Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mitos Cermin Antik Si Bocah Pemulung

2 Juli 2021   18:05 Diperbarui: 2 Juli 2021   18:47 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari demi hari, bulan demi bulan; pada suatu senja yang hangat, Si Bocah memejamkan matanya tanpa pernah terbuka kembali. Kehidupannya berakhir di kala seekor burung elang tiram terbang membelah langit jingga yang memayungi Si Bocah pemulung.

Cermin antik yang sedang digenggamnya itu kini tergeletak di tanah kering dan hangat; meninggalkan guratan-guratan pecah akibat terjatuh pelan. Tidak seorang pun yang menyadari kepergian Si Bocah.

Orang-orang yang datang dan pergi di sekitar taman hanya menganggap Si Bocah sedang tertidur panjang karena terlalu keletihan saat memulung. Lagi pula, seandainya Si Bocah dalam keadaan sehat bugar, mereka tetap tidak memedulikan seorang pemulung.

Pada saat itulah kaca cermin yang semula jernih karena dirawat Si Bocah menjadi basah. Setiap guratan yang terukir di permukaan kaca mengeluarkan air asin bak aliran sungai bercabang yang berusaha sampai ke pinggir samudra.

"Mengapa engkau menangis?" tanya pohon birch itu pada cermin antik yang masih digenggam Si Bocah malang.

"Aku menangisi Si Bocah," jawab cermin.

"Ah, dapat kumaklumi itu," kata pohon birch, "karena aku mengerti tentang keindahan Si Bocah, tetapi engkau selalu bisa menatapnya lebih dekat daripada aku."

"Tapi, indahkah Si Bocah?" tanya cermin.

"Bukankah sepatutnya engkau yang lebih mengetahui?" tanya heran pohon birch itu. "Di dekatmulah Si Bocah berlutut mengagumi dirinya sendiri setiap hari."

Cermin antik terdiam beberapa saat hingga akhirnya berujar, "Aku menangisi Si Bocah, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Si Bocah itu indah. Aku menangis karena, setiap kali dia berlutut untuk menatapku, aku melihat di kedalaman matanya terdapat pantulan keindahanku sendiri."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun