Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan featured

Menggali Makna Indah dari Idul Adha dan Pelurusan Paradigma Terhadapnya

19 Juli 2021   09:55 Diperbarui: 10 Juli 2022   07:10 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Idul Adha lebih dari sekadar tradisi dan menyimpan segudang visi moralitas di baliknya | Ilustrasi oleh Mabel Amber via Pixabay

Suatu ketika, Nabi Ibrahim bermimpi melihat dirinya sedang menyembelih putranya sendiri, Nabi Ismail. Layaknya manusia biasa, mimpi tersebut membuat Nabi Ibrahim gelisah dan gundah.

Rentang kisah yang telah ditenun oleh ayah dan anak itu harus berakhir dengan kekejaman; sungguh? Mimpi dari seorang nabi dan/atau rasul sering menjadi sarana penyampaian wahyu dari Allah, dan Nabi Ibrahim sadar akan hal itu. Tapi mengapa harus "pembunuhan"?

Apa yang dipikirkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tidaklah sama dengan apa yang akan kita pikirkan jika mengalami keadaan yang sama. Maksud saya, mereka melakukannya! Itu seperti Anda mempertaruhkan seluruh hidup Anda pada lemparan koin; sulit dipercaya!

Namun ketaatan dan keimanan mereka tidak tergoyahkan. Pada detik-detik terakhir penyembelihan, Malaikat Jibril datang dan menggantikan Nabi Ismail dengan hewan ternak. Dalam rangka mengenang momen dahsyat ini, lahirlah tradisi Idul Adha.

Idul Adha bukan sekadar agenda tahunan di mana seluruh umat muslim menikmati daging kurban dengan penuh kegembiraan dan kemenangan. Makna semacam itu bahkan sama sekali belum menyentuh permukaan dari keindahan Idul Adha.

Ibarat seseorang bertanya kepada Anda tentang keberhargaan sebongkah emas, namun Anda hanya menjawab, "Berkilauan!" Itu tidak cukup, bahkan merusak kemilau emas itu sendiri!

Agar kita mengerti dan menghayati tentang seberapa mulianya Idul Adha, kita perlu membuka mata kita melampaui fenomena fisik dan menilik secara hati-hati tentang makna mendalam dari "festival rutin" ini.

Pembantaian massal?

Seorang teman pernah menyinggung, "Aneh, mengapa kalian ingin mendapatkan pahala dari perbuatan membunuh? Tidakkah kalian merasa kasihan kepada hewan-hewan ternak itu? Mengapa membunuh hewan disebut ibadah dan bukannya menyayangi hewan?"

Saya senang dengan orang yang tidak mengerti dan bertanya daripada mereka yang merasa tahu dan mengklaimnya sendiri sebagai kebenaran. Saya tawarkan 3 macam jawaban kepadanya, dan dia mengisyaratkan ingin semua jawaban yang saya punya.

Saya mengerti dan itu bagus.

Pertama, secara sains. Perlu diketahui bahwa penyembelihan dalam Islam (atau sekarang merujuk pada momen Idul Adha) tidak dilakukan dengan metode sembarangan.

Hewan kurban yang dipilih mesti memenuhi beberapa syarat, seperti jenis hewan yang diperbolehkan, kondisi fisik serta kesehatan, umur, dan lain-lain (lebih lengkapnya di sini). Bahkan ketika proses penyembelihan, berlaku pula adab-adab yang mesti dipatuhi (lebih lengkapnya di sini).

Antara tahun 1974 dan 1978, Schulze dan rekan-rekannya melakukan penelitian di Universitas Kedokteran Hewan Hanover untuk membandingkan cara penyembelihan di Barat (metode captive bolt) dengan cara penyembelihan di Islam. Hasilnya sangat menakjubkan!

Schulze menyimpulkan bahwa "cara penyembelihan menurut Islam adalah metode penyembelihan yang paling manusiawi, sedangkan metode captive bolt, yang dipraktikkan di Barat, menyebabkan rasa sakit yang sangat parah pada hewan".

Apa yang jelas di sini adalah, adab-adab itu jelas sudah ada sehingga jika Anda melihat "kekejaman" terjadi, Anda tidak bisa menyalahkan Islam. 

Bayangkan bahwa Anda mengukur sesuatu menggunakan penggaris. Ketika hasilnya keliru, siapa yang patut dipersalahkan? Jelas bukan penggarisnya!

Itu baru tembakan pertama.

Kedua, secara semi-metafisika atau dengan kata lain, dibutuhkan kadar keimanan tertentu untuk menyetujui jawaban ini.

Adalah hari raya Idul Adha juga bagi hewan-hewan kurban seperti yang dirayakan oleh umat muslim. Perbedaannya, manusia mengorbankan hartanya, sedangkan hewan kurban mengorbankan nyawanya. Tidak adil?

"Dan di antara hewan-hewan ternak itu ada yang dijadikan pengangkut beban dan ada (pula) yang untuk disembelih. Makanlah rezeki yang diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan ..." (QS. Al-An'am ayat 142)

Diperlukan pendalaman yang hati-hati untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an karena kebanyakan ayatnya bermakna simbolik dan kontekstual. Tetapi pesan yang terkandung dalam ayat ini cukup terang bahwa hewan-hewan ternak juga diciptakan untuk mendukung kehidupan manusia.

Atau dengan sentuhan denotatif: hewan-hewan ternak memang diperbolehkan untuk disembelih sebagai bentuk kecintaan Tuhan pada manusia. Yang tidak boleh itu adalah membunuh hewan-hewan langka atau sekadar memuaskan rasa senang.

Lagi pula, hewan-hewan kurban tergolong ke dalam jenis hewan yang relatif cepat perkembangbiakannya sehingga jika tidak dianjurkan dikonsumsi, maka keseimbangan rantai makanan akan terganggu.

Populasi yang berlebihan pada satu spesies berpotensi menyebabkan kepunahan pada spesies yang lain.

Ketiga, secara logika orang awam. Jika Anda berpikir bahwa momen Idul Adha adalah momen pembantaian massal pada hewan ternak, maka Anda mesti merencanakan demo besar-besaran di depan restoran cepat saji. Sungguh!

Di tempat-tempat seperti itu, "pembantaian massal" terjadi secara tidak manusiawi dan setiap hari. Setiap hari! Sedangkan Idul Adha, jika Anda lupa, terjadi hanya satu kali dalam setahun. Nah, bagaimana?

Menggali keindahan Idul Adha

Sebutir mutiara akan terkesan tidak menarik bagi mereka yang tidak tahu tentang keberhargaannya. Sekilas, itu hanyalah bola sampah yang tenggelam di dasar lautan bersama pasir dan lumut yang menjijikkan. Hanya orang bodoh yang berusaha mendapatkannya!

Begitu pun Idul Adha. Jika dinilai dari segi penampakan, perayaan semacam itu tidaklah menarik dan sering kali membosankan. Pikir sebagian pihak, hanya orang bodoh yang rela mengorbankan uangnya (dan mungkin sudah ditabung bertahun-tahun) untuk menyembelih hewan ternak.

Tetapi bagi mereka yang matanya terbuka hingga melampaui penampakan, Idul Adha mengandung keindahan dan kemuliaan.

"Jual-beli" antara Khaliq dan makhluk

Tidak semua umat muslim wajib berkurban, tetapi bagi mereka yang mampu secara ekonomi sangat diutamakan (mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum berkurban adalah sunnah muakad bagi mereka yang mampu dan punya kemudahan).

Meskipun tidak wajib bagi semua umat muslim, mereka yang berkurban adalah orang-orang yang menjual harta mereka untuk dibayar oleh kemuliaan. Ini bukan sekadar pengorbanan seperti Anda merelakan pasangan Anda pada seorang teman. Ini juga tentang kerendahan hati.

Bayangkan seorang pedagang yang melayani pembelinya dengan penuh amarah, ketidakrelaan, dan keengganan. Apakah pembelinya akan menyukai pedagang tersebut? Secara harfiah, tidak. Bahkan mungkin, dia enggan untuk membeli lagi di sana.

Tetapi dalam konteks berkurban, siapa yang menjadi pembeli kita?

"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an.

Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan dengan demikian itulah kemenangan yang agung." (QS. At-Taubah ayat 111)

Amat menarik bahwa Allah memposisikan Diri sebagai "pembeli". Bukankah Allah adalah pemilik alam semesta? Mengapa Allah harus membeli ketika Dia tidak membutuhkan apa pun? Pada konteks ini, "membeli" berarti "bersedia membayar".

Bayangkan Anda memiliki sebuah istana nan megah dan seorang anak kecil datang mengemis ingin bermain-main di istana Anda. Jika Anda punya kerendahan hati yang mendalam, tentu Anda akan bersedia menerima kehadirannya.

Tetapi jika Anda membiarkan anak tersebut masuk secara bebas, maka kesan istana Anda tersebut tidak akan lagi berharga sebab setiap orang dapat masuk secara bebas. Nilainya tidak berbeda dengan bangunan tua yang hampir runtuh.

Agar pesona istana Anda tidak hilang, Anda bisa menjual karcis yang sangat mahal kepada mereka yang ingin masuk. Kendati demikian, kerendahan hati Allah tidak bisa terlukiskan oleh kita yang serba terbatas.

Allah membiarkan siapa pun yang ingin masuk ke dalam "istana-Nya" dengan syarat pengunjung mesti mengorbankan sesuatu yang dimilikinya, entah itu jiwa atau harta. Pengorbanan yang dimaksud juga harus berada di jalan kebenaran.

Bukan berarti Allah membutuhkan sesuatu, tapi istana tersebut amatlah berharga sehingga tidak setiap orang bisa masuk secara bebas. Dan kemuliaan-Nya tidak berhenti di situ. Allah datang sebagai "pembeli" seakan-akan kita sebagai pedagang yang memiliki sesuatu untuk dijual.

Jika sudah mendapatkan tawaran seperti ini, masihkah kita ragu?

Dalam ayat tersebut, mereka yang "menjual" jiwa maupun harta mereka untuk berjuang di jalan Allah disimbolkan sedang berperang sehingga membunuh atau terbunuh, adalah tidak berbeda dengan kemuliaan yang didapatnya.

Kita tidak bisa menafsirkan ayat tersebut secara "kasar". Jika kita melakukannya, kita akan terperosok ke dalam jurang ketidaktahuan seperti yang terjadi kepada para teroris yang mengatasnamakan jihad (berjuang di jalan Allah).

Tentu pengorbanan yang dimaksud tidak sekadar merujuk pada berperang, tetapi dalam Idul Adha pun, ayat ini menunjukkan tawaran kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dan ayat tersebut sama sekali tidak mengandung paksaan.

Tidak ada pembeli yang memaksa seorang pedagang ketika pedagang tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijual. Tetapi jika pedagang punya sesuatu untuk dijual, mengapa dia menolak tawaran pembeli yang ingin menukarnya dengan kemuliaan?

Saya sendiri tidak begitu fokus pada tawaran surga. Apa yang jauh lebih menarik bagi saya adalah, seberapa relanya kita untuk berserah pada Allah. Sebab perintah Allah adalah kebutuhan fitrah kita. Sebab kehendak Allah adalah kebaikan untuk kita.

Dalam An-Nahl ayat 97, Allah menjamin kebahagiaan pada mereka yang berkomitmen untuk mengikuti aturan Allah.

Menjadi orang kaya dengan tepat

Jujur saja, saya tidak suka ketika agama dijadikan candu, yaitu ketika agama dijadikan sebagai pelarian dari ketidakberdayaan mereka terhadap kehidupan.

Saya sedikit geram dengan mereka yang berkata, "Tenang, orang miskin itu lebih dekat dengan surga," atau, "Allah bersama orang-orang lemah seperti kita," atau, "Allah memuliakan orang-orang miskin seperti kita."

Semua itu benar dan keliru, atau secara harfiah, tidak mengungkapkan apa pun. Dan yang menjadi bagian terburuknya adalah, Islam dikesankan sebagai agama yang menginginkan umatnya hidup miskin, menjadi orang lemah, dan cinta dengan ketidakberdayaan.

Tidak, justru Islam ingin umatnya menjadi kaya, bermental kuat, dan menjadi khalifah di muka bumi. Rukun Islam kelima dan momen Idul Adha mengindikasikan umat Islam harus menjadi kaya raya.

Bahkan lebih indah dari itu, Islam ingin umatnya menjadi kaya secara tepat. Adalah menjadi kaya tanpa ketergantungan terhadap kekayaannya itu sendiri.

Momen Idul Adha melukiskan kesan yang luar biasa bahwa seorang muslim tidak boleh mengikatkan dirinya pada harta kekayaan dengan diukur dari seberapa relanya dia mengorbankan hartanya itu untuk berbagi dengan yang lain.

Ketidaktergantungan kita terhadap harta menyiratkan pesan bahwa tidak boleh ada sesuatu pun yang mengusik kebahagiaan kita. Toh harta hanyalah pernak-pernik dongeng kehidupan.

Tokoh dalam dongeng tidak menggantungkan diri pada alur atau latar dalam dongeng tersebut, melainkan pada penulis dongeng itu sendiri.

Pesan bahwa cinta membutuhkan pembuktian

Dalam kata-kata Erich Fromm, "Perlu beberapa saat untuk memberi tahu seseorang bahwa Anda mencintainya, tetapi butuh waktu seumur hidup untuk membuktikannya."

Kita bisa mengungkapkan tentang seberapa cintanya kita pada Tuhan, tetapi apa yang membuktikan cinta kita itu nyata dan bukan hanya omongan belaka? Idul Adha memberi kesempatan pada kita untuk membuktikan rasa cintanya kepada Allah.

Adalah tentang seberapa relanya kita mengorbankan sekelumit harta untuk kesejahteraan manusia itu sendiri.

Mengikis daya hewani dan sepenuhnya menjadi manusia

Proses penyembelihan ketika Idul Adha menjadi simbol bahwa manusia mesti sepenuhnya menjadi manusia dan melampaui daya hewani.

Setidaknya ada tiga daya yang menghidupkan seluruh makhluk di muka bumi, yaitu daya nabati, daya hewani, dan daya manusia. Daya nabati dialami oleh seluruh makhluk hidup seperti makan, berkembang biak, tumbuh, dan berkembang.

Daya hewani hanya dimiliki oleh hewan dan manusia seperti naluri, berpikir, gerak yang lebih bebas, dan nafsu. Tetapi melampaui itu, manusia punya kemampuan berpikir yang lebih kompleks, kesadaran diri sepenuhnya, bahkan intuisi.

Beberapa filsuf mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir. Jadi ya ... ketika Anda menjalani hidup tanpa berpikir ...

Tapi dalam momen Idul Adha, pengikisan sifat hewan lebih khusus pada sifat nafsunya. Seorang manusia tidak boleh mengandalkan nafsunya, karena tidak hanya mengacaukan dunia, tapi juga menghancurkan dirinya sendiri.

Dorongan nafsu dapat menyesatkan kita, acapkali membuat kita tidak peka dan tidak peduli terhadap penderitaan orang lain.

Bahwa hidup ini menuntut pengorbanan

Hidup itu seperti perdagangan akbar: apa yang Anda terima adalah hasil dari apa yang Anda lepas. Dalam konsep trade-off, kita mesti mengorbankan sesuatu untuk meningkatkan sesuatu di lain sisi.

Idul Adha menyuratkan makna itu secara elok. Ini bukan hanya jual-beli kita dengan Tuhan, tapi juga seberapa relanya kita berkorban untuk kesejahteraan umat manusia itu sendiri. Tentu pengorbanan yang dimaksud harus berlandaskan pada kebenaran sejati.

Dan satu-satunya kebenaran sejati adalah Tuhan.

Lebih jauh lagi, kemuliaan seseorang yang berkurban tidak dinilai dari apa yang dikurbankannya, melainkan dari seberapa lapang kebesaran hatinya untuk berkurban (lihat Al-Maidah ayat 27).

Berbagi kebahagiaan

Harmonisasi Idul Adha terjadi ketika daging kurban selesai diproses, kemudian dibagikan kepada mereka yang berhak dan disantap bersama-sama dengan penuh raut gembira serta kemenangan. Meskipun sekarang sedang pandemi, kehangatan itu sepatutnya tidak pudar.

Mereka yang sangat jarang mengonsumsi daging dapat merasakan kenikmatan makanan "mewah" di momen ini. Ketika mereka tersenyum sebagai tanda berterima kasih, adalah suatu kebahagiaan yang amat manis bagi mereka yang berkurban.

Tapi Idul Adha hanyalah bentuk simbolik sebagai pengingat. Idul Adha hanya memberi gambaran tentang betapa indahnya berbagi dan kebersamaan, sedangkan wujud nyatanya terbukti ketika tradisi semacam ini terjadi setiap saat.

Bahkan seandainya pandemi ditanggulangi dengan cara demikian, orang-orang mampu berbagi kepada mereka yang kekurangan, penekanan angka positif bisa ditekan. Selama ini orang-orang banyak melanggar protokol kesehatan karena dituntut perekonomian.

Mengingat kematian

Mereka yang berkurban sangat dianjurkan untuk melihat proses penyembelihan hewan kurbannya. Mengapa? Sederhana: agar mereka mengingat kematian. Bahwa kehidupan dunia tidak abadi. Bahwa kematian bukanlah sesuatu yang mesti ditakutkan, melainkan dipersiapkan.

Pada akhirnya, saya ingin menarik benang merahnya bahwa semua ketentuan Allah adalah untuk kebaikan alam semesta itu sendiri, bukan semata-mata Allah membutuhkan sesuatu atau mengidap gila hormat. Selama ini, sekelumit orang menganggapnya demikian.

Dalam setiap ibadah selalu terkandung visi moralitas. Hidup ini ibarat sebuah labirin yang dipenuhi jalan berkelok-kelok. Kitab suci adalah petunjuk kita dan ibadah adalah manifestasinya.

Begitu pun ibadah dalam perayaan Idul Adha. Jika kita sungguh-sungguh membuka diri kita pada visi moralitas tersebut ... Allah akan dengan senang hati membuka jalan-Nya untuk kita. Dia bagaikan cahaya, tinggal bagaimana kita membiarkan cahaya itu masuk ke dalam diri kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun