Idul Adha menyuratkan makna itu secara elok. Ini bukan hanya jual-beli kita dengan Tuhan, tapi juga seberapa relanya kita berkorban untuk kesejahteraan umat manusia itu sendiri. Tentu pengorbanan yang dimaksud harus berlandaskan pada kebenaran sejati.
Dan satu-satunya kebenaran sejati adalah Tuhan.
Lebih jauh lagi, kemuliaan seseorang yang berkurban tidak dinilai dari apa yang dikurbankannya, melainkan dari seberapa lapang kebesaran hatinya untuk berkurban (lihat Al-Maidah ayat 27).
Berbagi kebahagiaan
Harmonisasi Idul Adha terjadi ketika daging kurban selesai diproses, kemudian dibagikan kepada mereka yang berhak dan disantap bersama-sama dengan penuh raut gembira serta kemenangan. Meskipun sekarang sedang pandemi, kehangatan itu sepatutnya tidak pudar.
Mereka yang sangat jarang mengonsumsi daging dapat merasakan kenikmatan makanan "mewah" di momen ini. Ketika mereka tersenyum sebagai tanda berterima kasih, adalah suatu kebahagiaan yang amat manis bagi mereka yang berkurban.
Tapi Idul Adha hanyalah bentuk simbolik sebagai pengingat. Idul Adha hanya memberi gambaran tentang betapa indahnya berbagi dan kebersamaan, sedangkan wujud nyatanya terbukti ketika tradisi semacam ini terjadi setiap saat.
Bahkan seandainya pandemi ditanggulangi dengan cara demikian, orang-orang mampu berbagi kepada mereka yang kekurangan, penekanan angka positif bisa ditekan. Selama ini orang-orang banyak melanggar protokol kesehatan karena dituntut perekonomian.
Mengingat kematian
Mereka yang berkurban sangat dianjurkan untuk melihat proses penyembelihan hewan kurbannya. Mengapa? Sederhana: agar mereka mengingat kematian. Bahwa kehidupan dunia tidak abadi. Bahwa kematian bukanlah sesuatu yang mesti ditakutkan, melainkan dipersiapkan.
Pada akhirnya, saya ingin menarik benang merahnya bahwa semua ketentuan Allah adalah untuk kebaikan alam semesta itu sendiri, bukan semata-mata Allah membutuhkan sesuatu atau mengidap gila hormat. Selama ini, sekelumit orang menganggapnya demikian.
Dalam setiap ibadah selalu terkandung visi moralitas. Hidup ini ibarat sebuah labirin yang dipenuhi jalan berkelok-kelok. Kitab suci adalah petunjuk kita dan ibadah adalah manifestasinya.
Begitu pun ibadah dalam perayaan Idul Adha. Jika kita sungguh-sungguh membuka diri kita pada visi moralitas tersebut ... Allah akan dengan senang hati membuka jalan-Nya untuk kita. Dia bagaikan cahaya, tinggal bagaimana kita membiarkan cahaya itu masuk ke dalam diri kita.