Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kesadaran Terakhir di Planet Gosong

22 Juli 2021   20:10 Diperbarui: 22 Juli 2021   21:22 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku memandangi planet gosong itu dan hanya akulah satu-satunya sisa kesadaran di alam semesta | Ilustrasi oleh Susan Cipriano via Pixabay

Mungkin sebuah asteroid besar telah menabrak Bumi dan memusnahkan seluruh umat manusia, juga semua vertebrata, setidaknya yang hidup di darat. Aku tidak tahu lagi apakah seluruh samudra yang kukenal telah turut mengering, atau masih mengalir deras.

Aku terus memandangi sekitar dengan perasaan berang bercampur histeris. Ke mana seluruh kehidupan itu? Apa yang telah terjadi? Mengapa aku tidak ikut musnah? Aku sangat ingin menjerit sekeras mungkin, tetapi kerongkonganku terhambat oleh air mata yang amat perih.

Semua hal yang sebelumnya sangat mengagumkan, kini berubah menjadi lautan benda-benda gosong hingga atmosfer di atasku diselimuti kabut gelap yang begitu tebal. Tidak ada gertakan petir atau gemuruh guntur; satu-satunya yang ada hanyalah kesunyian yang mencekik.

Aku berjalan pelan untuk mengelilingi planet yang hangus terbakar ini. Aku ingin tahu apa yang telah terjadi. Apakah di sana masih ada seseorang yang masih hidup sepertiku?

Menilik dari kemuraman nan menyedihkan ini, aku semakin yakin bahwa serangan asteroid telah memusnahkan hampir semua kehidupan, seperti yang terjadi di antara masa periode Kapur dan Tersier, atau antara periode Permian dan Trias.

Sejarah telah mengenang bangsa dinosaurus dari bencana dahsyat tersebut, tetapi kali ini tidak ada seekor mamalia pun yang tersisa di hadapanku. Siapa yang patut dipersalahkan atas semua kehancuran ini?

Bayangkan betapa ironisnya! Akulah satu-satunya manusia yang hidup!

Matahari yang sekarang amat merah muncul jauh di depanku seperti seorang penjahat yang menantang seorang pahlawan. Aku memandanginya dengan penuh kejengkelan dan mulai menangis sekeras-kerasnya.

Aku tidak perlu malu lagi untuk menangis; tidak akan ada siapa pun yang akan mendengar atau melihatku menangis.

Atas rasa kemurkaanku, aku berlari secepat mungkin ke arah sinar matahari yang menyengat. Dalam puncak kecepatanku, mendadak seluruh badanku melayang tanpa kendali, seperti senoktah debu kosmik yang tertiup angin penghancuran.

Aku terbang seperti sebongkah pesawat yang dikendalikan oleh remot, mengelilingi planet yang hangus tak tersisa, tetapi tidak kulihat benua-benuanya. Jelaga dan abu beterbangan ke atas memenuhi atmosfer, maka atmosferlah yang jelas-jelas rusak parah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun