Aku memahami cinta sebagai sebuah aktivitas; sesuatu yang diperjuangkan. Ia tumbuh dari akar hingga ke pucuk dan bukannya gulma yang tumbuh dengan sendirinya.Â
Karena itulah aku menolak untuk "jatuh cinta". Maksudku, aku tidak jatuh cinta, melainkan berdiri dalam cinta. Aku tidak menerima cinta dalam keadaan jatuh, melainkan berdiri menyambutnya, menikmati setiap sisi dari sentuhannya.
Bagiku, cinta datang sebagai sebuah imbauan. Ia datang seperti panggilan dari Aku ke Aku yang lain.Â
Justru karena aku bertemu Alcon Biru itu, maka ketertarikanku untuk mencintainya bukan karena kupu-kupu itu memiliki banyak hal yang memikatku, tapi aku mencintainya karena dia adalah dia. Aku mencintai Alcon Biru itu karena dia adalah dia dan bukan kupu-kupu Morpho.
Ya, memang tidak mudah mendefinisikan cinta secara pasti. Seperti kata Rumi, tak ada yang bisa menjelaskan hakikat cinta, namun cintalah yang menjelaskan segala hakikat.Â
Semua bentuk pengalaman yang dialami manusia merupakan efek dari cinta---atau setidaknya begitulah menurutku.
Peperangan yang telah dilalui oleh umat manusia disebabkan oleh perbedaan cinta antara beberapa kubu, entah itu perbedaan cinta pada agama, negara, suku, ras, dan semacamnya.Â
Andaikan semua orang sepakat untuk mencintai yang satu, akan lebih mudah untuk membayangkan bagaimana dunia menjalani kedamaian. Tentu tidak sesederhana itu, tapi lihatlah bagaimana cinta telah merombak masuk ke dalam berbagai dimensi kehidupan.
Sekarang jika aku percaya dengan keberadaan Sang Pencipta, aku yakin Dia menciptakan kita karena kecintaan-Nya. Karena apa yang menjadi alasan-Nya untuk menciptakan kita? Alasan yang paling masuk akal bagiku adalah karena Dia mencintai kita.Â
Seseorang tidak menciptakan sesuatu yang dibencinya, kecuali karena keterpaksaan. Tapi siapa yang memaksa Dia untuk menciptakan kita?
Gadis Safir-ku yang murung, sepanjang sejarah kita melihat bagaimana manusia merefleksikan cintanya dengan beragam cara. Tidak perlu aku sebutkan, kamu bisa merenungkannya sendiri.Â