Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kesadaran Terakhir di Planet Gosong

22 Juli 2021   20:10 Diperbarui: 22 Juli 2021   21:22 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku memandangi planet gosong itu dan hanya akulah satu-satunya sisa kesadaran di alam semesta | Ilustrasi oleh Susan Cipriano via Pixabay

Apa yang ada hanyalah diriku sendiri bersama seluruh alam raya.

"Rasakan nikmatnya anugerah kehidupan," tuntun Chiron yang kini seperti sedang berbisik kepadaku. Suaranya begitu persis dengan suara hatiku yang lembut hingga aku sendiri tidak merasa terganggu olehnya.

"Biarkan hatimu terbang bebas dan dipenuhi rasa cinta; biarkan hatimu lepas dari segala masalah yang menimpamu. Senandungkan lagu dari masa kecilmu. Bayangkanlah hatimu sedang bertumbuh hingga memenuhi muka bumi seperti pancaran sinar matahari yang meluas."

"Ketahuilah bahwa dalam kehidupan ini, terdapat beberapa macam cinta yang tidak mudah dibedakan. Raihlah cinta tertinggi atas bisikan hati nuranimu. Tidak seorang pun yang mengetahui apa itu cinta, tetapi setiap orang mesti merasakannya."

"Lihatlah dunia sekelilingmu. Cinta tidak mengenal bentuk atau wujud pasti. Engkau bisa menemukannya dalam sebongkah batu yang kasar, atau dalam sebilah pisau yang pernah digunakan pembunuh bayaran, atau dalam selembar daun tabebuya yang mengapung di danau berlumut."

Aku tenggelam dalam kesadaran yang bisu dan aneh. Aku lelah tapi rileks; aku merasa bebas serta bahagia dengan hidup dan dengan segala hal yang telah kualami. Aku merasa tanganku terbentang hingga mencapai surga dan hendak memetik buah terlarang.

Tapi tiba-tiba, aku merasakan kehangatan yang semakin menguat. Atmosfer di sekitarku terasa panas seperti sedang duduk di tengah-tengah kebakaran hutan. Apa yang salah denganku? Bahkan aku belum sempat menyentuh sedikit pun buah terlarang itu.

Aku membuka mataku, dan betapa sesaknya dadaku di detik pertama. Bola mataku nyaris terlepas saat melihat bumi yang sangat asing bagiku. Aku bersungguh-sungguh: ini bukanlah bumi yang pernah kukenal!

Aku berhadapan dengan hamparan daratan yang telah rata seperti samudra tanah. Tidak ada Gunung Antares yang sedang kupijaki sebelumnya. Dan itu berarti, tidak ada lagi Chiron yang sedang mengisap rokoknya serta seluruh burung yang menemani ketenanganku.

Seluruh badanku gemetar hingga aku begitu yakin bahwa aku belum pernah merasa setakut ini. Cucuran keringat dingin mengiris dengan perih di pelipis mataku. Rambut basah, tetapi tidak kucium bau asin. Bau yang menyengat hidungku sekarang hanyalah bau gosong. Betapa pahitnya!

Semua yang ada telah hancur! Apa yang ada di depanku adalah sebuah planet yang telah hancur berceceran seperti genangan air mungil yang terinjak seorang anak gemuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun