Pertama, penderitaan; saya tidak menyangkal itu. Dia punya pengaruh yang cukup besar dalam hidup saya, terutama dalam banyak tawa saya. Tetapi karena hidup ini berupa tiga dimensi, saya tidak boleh berhenti pada satu penilaian dan satu pandangan.
Kedua, satu beban terlepas dengan sendirinya. Meskipun terdengar kejam, tapi begitulah kondisi ini menampakkan dirinya. Sekarang saya tidak perlu lagi mencurahkan waktu khusus untuk mengabarinya, atau memedulikannya.
Dan itu berarti yang ketiga, saya bisa memedulikan diri saya sendiri dan menciptakan kebahagiaan baru tanpanya. Keempat, saya berhadapan dengan siklus abadi kehidupan dunia: pertemuan dan perpisahan.
Bahkan masih ada poin kelima, keenam, hingga kesepuluh. Tetapi maksud saya di sini adalah, Anda punya kesempatan yang sama untuk mengadili suatu perkara.
Masalah terbesarnya, tidak semua orang punya kemauan untuk menjadi "hakim" atas dirinya sendiri. Mereka terlanjur tenggelam dalam ratapannya yang dipenuhi air mata, hingga pikiran waras mereka mulai memudar seiring napas yang semakin menyesak.
Saya tahu. Adalah tidak mudah untuk melakukan peran ganda semacam itu (terdakwa sekaligus hakim). Tetapi begitulah kehidupan adanya. Dan dengan cara begitu, kita tidak lagi membiarkan kehidupan mengendalikan kita, melainkan kitalah sang nakhodanya.
Berempati
Empati sering menjadi akar dari kepemimpinan yang hebat, dan ketidakhadirannya sering menjadi akar tragedi. Dan karena peranannya yang cukup vital, berempati itu tidak mudah.
Dibutuhkan waktu untuk benar-benar mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang mereka dan memahaminya. Ini memerlukan kesabaran ketika kita yakin mereka salah. Dan itu menuntut kerendahan hati agar kita bisa saling menoleransi pihak oposisi.
Yang penting, empati tidak memerlukan persetujuan atau penerimaan semua orang. Kita mungkin perlu memahami seseorang secara mendalam, tetapi tidak selamanya kita mesti merangkul, ada kalanya kita mesti melawan demi tegaknya kebaikan itu sendiri.
Jika hidup memang berwujud tiga dimensi (punya banyak titik untuk diamati), kita sepatutnya mampu menempatkan diri kita sejenak untuk berada pada posisi pihak lain, (hanya) agar peranan kita sebagai "hakim" tidak berjalan keliru (seperti yang banyak dilakukan hakim-hakim di meja pengadilan).
Bersikap elastis
Dengan asumsi yang sama, maka kebijaksanaan kita akan cukup bergantung pada tingkat elastisitas kita dalam menyikapi berbagai problematika kehidupan. Maksudnya, kita harus sudi melepaskan kebenaran lama seandainya kebenaran baru muncul ke permukaan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!