Engkau mesti menaklukkannya, sebab jika tidak, dialah yang akan terlebih dahulu menghancurkan kehidupanmu. Nasibmu ada pada kehendakmu sendiri. Tuhan hanya akan membantumu, dan bantuan itu hanya terjadi niscaya setelah kamu berusaha."
Si Bocah hanya mematung selama beberapa saat dengan mulut sedikit menganga dan mata tanpa kedipan. Tetapi selang beberapa detik, seorang pria berkumis yang sepertinya penjaga ladang menepuk bahu Si Bocah dan menyadarkannya.
"Jangan mengobrol dengan dia," kata penjaga ladang. "Nenek ini hanyalah seorang cenayang pikun yang sedang menunggu kematiannya."
Karena tidak mendapatkan respons, maka penjaga ladang tersebut menyeret badan Si Bocah untuk menjauh, dan beruntunglah dia sempat meraih cermin antik itu yang tergeletak di tanah. Meskipun sudah tampak samar-samar, nenek tersebut terlihat tidak terusik sama sekali dari kegiatannya.
Si Bocah duduk berteduh di bawah pohon birch yang menjulang cukup tinggi. Dia menatap cermin tersebut dengan teliti dan melihat pantulan wajahnya sendiri yang sudah sangat kusam.
Dia melepaskan kaosnya untuk mengelap cermin tersebut, tetapi hasilnya tetap sama: seorang pemulung berbadan mungil yang sebatang kara. Dalam hatinya berbisik, "Apa maksud nenek itu? Siapa musuh terbesarku? Apakah itu berarti cermin ini adalah cermin sihir?"
Si Bocah berpikir lama hanya untuk memecahkan teka-teki sang cenayang pikun, padahal mungkin saja nenek tersebut berbicara asal dan hendak menipu Si Bocah. Dia kembali fokus menatap pantulan dirinya. Hasilnya tidak berubah.
Kebiasaan itu berulang sepanjang hari pada Si Bocah. Setiap dia berteduh di bawah pohon birch tersebut, dia akan menatap pantulan dirinya sendiri yang tidak pernah berubah sedikit pun. Meskipun tidak ada yang menarik, Si Bocah tetap menaruh harapan agar bisa melihat musuh terbesarnya.
Pada minggu kedua setelah pertemuannya dengan nenek cenayang itu, Si Bocah dapat menyimpulkan petuah aneh yang selama ini mengganggu pikirannya.
"Nenek itu benar," pikirnya, "musuh terbesar dari diriku sendiri adalah diriku sendiri. Karena tidak ada orang lain yang kulihat dari cermin ini selain diriku sendiri. Ketika aku menatap bayanganku, dia juga menatapku. Kami adalah sekutu sekaligus musuh yang saling bertatapan."
Tetapi meskipun yang dilihatnya itu adalah kawan serempak lawan, Si Bocah tetap dapat mengagumi dirinya sendiri yang terpantul di cermin itu. Dia tidak merasakan kesendirian, apalagi kesedihan. Satu-satunya yang dia rasakan adalah, keindahannya sendiri.