Implikasinya, kita mesti punya kemampuan untuk berdiri di tempat mana pun, menilik setiap permasalahan dari pelbagai posisi. Dan saya pikir, pemahaman ini akan menjadi paradigma yang fundamental di masa krisis seperti sekarang.
Pandemi yang kita tunggu akhir ceritanya ini tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda kepergiannya (khususnya Bali dan Jawa). Malahan yang kita dengar kabarnya setiap hari adalah kepergian dari mereka yang berjuang dan yang diperjuangkan.
Entah sudah berapa kali saya melambaikan tangan untuk selama-lamanya pada orang-orang, semua bencana ini mengingatkan kita pada kemalangan diri kita sendiri. Karena justru, penderitaan sebenarnya terletak pada kita yang ditinggal pergi.
Mereka yang pergi sudah tercerabut dari penderitaan duniawi.
Hidup telah menantang kita untuk melihat satu sama lain dalam perspektif tiga dimensi, secara konsisten memilih untuk melihat satu sama lain sebagai orang yang nyata (orang dengan segala kerumitan dan keruwetannya) serta untuk menghibur keingintahuan tentang kerumitan itu.
Pada beberapa kesempatan, kita menemui jalan gelap yang entah di mana cahaya itu tersemat. Tetapi sekali lagi, hidup ini "tiga dimensi", yang berarti bisa diamati dari berbagai sudut pandang. Dan lebih dari itu, paradigma demikian punya pembelajaran yang lebih mendalam.
Menuntun kita untuk menjadi "hakim"
Kekuatan ideal dari seorang hakim adalah kebijaksanaan. Tapi tanpa perlu kita menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjadi hakim, di detik ini juga kita mesti menjadi "hakim" untuk diri sendiri atas segala permasalahan yang kita hadapi.
Layaknya seorang "hakim" di bangku tertinggi persidangan, sebaiknya kita pun punya kemampuan mendasar untuk mengadili setiap perkara. Dalam memecahkan setiap kasus, kita tidak bisa membela satu perspektif yang mungkin saja menipu. Kita harus melirik pada yang tidak mungkin.
Dan dengan demikianlah kita punya ruang yang luas dalam memecahkan permasalahan. Mungkin kasus ini akan lebih gamblang kalau kita sedang menengahi konflik orang lain, tetapi akan menjadi sedikit semu saat yang kita hadapi adalah masalah kita sendiri.
Itu tidak apa-apa. Anda dapat menjaga jarak sementara dengan membayangkan diri Anda adalah seorang detektif yang diutus untuk memecahkan sebuah perkara. Anda dapat menimbang-nimbang berbagai alternatif yang mungkin diambil. Dan adili perkara!
Ketika saya mendengar dia sudah tiada, saya dapat diam sejenak untuk mengambil kesempatan saya dalam menjadi seorang hakim. Saya memisahkan diri dari pikiran-pikiran yang semrawut, menilik lebih dalam tentang apa makna perpisahan untuk selama-lamanya.