Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pertimbangkan Hal Ini Sebelum Memutuskan untuk Menjadi Terkenal

20 Juni 2021   06:25 Diperbarui: 22 Juni 2021   04:21 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi terkenal jauh lebih mudah daripada masa-masa sebelumnya. Media sosial telah berpengaruh banyak soal itu, dan akses terhadapnya juga begitu luas serta mudah. Barangkali karena inilah, kita menemukan selebriti-selebriti baru dari berbagai kalangan setiap harinya.

Ide untuk menjadi terkenal tidak selalu diakui setiap orang. Keinginan itu dikubur di lubuk hati terdalam, menyematkan gairah ketenaran yang tertutupi rasa malu. Meskipun begitu, secara diam-diam, angan-angan menjadi terkenal memiliki daya tarik yang besar.

Tidaklah mengherankan jika kita menemukan orang-orang yang mengejar ketenaran, sebab ketenaran itu sendiri menawarkan beberapa keuntungan yang signifikan. Ketika Anda menjadi terkenal, setiap langkah Anda tidak akan luput dari pandangan penggemar Anda.

Orang-orang akan tersenyum ramah kepada Anda saat di jalan, di samping ketidaksukaan Anda terhadap mereka. Mungkin Anda juga akan aman dari penolakan, sebab orang lain menghargai popularitas Anda yang berharga. Mereka akan meminta foto dengan Anda!

Kadang-kadang mereka tertawa gugup di depan Anda karena aura misterius itu telah mendahului perkataan Anda. Semua keluhan Anda akan ditanggapi secara serius, sebab kebahagiaan Anda telah menjadi fokus utama semua orang.

Tapi pertanyaannya: dari mana semua fantasi itu muncul dan mengapa kita menginginkannya?

Saya yakin, fantasi itu muncul sebagai akibat dari doktrinasi televisi atau semacamnya. Kita melihat bayangan-bayangan itu setiap hari di berbagai media, dan disadari atau tidak, pikiran kita terpengaruh oleh semua tayangan itu.

Kita pikir menjadi terkenal itu berarti dihargai, dicintai, dan diperhatikan. Kita mengira itu sebagai suatu kesenangan yang tiada tara, suatu perasaan di mana kita berada dalam pelukan orang-orang sekitar. Tidak ada kemiskinan; mereka selalu ada untuk kita.

Hasrat tersebut juga bisa berakar pada pengalaman ditolak dan diabaikan. Kenangan tersebut melahirkan cedera dalam perasaan yang tidak terperi hingga dibuat merasa sangat tidak berarti.

Mungkin pernah suatu waktu, jerih payah mereka untuk menyenangkan orang lain tidak dihargai sama sekali, sehingga muncul perasaan yang menggebu untuk menjadi terkenal dan membalikkan situasi.

Apa yang umum untuk semua mimpi ketenaran adalah bahwa dikenal orang asing itu muncul sebagai solusi untuk luka masa lalu. Ia hadir sebagai jawaban atas kebutuhan mendalam untuk dihargai, dan diperlakukan dengan baik oleh orang lain.

Masalah dari ketenaran

Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun. Di sini saya sadar betul bahwa saya sedang membicarakan manusia dengan segala keegoisannya. Namun justru karena itulah saya menulis ini, berusaha untuk membagikan apa yang saya ketahui tentang risiko dari ketenaran.

Apa yang saya temukan sejauh ini adalah, ketenaran yang lumrah dipahami sebagai solusi malah sering datang sebagai polusi. Sesuatu yang kita anggap menguntungkan ternyata lebih banyak membuntungkan! Ada banyak cacat dalam popularitas. Mengapa?

Terikat oleh hal-hal di luar diri sendiri

Masalah terbesar dari menjadi terkenal adalah kesulitan kita untuk menjadi diri sendiri. Sebelum Anda memutuskan untuk mengejar ketenaran, Anda mesti sadari baik-baik bahwa itu berarti Anda sedang mengikatkan diri Anda pada keinginan orang lain.

Tuntutan pasar menjadi daftar panjang yang harus Anda centang setiap hari. Pelanggaran aturan ini bisa membuat Anda kehilangan semuanya dalam sekejap. Selera pasar amatlah dinamis dan sensitif! 

Anda mengabaikan kehausan mereka sekali saja, Anda mendekati jurang kehancuran.

Inilah mengapa mereka yang mengejar ketenaran dan bisa terkenal mendadak sering tidak bertahan lama muncul di permukaan: karena mereka tidak bisa terus-terusan menuruti keinginan pasar.

Keletihan mereka telah membunyikan sirene peringatan dalam jiwanya yang menandakan sudah saatnya mereka kembali menjadi diri sendiri.

Katakanlah Anda sekonyong-konyong menjadi selebriti yang dipuja karena parasnya. Dengan menjadi terkenal, berarti Anda mesti merelakan diri Anda sendiri yang diatur sedemikian rupa oleh selera pasar.

Mulai dari alis yang tebal, bulu mata yang lentik, hidung seperti perempuan Rusia, bibir tebal yang merona, rambut terurai lurus bak mi ramen, kuku jari berwarna-warni seperti sayap merak, dan gaun Anda itu ... mengingatkan saya pada gumpalan kapas di langit musim panas!

Dan itu tidak mutlak. Maksud saya, Anda bisa saja melanggar atau mengabaikan selera publik yang Anda benci. Tetapi risikonya jelas di depan mata: Anda akan terlempar dari ketenaran yang berkilauan itu.

Ah, sekarang Anda mengingatkan saya pada seekor anjing penurut yang saya lihat sedang terikat oleh tali hitam di taman kota. Dia tercekik! Dalam matanya yang berbinar-binar, tercermin bola-bola yang dilemparkan anak-anak.

Tetapi dayanya tidak cukup kuat untuk terlepas, sebab (hanya) majikannya itulah yang selama ini memberi dia makanan berkalori rendah.

Dramatisasi kesalahan sepele

Nah, jaga sikap Anda andai kata Anda sudah punya popularitas. Kesalahan sesepele apa pun yang Anda lakukan (meskipun tanpa sengaja), media-media itu akan cenderung membesar-besarkannya. Mereka bertahan hidup dengan cara demikian, dan Anda mesti memahami itu.

Tetapi pada akhirnya, mungkin Anda tidak akan bertahan dengan cacian dan cercaan itu. Anda mulai stres hingga depresi, jeritan yang teramat perih dalam kebisuan seribu kata. Atau bisa saja Anda memilih berkicau untuk melawan. Hanya saja, CCTV ada di mana-mana!

Anda hampir tidak punya kesempatan untuk mengelak! Semua orang merekam aktivitas Anda!

Itu kasus yang ekstrem, tapi saya membuatnya jelas. Dan hal terburuk dari masalah ini adalah, Anda menjadi pribadi yang tidak menghendaki kekeliruan.

Padahal kesalahan adalah sesuatu yang melekat pada diri setiap orang, sehingga menghindarinya sama dengan menghindari kehidupan. Kesalahan yang dipelajari merupakan guru terbaik melebihi pengalaman belaka.

Dan karenanya, mereka yang keliru telah membuka diri untuk berkembang. Tetapi mereka yang punya ketenaran tidak mengizinkan hal semacam ini. Pikiran mereka hanya terpatok pada kesempurnaan; sesuatu yang memang senantiasa dituntut oleh publik.

Menurut saya, ini jelas berbahaya. Mengejar kesempurnaan di dunia yang tidak sempurna ini adalah suatu kesia-siaan. Dan jika ketenaran itu telah amat melekat dalam diri seseorang, sepanjang umurnya dia tidak akan mampu menerima kekeliruannya, entah itu sesepele apa pun.

Mungkin kesadarannya baru tiba di titik penghabisan. Dan di saat itulah dia mengerti bahwa, kehidupan yang bahagia tidak datang dari jerih payah untuk menyenangkan orang lain, melainkan murni lahir dari dalam diri sendiri.

Tentu skenario yang sebaliknya juga berlaku. Andaikan Anda punya popularitas, kebaikan sekecil apa pun akan dibesar-besarkan dan diberitakan sebagai suri teladan semua orang. Seluruh dunia pun seakan-akan menyelimuti Anda dengan bising tepuk tangan yang gaib.

Lihat saja, pernah diberitakan seorang selebriti yang pergi ke minimarket dengan menggunakan daster sederhana. Kemudian desas-desus pujian mulai bermunculan dan dikatakan sebagai contoh gaya hidup sederhana.

Ayolah, saya sering ke SUPERMARKET menggunakan SARUNG dan KAOS POLOS, tapi tidak pernah tuh diwartakan sebagai contoh (sempurna) dari gaya hidup sederhana! Ah, iya, saya sedang hidup di dunia yang penghuninya suka memilih-milih.

Tapi, coba renungkan antara dua kemungkinan tersebut. Dan sesungguhnya, tidak ada salah satu pun dari keduanya yang nihil keburukan.

Memakai "topeng" setiap hari

Oh Anda punya ketenaran? Baiklah, saran saya, pakailah topeng Anda setiap kali Anda muncul di hadapan publik. Anda mesti menjaga rasa malu! Paparazi ada di mana-mana! Sekali saja Anda terciduk sedang mengupil ... tamatlah ketenaran Anda!

Senantiasa menjadi bahan gosip

Setiap orang punya pembenci (haters), tetapi jumlahnya tidak akan sebanyak orang-orang terkenal. Mereka menjadi sasaran empuk untuk digosipkan ibu-ibu komplek di depan gerobak sayur.

Mukadimahnya begitu khas, "Eh, bukannya saya mau bergosip ya ..." Begitulah, hingga meletuslah peristiwa yang saya sebut "tragedi gerobak sayur".

Tetapi bagian terburuknya adalah, kebaikan sebesar apa pun yang Anda lakukan akan selalu terlihat buruk di mata para pembenci. 

Mereka seperti menggunakan kacamata merah, sehingga apa pun yang mereka lihat dari Anda hanyalah warna merah seperti api yang menyala-nyala di neraka.

Segala sesuatu yang Anda perbuat akan senantiasa dinilai keliru oleh mereka yang membenci Anda. Jadi sebelum memutuskan untuk mengejar ketenaran, cermati risiko ini dengan matang. 

Jika Anda punya mental seperti kayu, Anda akan mudah patah oleh penilaian mereka.

Maraton yang tiada berujung

Menjadi terkenal itu seperti sedang berlomba maraton. Mengapa? Sebab Anda turut masuk ke dalam persaingan dunia ketenaran yang bengis. 

Katakanlah Anda terjun ke dunia selebriti. Mau tidak mau, Anda mesti bersaing dengan selebriti lain agar ketenaran Anda tetap bertahan. (Mungkin inilah mengapa akhir-akhir ini banyak perselisihan di kalangan sesama selebriti).

Atau jika Anda mencapai popularitas lewat bernyanyi, maka sudi tidak sudi, Anda harus bersaing dengan penyanyi lainnya untuk mempertahankan reputasi Anda.

Di mana pun Anda mencapai ketenaran, Anda turut terjun ke dalam persaingan yang acapkali begitu kotor. Barang siapa yang mampu memuaskan rasa lapar hiu-hiu ganas itu, maka seluruh pertunjukan adalah miliknya.

Persoalan ini mengingatkan saya pada burung manakin merah yang punya bulu elok. Para burung jantan akan menampilkan atraksi unik berupa tarian "Moonwalk" untuk menarik perhatian burung betina.

Barang siapa yang tariannya paling indah, maka dialah yang akan dipilih oleh sang betina. Ya, sedikit banyak, persaingan dunia ketenaran mirip-mirip seperti kasus burung manakin merah.

Krisis kepercayaan

Mereka yang punya ketenaran akan lebih sulit untuk mempercayai orang-orang di sekitarnya. Sungguh! Dalam kacamata mereka, semua orang adalah perampok yang berpura-pura bertingkah baik supaya dapat merebut kekayaannya, atau memanfaatkan ketenarannya.

Jadi, kita dilarang untuk menjadi terkenal?

Tidak, tidak sama sekali. Apa yang saya maksudkan di sini adalah, ada beberapa risiko yang mesti dihadapi oleh Anda jika ingin menjadi terkenal. Siap tidak siap, risiko itu akan selalu menggerogoti Anda tanpa memedulikan dari mana Anda memulainya.

Tapi tulisan ini datang bukannya tanpa membawa cahaya.

Di sini saya menyarankan Anda agar tidak mengejar ketenaran dalam bentuk apa pun. Bukannya tanpa alasan, mengejar ketenaran dengan terlalu keras akan melahirkan segunung harapan yang justru membuat Anda mudah sumpek.

Ketenaran tidak hadir untuk menjawab segala harapan Anda. Karenanya tidak ada kebahagiaan sejati di sana!

Saya berpendapat untuk menjadikan popularitas sebagai efek samping. Dalam konteks ini, kita tidak mengejar ketenaran, melainkan ketenaran itu sendirilah yang mengejar kita. Ia terjadi secara niscaya tanpa ada kehendak sedikit pun dari kita.

Dengan demikianlah, kita tetap punya kuasa sepenuhnya untuk menjadi diri sendiri; tidak terikat oleh apa pun yang berada di luar kita. Seandainya mereka kecewa dengan apa adanya diri kita, jelas tidak apa-apa karena tujuan awal kita memang bukan ketenaran.

Itulah yang membuat "personal branding" kita dapat tercipta dengan sendirinya. Mengapa? Karena hanya dengan menjadi dirinya sendirilah, setiap orang memunculkan keunikannya.

Tidak ada sepasang insan pun yang dilahirkan secara identik sempurna. Bahkan tidak ada dua helai rumput yang serupa di dunia ini. Kita sebagai manusia tercipta dengan keunikannya tersendiri; sesuatu yang menjadikan setiap orang begitu khas di antara sesamanya.

Lewat keunikannya inilah, setiap orang punya potensi untuk menciptakan personal branding-nya masing-masing. Dan hanya dengan begitulah, ketenaran berjalan dengan sendirinya di belakang kita; mengikuti ke mana langkah tuannya yang khas itu.

Bagaimanapun juga, menjadi diri sendiri dan tidak dikenal jauh lebih mulia daripada menjadi terkenal dan terikat oleh keinginan publik. Tetapi ketenaran itu sendiri tidak dapat dihindarkan jika kita memang punya pengaruh yang luar biasa terhadap masyarakat.

Karenanya saya berpandangan bahwa ketenaran bukan untuk dikejar, melainkan terjadi sebagai efek samping. Bukan kita yang menimpa popularitas, tapi popularitas itulah yang menimpa kita dengan sendirinya.

Dan jika ketenaran itu hanya sebagai efek samping, maka kita tidak akan menggantungkan diri kita pada selera pasar karena bukan persoalan semacam itu yang kita perjuangkan. Maka apa yang mesti dilakukan?

Saya berpendapat lagi, bahwa lebih mulianya kita senantiasa melakukan apa yang kita mampu untuk memberikan pengaruh terhadap negeri ini, peradaban ini, dan dunia ini. Tentu apa yang saya maksudkan merujuk pada konotasi positif.

Karena saya sendiri yakin bahwa setiap orang punya potensi yang unik untuk bisa menonjol di antara sesamanya, dan potensi itulah yang mesti dimaksimalkan pengerahannya supaya dapat mewujudkan eksistensinya sebagai manusia.

Tidak perlu khawatir, kapan pun Anda berhasil melakukannya, penghargaan-penghargaan itu akan datang sebagai efek samping secara niscaya. Implikasi penting dari menjadi terkenal adalah, Anda harus menjadi panutan.

Dan sesungguhnya, mereka yang punya alasan murni untuk memberikan pengaruh terhadap peradaban, tidak ada setitik pasir pun dalam hatinya yang mengharapkan penghargaan atau ketenaran. 

Mereka hanya melakukannya dengan jerih payah terbaik mereka tanpa syarat apa pun!

Jadi ... angkat topi Anda, Tuan-tuan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun