bukan akhir.
Sekarang bayangkan lagi seorang kaisar yang mati-matian memimpin pasukannya untuk mengalahkan musuh. Perang berlangsung sengit dengan diakhiri kemenangan oleh pihak sang kaisar.
Jika sejak awal mereka tidak punya tujuan, lantas untuk apa kemenangan yang melelahkan tersebut?
Kehampaan para penakluk mimpi sering terjadi karena mereka melewatkan rahasia tersebut. Mereka hanya tahu apa yang mereka perjuangkan, tetapi tidak tahu sama sekali tentang apa yang akan terjadi dengan akhir dari perjuangan tersebut.
Bagi orang-orang seperti Joe, ironisnya, mimpi mereka akan lebih baik jika tidak pernah tercapai. Mimpi mereka hanya akan bermakna ketika angan-angan mimpi tersebut tetap bercokol di pikiran mereka. Dalam artian, sekadar cukup untuk menjadi pemicu semangat.
Sebab andaikan mereka mewujudkan mimpinya, mereka hanya akan mendapati kehampaan.
Inilah mengapa kita perlu tersadar lebih awal tentang pentingnya menetapkan makna dari mimpi kita. Dengan sentuhan keperihan bawang: impian kita tidak mendefinisikan kita. Cara kita menjalani hiduplah yang mendefinisikan siapa kita.