Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kesadaran Terakhir di Planet Gosong

22 Juli 2021   20:10 Diperbarui: 22 Juli 2021   21:22 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku memandangi planet gosong itu dan hanya akulah satu-satunya sisa kesadaran di alam semesta | Ilustrasi oleh Susan Cipriano via Pixabay

Chiron duduk sekitar 3 meter di depanku dengan kepulan asap rokoknya yang menjijikkan. Asap itu menyatu dengan kabut tipis nan rendah yang menyelimuti sekitar kami, seakan-akan memberitahu bahwa pegunungan punya daya untuk melawan pada apa pun yang mencemarinya.

Kuresapi udara sejuk ini dengan diselingi kicauan burung kolibri dan pertunjukan keindahan surga dari cenderawasih. Sinar mentari yang temaram masuk lewat celah-celah pohon cemara, sebagian di antaranya benar-benar menyorotiku seperti pertunjukan sirkus pada Abad Pertengahan.

Aku tidak tahu pukul berapa sekarang, yang jelas bagiku adalah permukaan bulan yang mulai tampak tertutupi awan cirrocumulus. Beberapa burung walet juga berlalu-lalang seperti sedang mencari sesuatu yang amat penting, mungkin semacam rahasia semesta.

"Duduklah senyaman mungkin," ujar Chiron sembari mematikan rokoknya. Dia duduk di atas hamparan rumput kering dan lembut sepertiku, bermandikan cahaya senja yang masih terang.

Aku segera menuruti seruan guruku. Perlahan kuluruskan tulang punggungku dan memeragakan duduk ala pertapa. Mungkin ini akan menjadi semacam meditasi yang membingungkan, sebab Chiron tidak memberitahuku apa tujuan "ritual" ini.

Dalam Tradisi, seorang murid sepertiku harus punya kerendahan hati untuk mengakui kelemahan diri. Tetapi guru yang terbaik adalah mereka yang juga rendah hati serta tidak angkuh dalam menunjukkan kelebihannya. 

Dan murid terbaik adalah mereka yang bisa mengungguli gurunya secara terhormat.

Itulah mengapa hubunganku dengan Chiron lebih mirip seperti hubungan dua orang sahabat daripada hubungan guru dan murid. Aku senang, dia juga tidak pernah segan untuk menunjukkan kekurangannya, termasuk kecanduan merokok.

"Sekarang buat tubuhmu rileks," katanya. "Cobalah untuk mengosongkan pikiranmu."

Aku segera memejamkan mata dan memusatkan perhatian pada suara napasku sendiri. Perlahan tapi pasti, tidak kudengar lagi dengkuran burung hantu atau ocehan burung kolibri, pun tidak kulihat lagi kemalangan burung walet yang tersesat.

Apa yang ada hanyalah diriku sendiri bersama seluruh alam raya.

"Rasakan nikmatnya anugerah kehidupan," tuntun Chiron yang kini seperti sedang berbisik kepadaku. Suaranya begitu persis dengan suara hatiku yang lembut hingga aku sendiri tidak merasa terganggu olehnya.

"Biarkan hatimu terbang bebas dan dipenuhi rasa cinta; biarkan hatimu lepas dari segala masalah yang menimpamu. Senandungkan lagu dari masa kecilmu. Bayangkanlah hatimu sedang bertumbuh hingga memenuhi muka bumi seperti pancaran sinar matahari yang meluas."

"Ketahuilah bahwa dalam kehidupan ini, terdapat beberapa macam cinta yang tidak mudah dibedakan. Raihlah cinta tertinggi atas bisikan hati nuranimu. Tidak seorang pun yang mengetahui apa itu cinta, tetapi setiap orang mesti merasakannya."

"Lihatlah dunia sekelilingmu. Cinta tidak mengenal bentuk atau wujud pasti. Engkau bisa menemukannya dalam sebongkah batu yang kasar, atau dalam sebilah pisau yang pernah digunakan pembunuh bayaran, atau dalam selembar daun tabebuya yang mengapung di danau berlumut."

Aku tenggelam dalam kesadaran yang bisu dan aneh. Aku lelah tapi rileks; aku merasa bebas serta bahagia dengan hidup dan dengan segala hal yang telah kualami. Aku merasa tanganku terbentang hingga mencapai surga dan hendak memetik buah terlarang.

Tapi tiba-tiba, aku merasakan kehangatan yang semakin menguat. Atmosfer di sekitarku terasa panas seperti sedang duduk di tengah-tengah kebakaran hutan. Apa yang salah denganku? Bahkan aku belum sempat menyentuh sedikit pun buah terlarang itu.

Aku membuka mataku, dan betapa sesaknya dadaku di detik pertama. Bola mataku nyaris terlepas saat melihat bumi yang sangat asing bagiku. Aku bersungguh-sungguh: ini bukanlah bumi yang pernah kukenal!

Aku berhadapan dengan hamparan daratan yang telah rata seperti samudra tanah. Tidak ada Gunung Antares yang sedang kupijaki sebelumnya. Dan itu berarti, tidak ada lagi Chiron yang sedang mengisap rokoknya serta seluruh burung yang menemani ketenanganku.

Seluruh badanku gemetar hingga aku begitu yakin bahwa aku belum pernah merasa setakut ini. Cucuran keringat dingin mengiris dengan perih di pelipis mataku. Rambut basah, tetapi tidak kucium bau asin. Bau yang menyengat hidungku sekarang hanyalah bau gosong. Betapa pahitnya!

Semua yang ada telah hancur! Apa yang ada di depanku adalah sebuah planet yang telah hancur berceceran seperti genangan air mungil yang terinjak seorang anak gemuk.

Mungkin sebuah asteroid besar telah menabrak Bumi dan memusnahkan seluruh umat manusia, juga semua vertebrata, setidaknya yang hidup di darat. Aku tidak tahu lagi apakah seluruh samudra yang kukenal telah turut mengering, atau masih mengalir deras.

Aku terus memandangi sekitar dengan perasaan berang bercampur histeris. Ke mana seluruh kehidupan itu? Apa yang telah terjadi? Mengapa aku tidak ikut musnah? Aku sangat ingin menjerit sekeras mungkin, tetapi kerongkonganku terhambat oleh air mata yang amat perih.

Semua hal yang sebelumnya sangat mengagumkan, kini berubah menjadi lautan benda-benda gosong hingga atmosfer di atasku diselimuti kabut gelap yang begitu tebal. Tidak ada gertakan petir atau gemuruh guntur; satu-satunya yang ada hanyalah kesunyian yang mencekik.

Aku berjalan pelan untuk mengelilingi planet yang hangus terbakar ini. Aku ingin tahu apa yang telah terjadi. Apakah di sana masih ada seseorang yang masih hidup sepertiku?

Menilik dari kemuraman nan menyedihkan ini, aku semakin yakin bahwa serangan asteroid telah memusnahkan hampir semua kehidupan, seperti yang terjadi di antara masa periode Kapur dan Tersier, atau antara periode Permian dan Trias.

Sejarah telah mengenang bangsa dinosaurus dari bencana dahsyat tersebut, tetapi kali ini tidak ada seekor mamalia pun yang tersisa di hadapanku. Siapa yang patut dipersalahkan atas semua kehancuran ini?

Bayangkan betapa ironisnya! Akulah satu-satunya manusia yang hidup!

Matahari yang sekarang amat merah muncul jauh di depanku seperti seorang penjahat yang menantang seorang pahlawan. Aku memandanginya dengan penuh kejengkelan dan mulai menangis sekeras-kerasnya.

Aku tidak perlu malu lagi untuk menangis; tidak akan ada siapa pun yang akan mendengar atau melihatku menangis.

Atas rasa kemurkaanku, aku berlari secepat mungkin ke arah sinar matahari yang menyengat. Dalam puncak kecepatanku, mendadak seluruh badanku melayang tanpa kendali, seperti senoktah debu kosmik yang tertiup angin penghancuran.

Aku terbang seperti sebongkah pesawat yang dikendalikan oleh remot, mengelilingi planet yang hangus tak tersisa, tetapi tidak kulihat benua-benuanya. Jelaga dan abu beterbangan ke atas memenuhi atmosfer, maka atmosferlah yang jelas-jelas rusak parah.

Aku melihat sekeliling dengan mata terbelalak. Aku harus melihat apa yang terjadi di planetku. Tidak ada yang lebih buruk dari ini; itu pasti!

Tubuhku semakin tidak terkendali dan terbang tinggi menembus batas horizon. Aku merasa seperti sepercik ruh yang tercerabut dari raganya, dan karena itu aku tidak terkekang oleh hukum fisika. Aku melayang-layang di ruang hampa, terjebak dalam kegelapan yang amat kelam.

Satu-satunya yang kulihat adalah batu marmer hitam raksasa yang kedinginan di tengah kesunyian total nan gelap. Ia teramat kesepian dan terpisah dari bintang terdekatnya, Alpha Centaury, sekitar 4,3 tahun cahaya atau sekitar empat puluh triliun kilometer.

Sekarang planet itu tidak biru lagi: gosong dan berhenti berevolusi maupun berotasi. Planet itu sudah mati, dan aku masih belum tahu apa serta siapa yang mematikannya. Apa yang kutahu, planet itu sudah bukan lagi Bumi yang kukenal!

Aku merasa seolah-olah menyatu dengan segala lanskap yang ada di sekitarku. Seketika terbetik ide bahwa aku itu jauh lebih mulia dari sekadar ego yang malang; bahwa aku bukanlah sekadar diriku.

Aku juga adalah seluruh daratan yang pernah kulihat, pun semua samudra, malah juga segala hal yang ada dari mulai kutu kecil hingga bintang-bintang di Bima Sakti. Segalanya adalah aku, dan aku adalah segalanya.

Baru kumengerti tentang makna keabadian. Ketika diriku sendiri tercerabut dari waktu, sekonyong-konyong ragaku akan terpecah-pecah menjadi butiran kecil atom dan menyatu dengan atom-atom lain, mungkin di keempukan belalai gajah atau kelembutan bulu kucing.

Kematian itu tidak ada! Yang ada hanyalah siklus abadi kehidupan!

Diriku semakin tidak terkendali. Aku mencari-cari siapa yang bertanggung jawab atas remot pengendaliku, tapi yang kulihat sekarang hanyalah ketiadaan cahaya yang mengerikan dan ruang hampa yang hanya dibaluti materi gelap.

Dari jarak yang sangat jauh, aku bisa melihat planetku dulu yang sekarang tampak tidak memesona. Tapi di kala itu sangat berbeda! Di titik kosmik itulah, aku, kau, dia, dan mereka tinggal. Di situlah kita berada!

Di sanalah orang-orang yang kita sayangi hidup, dihiasi oleh pernak-pernik pertemuan hingga perpisahan yang tidak terkira keindahannya. Di sanalah kita mengenal kebahagiaan dan penderitaan. Di sanalah kita melihat peperangan dan perdamaian.

Akan tetapi, sekarang planet itu sudah hancur! Apa yang tersisa hanyalah jasad remuknya yang tiada guna.

Tapi renungkanlah. Kita sempat tinggal di sana, pada sebutir debu yang mengapung di pancaran sinar mentari. Seperti ucap Carl Sagan, "Bumi adalah panggung yang sangat kecil di luasnya arena kosmik."

Pikirkanlah sungai darah yang tumpah oleh para jenderal dan kaisar, sehingga dalam kemuliaan dan kemalangan, mereka bisa menjadi "tuhan" sesaat di sebagian kecil dari sebuah titik pucat alam raya.

Pikirkanlah kekejaman tak berujung yang dihadirkan oleh penghuni salah satu sudut titik itu kepada penghuni lain yang hampir tak ada bedanya di sudut titik lain. Pikirkanlah gedung-gedung pencakar langit yang mencapai awan, dan kecanggihan teknologi yang merepotkan manusia.

Aku pikir, membayangkan diri kita sebagai orang penting amatlah naif. Kita bukan hanya senoktah kosmik yang angkuh, tapi juga sampah alam raya! Tetapi kemampuan manusia akan berimajinasi punya hak istimewa di alam semesta.

Kita ditantang oleh setitik cahaya pucat itu! Planet kita adalah satu titik kecil yang kesepian dalam gelapnya bungkus kosmik. Dan bayangkan jika di luar sana tidak ada lagi planet yang bisa dijadikan rumah kedua.

Maksudku, lihat sekarang dalam kacamataku! Semua planet hidup normal dan hanya Bumi yang benar-benar gosong di hadapanku! Apa yang bintang-bintang inginkan dariku, seorang pria dungu yang sebelumnya sedang bermeditasi di kaki Gunung Antares?

Tapi aku ingin menggunakan jam-jam terakhir hidupku ini dengan duduk di sebuah batu asteroid yang agak kasar. Kendali telah kembali dan aku berusaha untuk merenungkan apa arti dari semua ini.

Apa itu hidup? Apa itu kesadaran? Karena sekarang aku benar-benar yakin bahwa logika dan kecerdasan tidak berkembang di bagian lain alam semesta, selain di planet gosong yang sedang kutatap sekarang.

Akulah satu-satunya sisa kesadaran alam semesta ini. Semuanya telah hancur selain aku!

Tiba-tiba kurasakan kesedihan yang tak terperi demi seluruh kosmos saat menyadari bahwa alam semesta akan memasuki fase kemunduran. Alam semesta dengan kesadaran dan yang tanpa kesadaran adalah dua hal yang benar-benar berbeda.

Tetapi aku juga sedih atas nasibku sendiri yang disuratkan untuk menjadi satu kesadaran terakhir yang masih bertahan dan harus mengambil makna agung dari seluruh rajutan waktu yang pernah ada.

Pandanganku semakin pilu melihat planet kesayanganku itu. Ia adalah tempat buaianku, tempat buaian kesadaran. Pada saat yang bersamaan, aku bisa memilih turun ke sana; kapan dan di mana pun.

Jadi kuputuskan untuk kembali mendekati planetku itu dan mengitarinya dengan penuh kesenduan. Rasanya sungguh menyakitkan bahwa hanya tersisa beberapa saat lagi sebelum aku ikut hancur lebur bersama alam semesta.

Bisakah waktu berputar kembali dan planet Bumi mendapatkan kesempatan terakhirnya?

"Aileen! Aileen!" gertak Chiron yang berusaha menyadarkanku dari bayangan kehancuran.

Tiba-tiba mataku terbuka kembali dan mendapati wajah Chiron yang dipenuhi raut kecemasan. Aku bisa menebak perasaan leganya saat aku mulai bangkit berdiri dan meluruskan tulang punggungku. Sekujur badanku terasa pegal, seakan-akan aku baru mendarat dari terbang yang cukup lama.

Tidak ada lagi bau gosong yang menyengat, melainkan bau pegunungan yang begitu sejuk nan menyehatkan. Hari sudah gelap dan aku masih cukup bingung dengan apa yang terjadi barusan. Yang kulihat sekarang adalah bulan purnama yang bersinar dengan gemilang.

Cahaya gugusan Bima Sakti amat merona, menuntun perjalanan pulang kami di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Dalam perjalanan pulang, aku bertanya pada guruku, "Apa kau tahu apa yang terjadi denganku selama ritual itu berlangsung?"

"Tidak, tentu tidak, dan sama sekali bukan urusanku. Apa yang kutahu adalah, engkau dilimpahi kekuatan Ilahi beberapa saat, pun engkau turut menenggelamkan diri di dalamnya. Sungguh beruntung!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun