Pernah suatu waktu, makan siang saya diinjak seekor kucing yang entah dari mana kemunculannya.Â
Piring itu saya tinggalkan di lantai sebentar untuk mencuci tangan, dan ketika saya kembali, semua sudah tumpah berceceran tanpa sisa sedikit pun.
Udara panas yang dipadukan perut keroncongan benar-benar mendidihkan seluruh aliran darah saya hingga amarah itu membuat kepala cukup pening. Seketika kucing itu kembali lagi dan sedang mengejar seekor tikus kerdil yang amat lincah.
Saya punya pilihaN, memukul kucing itu (hingga mati) atau bersabar dengan segera membereskan pecahan piring.Â
Dalam puncak amarah itu, tiba-tiba saya berpikir bahwa tingkah kucing tersebut terbilang wajar dan mesti dimaklumi.
Saya merasakan pengertian yang sangat lembut bahwa seekor kucing punya naluri untuk mengejar tikus, dan tidak seekor kucing pun yang dapat melawan naluri tersebut.Â
Seekor kucing bukanlah hewan berpikir seperti manusia. Dia tidak punya daya untuk mengendalikan nalurinya.
Dalam kejernihan pikiran itu, amarah yang tadinya membakar sekujur badan saya mendadak padam.Â
Sekonyong-konyong perasaan jenaka mulai muncul, dan saya hanya tertawa tanpa kejelasan saat itu.
Pengertian dalam konteks ini tidak sepenuhnya merujuk pada pikiran. Jika kita hanya sebatas mengerti di tingkat akal, kesabaran yang kita junjung tidak akan muncul ke permukaan. Akal manusia punya kendali yang lemah. Buktinya, penjahat cerdas banyak berkeliaran di dunia ini.
Pengertian yang diolah dalam pikiran harus ditindaklanjuti oleh hati (atau perasaan). Di sinilah kita dapat sampai pada tahap empati. Dengan mengerti dan merasakan, kita telah memadukan kecerdasan dan kelembutan yang harmonis.