Ketika Anda merasakan amarah yang tak tertahankan kepada seseorang, berupayalah untuk menilainya secara keseluruhan dan pikirkan bagaimana dia punya peranan dalam hidup Anda.Â
Dalam kebanyakan kasus, kita sering mengabaikan kebaikan seseorang hanya karena satu kesalahannya.
Begitulah cara kerja generalisasi, mereka membentuk kesimpulan secara umum melalui suatu kejadian, hal, dan sebagainya.Â
Mereka menyederhanakan sesuatu daripada yang sebenarnya. Dan generalisasi ini sering kali didorong oleh ketergesa-gesaan kita dalam menilai sesuatu.
Katakanlah saya (yang merupakan sahabat Anda) baru saja menjatuhkan ponsel Anda tanpa sengaja. Alih-alih menampar saya karena satu kesalahan itu, lebih baik pikirkan dulu tentang kebaikan atau peranan saya dalam hidup Anda.
Jika sudah, Anda dapat menyimpulkan apakah saya ini hanyalah kepulan polusi dalam hidup Anda atau sebongkah mutiara yang punya setitik cacat di permukaannya. Pertimbangkan dengan matang.
Andaikan saya memang banyak berbuat kesalahan terhadap Anda, jangan dulu menampar saya! Aw! Kembali lagi ke landasan pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Kalau hasilnya tetaplah sama, silakan tampar saya!
Tapi sungguh disayangkan, saya mulai meragukan tingkat kewarasan Anda.
Dilematik batas kesabaran
Sebagian orang percaya bahwa kesabaran itu ada batasnya. Sebagian lagi bersikeras tidak; kesabaran itu tidak ada batasnya.Â
Saya tidak tahu Anda berpihak pada yang mana, tapi saya tahu bahwa Anda akan bertanya tentang keyakinan saya sendiri.
Sesungguhnya kita sangat beruntung menjadi manusia. Kita adalah makhluk dua dunia. Kita seperti suatu makhluk yang mengombinasikan esensi malaikat dan hewan.