Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Luaskan Pandangan Anda, Hidup Ini "3 Dimensi"

7 Juli 2021   10:39 Diperbarui: 13 Juli 2021   01:32 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karena hidup tidak hanya panjang dan lebar | Ilustrasi oleh Kalhh via Pixabay

Dunia nyata adalah panjang, lebar, dan punya kedalaman. Dalam ilmu seni, kita mengenal itu sebagai ciri mendasar dari seni rupa tiga dimensi. Itu berarti, hidup ini seperti sebuah karya seni yang mampu diminati dari berbagai arah.

Berbeda dengan seni rupa dua dimensi di mana ia hanya memiliki panjang serta lebar, dan karenanya hanya mampu dinikmati dari arah depan. Diakui atau tidak, kebanyakan dari kita menganggap hidup ini berwujud dua dimensi.

Kelemahan dari dua dimensi adalah, pembulatan yang ekstrem. Asumsinya: mereka murni jahat atau murni baik, mereka murni boros atau murni pelit, mereka murni jelek atau murni tampan, dan seterusnya.

Mereka bukan orang sungguhan! Dan karena itu, mereka tidak memperkaya khazanah dongeng kehidupan.

Itu bisa sulit. Kita hidup di dunia yang mana antara pahlawan dan penjahat tidak bisa dibedakan secara jelas. Dunia meme dan media sosial sering kali didukung sebagai dunia kenyataan. Kita terus-menerus tergoda untuk mereduksi dunia dengan stereotip-stereotip datar tak karuan.

Kenyataannya, jalan pikiran kita memang banyak bekerja seperti itu: berusaha menyederhanakan sesuatu dengan dua kemungkinan.

"Apakah makanan ini haram atau halal?" Padahal mungkin saja sunah, makruh, atau mubah.

"Apakah dia putih atau hitam?" Mungkin cokelat.

"Apakah dia pintar atau bodoh?" Mungkin standar.

"Apakah dia kaya atau miskin?" Mungkin mencukupi.

Hidup ini "tiga dimensi"! Jika Anda hanya melihatnya dari satu sudut pandang, Anda melewatkan banyak kebenaran.

Implikasinya, kita mesti punya kemampuan untuk berdiri di tempat mana pun, menilik setiap permasalahan dari pelbagai posisi. Dan saya pikir, pemahaman ini akan menjadi paradigma yang fundamental di masa krisis seperti sekarang.

Pandemi yang kita tunggu akhir ceritanya ini tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda kepergiannya (khususnya Bali dan Jawa). Malahan yang kita dengar kabarnya setiap hari adalah kepergian dari mereka yang berjuang dan yang diperjuangkan.

Entah sudah berapa kali saya melambaikan tangan untuk selama-lamanya pada orang-orang, semua bencana ini mengingatkan kita pada kemalangan diri kita sendiri. Karena justru, penderitaan sebenarnya terletak pada kita yang ditinggal pergi.

Mereka yang pergi sudah tercerabut dari penderitaan duniawi.

Hidup telah menantang kita untuk melihat satu sama lain dalam perspektif tiga dimensi, secara konsisten memilih untuk melihat satu sama lain sebagai orang yang nyata (orang dengan segala kerumitan dan keruwetannya) serta untuk menghibur keingintahuan tentang kerumitan itu.

Pada beberapa kesempatan, kita menemui jalan gelap yang entah di mana cahaya itu tersemat. Tetapi sekali lagi, hidup ini "tiga dimensi", yang berarti bisa diamati dari berbagai sudut pandang. Dan lebih dari itu, paradigma demikian punya pembelajaran yang lebih mendalam.

Menuntun kita untuk menjadi "hakim"

Kekuatan ideal dari seorang hakim adalah kebijaksanaan. Tapi tanpa perlu kita menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjadi hakim, di detik ini juga kita mesti menjadi "hakim" untuk diri sendiri atas segala permasalahan yang kita hadapi.

Layaknya seorang "hakim" di bangku tertinggi persidangan, sebaiknya kita pun punya kemampuan mendasar untuk mengadili setiap perkara. Dalam memecahkan setiap kasus, kita tidak bisa membela satu perspektif yang mungkin saja menipu. Kita harus melirik pada yang tidak mungkin.

Dan dengan demikianlah kita punya ruang yang luas dalam memecahkan permasalahan. Mungkin kasus ini akan lebih gamblang kalau kita sedang menengahi konflik orang lain, tetapi akan menjadi sedikit semu saat yang kita hadapi adalah masalah kita sendiri.

Itu tidak apa-apa. Anda dapat menjaga jarak sementara dengan membayangkan diri Anda adalah seorang detektif yang diutus untuk memecahkan sebuah perkara. Anda dapat menimbang-nimbang berbagai alternatif yang mungkin diambil. Dan adili perkara!

Ketika saya mendengar dia sudah tiada, saya dapat diam sejenak untuk mengambil kesempatan saya dalam menjadi seorang hakim. Saya memisahkan diri dari pikiran-pikiran yang semrawut, menilik lebih dalam tentang apa makna perpisahan untuk selama-lamanya.

Pertama, penderitaan; saya tidak menyangkal itu. Dia punya pengaruh yang cukup besar dalam hidup saya, terutama dalam banyak tawa saya. Tetapi karena hidup ini berupa tiga dimensi, saya tidak boleh berhenti pada satu penilaian dan satu pandangan.

Kedua, satu beban terlepas dengan sendirinya. Meskipun terdengar kejam, tapi begitulah kondisi ini menampakkan dirinya. Sekarang saya tidak perlu lagi mencurahkan waktu khusus untuk mengabarinya, atau memedulikannya.

Dan itu berarti yang ketiga, saya bisa memedulikan diri saya sendiri dan menciptakan kebahagiaan baru tanpanya. Keempat, saya berhadapan dengan siklus abadi kehidupan dunia: pertemuan dan perpisahan.

Bahkan masih ada poin kelima, keenam, hingga kesepuluh. Tetapi maksud saya di sini adalah, Anda punya kesempatan yang sama untuk mengadili suatu perkara.

Masalah terbesarnya, tidak semua orang punya kemauan untuk menjadi "hakim" atas dirinya sendiri. Mereka terlanjur tenggelam dalam ratapannya yang dipenuhi air mata, hingga pikiran waras mereka mulai memudar seiring napas yang semakin menyesak.

Saya tahu. Adalah tidak mudah untuk melakukan peran ganda semacam itu (terdakwa sekaligus hakim). Tetapi begitulah kehidupan adanya. Dan dengan cara begitu, kita tidak lagi membiarkan kehidupan mengendalikan kita, melainkan kitalah sang nakhodanya.

Berempati

Empati sering menjadi akar dari kepemimpinan yang hebat, dan ketidakhadirannya sering menjadi akar tragedi. Dan karena peranannya yang cukup vital, berempati itu tidak mudah.

Dibutuhkan waktu untuk benar-benar mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang mereka dan memahaminya. Ini memerlukan kesabaran ketika kita yakin mereka salah. Dan itu menuntut kerendahan hati agar kita bisa saling menoleransi pihak oposisi.

Yang penting, empati tidak memerlukan persetujuan atau penerimaan semua orang. Kita mungkin perlu memahami seseorang secara mendalam, tetapi tidak selamanya kita mesti merangkul, ada kalanya kita mesti melawan demi tegaknya kebaikan itu sendiri.

Jika hidup memang berwujud tiga dimensi (punya banyak titik untuk diamati), kita sepatutnya mampu menempatkan diri kita sejenak untuk berada pada posisi pihak lain, (hanya) agar peranan kita sebagai "hakim" tidak berjalan keliru (seperti yang banyak dilakukan hakim-hakim di meja pengadilan).

Bersikap elastis

Dengan asumsi yang sama, maka kebijaksanaan kita akan cukup bergantung pada tingkat elastisitas kita dalam menyikapi berbagai problematika kehidupan. Maksudnya, kita harus sudi melepaskan kebenaran lama seandainya kebenaran baru muncul ke permukaan.

Hidup dalam paradigma tiga dimensi berarti kita punya keyakinan penuh terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dan tidak menutup telinga pada kebenaran baru yang ternyata bertentangan dengan keyakinan lama kita.

Ini berarti, kita turut membuka diri pada sesuatu yang tidak diketahui, sebab dari keingintahuan itulah kita memperkaya pengetahuan diri sendiri. Dan pengetahuan yang terbuka luas akan mendatangkan kebahagiaan. Percayalah!

Pada beberapa abad yang lalu, umat manusia percaya bahwa planet bumilah yang menjadi pusat tata surya kita. Tetapi kemudian, Nicolaus Copernicus mengemukakan teori Heliosentrisme, yang meyakini matahari sebagai pusat tata surya.

Teori ini banyak ditentang dan menjadi kontroversial pada awalnya. Mayoritas orang menutup mata dan tidak ingin kepercayaan lama mereka digugah. Salah seorang yang kita kenal punya sikap elastis di sini adalah Galileo.

Dia mengembangkan teori tersebut dan pada akhirnya menganggukkan kepala pada Copernicus. Lantas bagaimana nasib Galileo? Tragis! Kini kita tahu siapa yang lebih (mendekati) kebenaran!

Satu tragedi itu saja bisa menjadi contoh yang kuat tentang betapa pentingnya untuk bersikap elastis dan tidak kaku. Sebab bagi mereka yang bermental kaku, mereka adalah kayu-kayu yang berbadan keras, tetapi akan patah berceceran oleh cara yang sepele.

Hidup yang tiga dimensi membuka banyak ruang pada kita untuk ditempati. Jika tempat yang kita duduki berada di jalan kekeliruan, sepatutnya kita punya kerendahan hati untuk berpindah pada jalan yang lebih benar.

Bertindak dengan kesopanan

Sangat mudah untuk merendahkan dan menyerang mereka yang kita pandang sebagai musuh atau telah memperlakukan kita dengan buruk, tetapi dibutuhkan kekuatan yang tangguh untuk melihat mereka secara mendalam dan memperlakukan mereka dengan hormat.

Paradigma tiga dimensi menuntut kita untuk membuka pandangan terhadap sesuatu yang kita benci. Sebab jika Anda bersikap amat kasar terhadap musuh Anda, kesadaran yang terpenting adalah, Anda juga merupakan musuh darinya.

Dan itu berarti, Anda juga layak mendapatkan sikap yang kasar dari pandangannya.

Tetapi akan lain cerita saat Anda punya kesopanan dalam bertindak, sekalipun pada musuh Anda. Jika orang yang Anda hadapi benar-benar seorang manusia, dia punya hati yang akan menggerakkannya untuk menyeimbangi perilaku Anda.

Seperti kata pepatah, "Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan."

Bercita-cita tinggi

Dalam keadaan pelik seperti sekarang, amatlah penting untuk menjaga cita-cita yang tinggi agar terus bercokol di pikiran kita. Bukannya kita mengundang kekecewaan, tetapi cita-cita itulah yang akan tetap mewaraskan kita. Sungguh!

Pandemi yang tak berkesudahan ini sudah sangat memuakkan dan menjengkelkan! Kita ingin semua ini berakhir! Dan bagaimana mimpi itu dapat terwujud? Tidak, saya tidak punya jawabannya.

Jawaban itu tersimpan dalam hati kecil setiap orang. Jujur saja, kita semua tahu apa yang harus dilakukan! Tetapi karena berbagai alasan yang kita dalihkan, tidak peduli itu nyata atau sekadar penyangkalan, kita tidak melakukan apa yang kita tahu itu.

Satu-satunya yang saya tahu adalah, pandemi ini berada di tangan kita bersama. Jika Anda berpikir saya keliru karena seharusnya saya mengucapkan kata "Tuhan", saya akan membalikkan pernyataan Anda: Tuhan bergantung pada kesungguhan kita.

Benar, Tuhanlah yang hanya bisa menghendaki akhir cerita dari pandemi. Tetapi keputusan Tuhan bergantung pada kesungguhan dan kekuatan kita dalam menyelesaikan ini. Tuhan tidak akan menganugerahkan kesuksesan pada mereka yang tidur bermalas-malasan.

Dan tidak cukup dengan niat atau omongan. Kita tahu itu.

Karena hidup punya banyak ruang untuk kita tempati, maka kita pun bisa melihat pandemi ini dari sudut pandang lain. Bahwa pandemi ini seperti pertanda yang datang pada kita untuk beristirahat sejenak dari kelelahan yang selama ini menimpa kita.

Seperti pertanda untuk lebih meningkatkan kedamaian spiritual. Seperti pertanda untuk lebih banyak diam dan tertawa. Seperti pertanda untuk menciptakan momentum pengembangan diri. Seperti pertanda sebatang anak panah yang harus mundur sejenak untuk melesat kencang kemudian.

Saya mengerti: sebagian dari kita punya masalah besar dengan uang, makanan, minuman, utang. Tetapi itulah pertanda lainnya dari pandemi jika kita meyakini rupa kehidupan sebagai wujud tiga dimensi.

Bagi yang punya kesulitan perekonomian, batasi jerih payah. Bagi yang punya kelimpahan materi, berbagi hingga batas. Dan bagi yang berkecukupan ... syukuri.

Nah, di mana Anda melihat dunia dalam tiga dimensi hari ini? Itu bagian dari kebebasan Anda, dan karenanya Anda juga turut bertanggung jawab terhadapnya.

Pola pikir tiga dimensi tidak hanya (lebih) memperkaya kita, tetapi ini juga menjadi sarana pengingat tentang betapa seimbangnya kehidupan yang kita tapaki sekarang.

Jika kita membuatnya terlalu rumit, kita menyusahkan diri sendiri. Jika kita membuatnya terlalu sederhana, kita melesukan diri sendiri. Di ambang rumit dan sederhana; hidup ini selalu seimbang.

Ketika kita tertimpa musibah dan tidak dapat lagi menanggung hidup kita, maka naungan langit berbintang selalu punya sesuatu untuk dikatakan pada kita: Diamlah! Diam! Lihat aku! Hidup ini tidak mudah, hidup ini tidak sulit. Mengasyikkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun