Hari demi hari, bulan demi bulan; pada suatu senja yang hangat, Si Bocah memejamkan matanya tanpa pernah terbuka kembali. Kehidupannya berakhir di kala seekor burung elang tiram terbang membelah langit jingga yang memayungi Si Bocah pemulung.
Cermin antik yang sedang digenggamnya itu kini tergeletak di tanah kering dan hangat; meninggalkan guratan-guratan pecah akibat terjatuh pelan. Tidak seorang pun yang menyadari kepergian Si Bocah.
Orang-orang yang datang dan pergi di sekitar taman hanya menganggap Si Bocah sedang tertidur panjang karena terlalu keletihan saat memulung. Lagi pula, seandainya Si Bocah dalam keadaan sehat bugar, mereka tetap tidak memedulikan seorang pemulung.
Pada saat itulah kaca cermin yang semula jernih karena dirawat Si Bocah menjadi basah. Setiap guratan yang terukir di permukaan kaca mengeluarkan air asin bak aliran sungai bercabang yang berusaha sampai ke pinggir samudra.
"Mengapa engkau menangis?" tanya pohon birch itu pada cermin antik yang masih digenggam Si Bocah malang.
"Aku menangisi Si Bocah," jawab cermin.
"Ah, dapat kumaklumi itu," kata pohon birch, "karena aku mengerti tentang keindahan Si Bocah, tetapi engkau selalu bisa menatapnya lebih dekat daripada aku."
"Tapi, indahkah Si Bocah?" tanya cermin.
"Bukankah sepatutnya engkau yang lebih mengetahui?" tanya heran pohon birch itu. "Di dekatmulah Si Bocah berlutut mengagumi dirinya sendiri setiap hari."
Cermin antik terdiam beberapa saat hingga akhirnya berujar, "Aku menangisi Si Bocah, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Si Bocah itu indah. Aku menangis karena, setiap kali dia berlutut untuk menatapku, aku melihat di kedalaman matanya terdapat pantulan keindahanku sendiri."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H