Tetapi aku juga sedih atas nasibku sendiri yang disuratkan untuk menjadi satu kesadaran terakhir yang masih bertahan dan harus mengambil makna agung dari seluruh rajutan waktu yang pernah ada.
Pandanganku semakin pilu melihat planet kesayanganku itu. Ia adalah tempat buaianku, tempat buaian kesadaran. Pada saat yang bersamaan, aku bisa memilih turun ke sana; kapan dan di mana pun.
Jadi kuputuskan untuk kembali mendekati planetku itu dan mengitarinya dengan penuh kesenduan. Rasanya sungguh menyakitkan bahwa hanya tersisa beberapa saat lagi sebelum aku ikut hancur lebur bersama alam semesta.
Bisakah waktu berputar kembali dan planet Bumi mendapatkan kesempatan terakhirnya?
"Aileen! Aileen!" gertak Chiron yang berusaha menyadarkanku dari bayangan kehancuran.
Tiba-tiba mataku terbuka kembali dan mendapati wajah Chiron yang dipenuhi raut kecemasan. Aku bisa menebak perasaan leganya saat aku mulai bangkit berdiri dan meluruskan tulang punggungku. Sekujur badanku terasa pegal, seakan-akan aku baru mendarat dari terbang yang cukup lama.
Tidak ada lagi bau gosong yang menyengat, melainkan bau pegunungan yang begitu sejuk nan menyehatkan. Hari sudah gelap dan aku masih cukup bingung dengan apa yang terjadi barusan. Yang kulihat sekarang adalah bulan purnama yang bersinar dengan gemilang.
Cahaya gugusan Bima Sakti amat merona, menuntun perjalanan pulang kami di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Dalam perjalanan pulang, aku bertanya pada guruku, "Apa kau tahu apa yang terjadi denganku selama ritual itu berlangsung?"
"Tidak, tentu tidak, dan sama sekali bukan urusanku. Apa yang kutahu adalah, engkau dilimpahi kekuatan Ilahi beberapa saat, pun engkau turut menenggelamkan diri di dalamnya. Sungguh beruntung!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H