Dunia nyata adalah panjang, lebar, dan punya kedalaman. Dalam ilmu seni, kita mengenal itu sebagai ciri mendasar dari seni rupa tiga dimensi. Itu berarti, hidup ini seperti sebuah karya seni yang mampu diminati dari berbagai arah.
Berbeda dengan seni rupa dua dimensi di mana ia hanya memiliki panjang serta lebar, dan karenanya hanya mampu dinikmati dari arah depan. Diakui atau tidak, kebanyakan dari kita menganggap hidup ini berwujud dua dimensi.
Kelemahan dari dua dimensi adalah, pembulatan yang ekstrem. Asumsinya: mereka murni jahat atau murni baik, mereka murni boros atau murni pelit, mereka murni jelek atau murni tampan, dan seterusnya.
Mereka bukan orang sungguhan! Dan karena itu, mereka tidak memperkaya khazanah dongeng kehidupan.
Itu bisa sulit. Kita hidup di dunia yang mana antara pahlawan dan penjahat tidak bisa dibedakan secara jelas. Dunia meme dan media sosial sering kali didukung sebagai dunia kenyataan. Kita terus-menerus tergoda untuk mereduksi dunia dengan stereotip-stereotip datar tak karuan.
Kenyataannya, jalan pikiran kita memang banyak bekerja seperti itu: berusaha menyederhanakan sesuatu dengan dua kemungkinan.
"Apakah makanan ini haram atau halal?" Padahal mungkin saja sunah, makruh, atau mubah.
"Apakah dia putih atau hitam?" Mungkin cokelat.
"Apakah dia pintar atau bodoh?" Mungkin standar.
"Apakah dia kaya atau miskin?" Mungkin mencukupi.
Hidup ini "tiga dimensi"! Jika Anda hanya melihatnya dari satu sudut pandang, Anda melewatkan banyak kebenaran.