Si Bocah bermimpi mengunjungi sebuah ladang anggur yang amat luas dan ungu. Langkahnya bergerak perlahan mengelilingi setiap sudut ladang sembari mencicipi buah anggur yang sudah masak.
Di tengah-tengah kesenangannya, Si Bocah melihat seorang perempuan dengan penutup kepala sedang memetik tangkai-tangkai anggur yang dimasukkannya ke dalam sebuah keranjang kecil di tangan kirinya.
Setelah berada dekat dengannya, barulah Si Bocah bisa menilai bahwa perempuan itu merupakan seorang nenek tua renta yang sudah tidak menyisakan satu gigi pun. Si Bocah bertanya, "Apa yang Nenek lakukan di sini?"
Tetapi nenek tersebut tidak memberikan respons apa pun dan hanya melanjutkan pekerjaannya dengan tenang, seolah pertanyaan Si Bocah itu tidak pernah ada. Mungkin pendengarannya juga sudah terganggu, pikir Si Bocah.
Tanpa berpikir apa-apa, Si Bocah membantu nenek tersebut untuk memilih anggur-anggur yang sudah masak. Dia menimbang-nimbang kecerahan warna anggurnya, bertingkah seakan punya keahlian khusus dalam memanen buah anggur, padahal dia sendiri hanya seorang pemulung.
"Dan kau, apa yang kau lakukan di sini?" tanya nenek tersebut tiba-tiba yang membuat Si Bocah menjatuhkan anggurnya tanpa sengaja. Dia sendiri merasa heran karena nada bicara dari nenek tersebut sangat lafal. Gigi-giginya sudah tidak ada!
"Kau tidak mendengarku?" sambung sang nenek tanpa memalingkan pandangannya dari ranting anggur.
Dalam hati, Si Bocah bergumam bahwa nenek itu sendirilah yang tidak mendengar ucapannya. Tetapi kemudian dia berujar, "Entah, aku pikir semua ini adalah surga. Dan ketika di surga, orang-orang tidak menetapkan tujuan apa pun selain bersenang-senang."
Nenek itu menyunggingkan senyum tipis yang amat manis pada Si Bocah. "Ikutlah bersamaku," katanya.
Mereka pun sampai di sebuah gubuk kuno yang setiap dindingnya disekat oleh rotan yang sudah berlubang. Tiang-tiangnya sudah sangat rapuh hingga perkiraan Si Bocah, gubuk ini akan runtuh dalam beberapa jam.
Nenek tersebut masuk ke dalam gubuk beberapa saat, lalu kembali keluar dengan membawa sebuah cermin berpigura kayu antik. Di setiap sisinya terdapat ukiran-ukiran aneh yang mengingatkan Si Bocah pada tembok candi. Dan menilik dari kejernihan kacanya, cermin itu tidak terawat.
"Terimalah cermin ini. Kau mendekati kebenaran; semua ini adalah bagian dari surga. Tidak semua orang menyadari itu, dan kau termasuk orang yang langka."
Si Bocah meraih cermin tersebut dengan hati-hati, tatapannya tertancap kuat pada ukiran indah yang menghiasi setiap sisinya. Begitu indahnya hingga Si Bocah merasa ingin menangis dan berterima kasih pada nenek tersebut.
Namun belum sempat mengucapkan apa-apa, Si Bocah sudah terbangun dari mimpinya yang aneh oleh hujan sinar fajar yang hangat sedikit temaram. Pukul berapa sekarang, Si Bocah tidak tahu. Melihat keadaan kota yang mulai bising, dia memprediksi ini sudah pukul 7 pagi.
Setelah menyegarkan kedua matanya, dia mengusap pintu toko di belakangnya sebagai ungkapan terima kasih pada pemilik toko yang sudah tidak mengusirnya semalaman tadi. Dalam kebanyakan toko yang dia tumpangi untuk tidur, mereka mengusirnya.
Dia merasa bahagia karena sempat mengalami mimpi tersebut. Meskipun meninggalkan kesan yang sangat aneh, mimpi itu tetaplah indah. Ladang anggur itu adalah bagian dari surga, kata sang nenek.
Dalam penderitaan yang dia hadapi di dunia nyata, mimpi selalu menjadi penghibur yang mengasyikkan. Mungkin itulah sebabnya Tuhan membiarkan umat manusia untuk bermimpi.
Banyak orang amat menderita dalam hidupnya, sehingga mungkin mereka sudah mati karena kesedihan seandainya saja mereka tidak memimpikan sesuatu yang indah di sela-sela penderitaan mereka.
Bunyi perutnya yang keroncongan menjadi pertanda bagi Si Bocah untuk segera pergi memulung. Meskipun belum tahu benda apa yang akan dia pungut, setidaknya dia menaruh harapan besar pada sebongkah kardus yang bisa ditukar sebungkus nasi.
Dia membawa karungnya yang sedari tadi tergeletak di depan pintu toko. Ketika "kantongnya" itu dibawa oleh Si Bocah, dia merasakan sesuatu yang janggal dari bentuk dan berat kantongnya. Sontak dia memeriksa isi kantong tersebut dan sepersekian detik matanya terbelalak.
Cermin antik itu ada di sana!
Tanpa berkata apa pun, dia mengeluarkan cermin tersebut dan memerhatikannya dengan seksama. Bersamaan dengan itu, dia berusaha sekeras mungkin untuk mengingat mimpinya tadi. "Ah, persis!" seru Si Bocah.
Dia pergi ke taman kota untuk mencari barang-barang bekas yang biasa ditinggalkan para pengunjung. Sepanjang perjalanan yang lambat itu, Si Bocah hampir tidak melepaskan pandangannya pada cermin kuno yang dipegangnya.
"Aku tidak butuh cermin, tapi aku tidak akan menjualnya karena ukiran kayu ini amatlah indah," pikirnya.
Setibanya di taman, Si Bocah mulai memulung botol-botol bekas minuman yang berserakan di atas tikar-tikar. Matahari mulai naik, keringat asin yang mengucur dari kening menuju pipi selalu membuat Si Bocah merasa geli. Tidak ada lap bersih untuknya selain kaosnya sendiri yang usang.
Dia berjalan menunduk tanpa kesadaran. Semua perhatiannya dicurahkan pada botol-botol bekas dan beberapa kardus kecil yang sudah robek. Sejenak dia sadar bahwa di pinggir taman ini terdapat sebuah ladang jeruk yang terbuka untuk umum.
Si Bocah pun pergi ke sana untuk memulung lebih banyak lagi. Orang-orang sering kepanasan di tengah-tengah ladang jeruk sehingga besar kemungkinan mereka meninggalkan sampah bekas minuman.
Tetapi dalam hitungan langkah yang entah ke berapa, Si Bocah melihat seorang perempuan dengan penutup kepala sedang memetik jeruk-jeruk dan memasukkannya ke dalam sebuah keranjang kecil yang digendong di tangan kirinya.Â
"Ah, benarkah?" gumam Si Bocah.
Sesaat dia mendekati perempuan itu, tebakan Si Bocah tidak meleset. Nenek itu!
"Tahukah Nenek? Nenek hadir dalam mimpiku semalam dan memberikanku sebuah cermin antik besar. Lebih anehnya lagi, cermin itu benar-benar ada di genggamanku ketika aku terbangun!"
Nenek tersebut tidak memberikan tanggapan apa pun serupa dalam mimpi. Sekonyong-konyong terbetik ide bahwa Si Bocah mesti membantu nenek tersebut agar dia memberikan tanggapannya seperti dalam mimpi.
Si Bocah meletakkan cermin itu di tanah dan ikut memetik jeruk-jeruk yang sudah matang. Seperti yang diharapkannya, nenek tersebut berujar, "Tataplah cermin itu setiap hari, dan engkau akan melihat musuh terbesarmu dalam hidup ini.
Engkau mesti menaklukkannya, sebab jika tidak, dialah yang akan terlebih dahulu menghancurkan kehidupanmu. Nasibmu ada pada kehendakmu sendiri. Tuhan hanya akan membantumu, dan bantuan itu hanya terjadi niscaya setelah kamu berusaha."
Si Bocah hanya mematung selama beberapa saat dengan mulut sedikit menganga dan mata tanpa kedipan. Tetapi selang beberapa detik, seorang pria berkumis yang sepertinya penjaga ladang menepuk bahu Si Bocah dan menyadarkannya.
"Jangan mengobrol dengan dia," kata penjaga ladang. "Nenek ini hanyalah seorang cenayang pikun yang sedang menunggu kematiannya."
Karena tidak mendapatkan respons, maka penjaga ladang tersebut menyeret badan Si Bocah untuk menjauh, dan beruntunglah dia sempat meraih cermin antik itu yang tergeletak di tanah. Meskipun sudah tampak samar-samar, nenek tersebut terlihat tidak terusik sama sekali dari kegiatannya.
Si Bocah duduk berteduh di bawah pohon birch yang menjulang cukup tinggi. Dia menatap cermin tersebut dengan teliti dan melihat pantulan wajahnya sendiri yang sudah sangat kusam.
Dia melepaskan kaosnya untuk mengelap cermin tersebut, tetapi hasilnya tetap sama: seorang pemulung berbadan mungil yang sebatang kara. Dalam hatinya berbisik, "Apa maksud nenek itu? Siapa musuh terbesarku? Apakah itu berarti cermin ini adalah cermin sihir?"
Si Bocah berpikir lama hanya untuk memecahkan teka-teki sang cenayang pikun, padahal mungkin saja nenek tersebut berbicara asal dan hendak menipu Si Bocah. Dia kembali fokus menatap pantulan dirinya. Hasilnya tidak berubah.
Kebiasaan itu berulang sepanjang hari pada Si Bocah. Setiap dia berteduh di bawah pohon birch tersebut, dia akan menatap pantulan dirinya sendiri yang tidak pernah berubah sedikit pun. Meskipun tidak ada yang menarik, Si Bocah tetap menaruh harapan agar bisa melihat musuh terbesarnya.
Pada minggu kedua setelah pertemuannya dengan nenek cenayang itu, Si Bocah dapat menyimpulkan petuah aneh yang selama ini mengganggu pikirannya.
"Nenek itu benar," pikirnya, "musuh terbesar dari diriku sendiri adalah diriku sendiri. Karena tidak ada orang lain yang kulihat dari cermin ini selain diriku sendiri. Ketika aku menatap bayanganku, dia juga menatapku. Kami adalah sekutu sekaligus musuh yang saling bertatapan."
Tetapi meskipun yang dilihatnya itu adalah kawan serempak lawan, Si Bocah tetap dapat mengagumi dirinya sendiri yang terpantul di cermin itu. Dia tidak merasakan kesendirian, apalagi kesedihan. Satu-satunya yang dia rasakan adalah, keindahannya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan; pada suatu senja yang hangat, Si Bocah memejamkan matanya tanpa pernah terbuka kembali. Kehidupannya berakhir di kala seekor burung elang tiram terbang membelah langit jingga yang memayungi Si Bocah pemulung.
Cermin antik yang sedang digenggamnya itu kini tergeletak di tanah kering dan hangat; meninggalkan guratan-guratan pecah akibat terjatuh pelan. Tidak seorang pun yang menyadari kepergian Si Bocah.
Orang-orang yang datang dan pergi di sekitar taman hanya menganggap Si Bocah sedang tertidur panjang karena terlalu keletihan saat memulung. Lagi pula, seandainya Si Bocah dalam keadaan sehat bugar, mereka tetap tidak memedulikan seorang pemulung.
Pada saat itulah kaca cermin yang semula jernih karena dirawat Si Bocah menjadi basah. Setiap guratan yang terukir di permukaan kaca mengeluarkan air asin bak aliran sungai bercabang yang berusaha sampai ke pinggir samudra.
"Mengapa engkau menangis?" tanya pohon birch itu pada cermin antik yang masih digenggam Si Bocah malang.
"Aku menangisi Si Bocah," jawab cermin.
"Ah, dapat kumaklumi itu," kata pohon birch, "karena aku mengerti tentang keindahan Si Bocah, tetapi engkau selalu bisa menatapnya lebih dekat daripada aku."
"Tapi, indahkah Si Bocah?" tanya cermin.
"Bukankah sepatutnya engkau yang lebih mengetahui?" tanya heran pohon birch itu. "Di dekatmulah Si Bocah berlutut mengagumi dirinya sendiri setiap hari."
Cermin antik terdiam beberapa saat hingga akhirnya berujar, "Aku menangisi Si Bocah, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Si Bocah itu indah. Aku menangis karena, setiap kali dia berlutut untuk menatapku, aku melihat di kedalaman matanya terdapat pantulan keindahanku sendiri."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H