Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apakah Hari Sial Itu Benar-Benar Ada?

10 Juni 2021   19:54 Diperbarui: 17 Juni 2021   12:34 2028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir setiap orang yang saya kenal pernah mengatakan, "Ah, aku sedang mengalami hari sial!" Biasanya mereka menghiasinya dengan kata-kata kasar. Bahkan dalam kasus tertentu, mulut mereka tiba-tiba fasih sekali mengenal nama-nama binatang.

Maksud saya, sungguh? Apakah sesuatu yang kita sebut sebagai hari sial itu memang benar-benar ada? Tentu saya sendiri juga pernah bersumpah serapah semacam itu. Dan Anda pun sepatutnya jujur pada diri sendiri.

Mungkin pernah suatu hari, nomor Anda tidak muncul di meja perjudian Macau. Atau melamar kerja ke beberapa perusahaan dan tidak satu pun di antaranya yang berhasil. Atau ketahuan selingkuh di balik semak-semak yang terpasang kamera CCTV.

Lantas Anda melolong bak serigala, "Sial! Hari-hariku sungguh sial!"

Omong kosong! Anda tahu mengapa?

Setiap peristiwa bersifat netral

Tidak ada yang namanya hari sial dalam kenyataan. Bahkan apa yang kita sebut sebagai hari keberuntungan juga tidak ada. Persepsi semacam itu hanyalah doktrin yang kita terima dari orang-orang di sekitar kita yang menganggap hidup adalah tentang untung atau rugi.

Kita tidak bisa mengklaim hari-hari kita sebagai untung atau rugi, sebab tidak ada parameter universal yang bisa mengukur untung atau rugi. Mungkin saja apa yang kita sebut kesialan ternyata malah mendatangkan keuntungan yang luar biasa di waktu kemudian.

Ini seperti ketika Anda menyeberangi jalan. Saat Anda sampai di seberang jalan dan merasa beruntung karena terhindar dari kecelakaan, itu tidak benar. Mungkin saja kecelakaan yang Anda takuti justru baru menimpa Anda ketika sudah sampai di seberang jalan.

Tidak ada yang tahu. Bagaimana kalau tiba-tiba sebuah truk terguling dan menghantam Anda yang baru saja merasa beruntung karena sampai di seberang jalan dengan selamat? 

Nah, bukankah itu yang disebut kesialan? Tidak juga. Anda tidak tahu hikmah macam apa yang bersemayam di balik kecelakaan itu. Mungkin pembelajaran yang sangat luar biasa!

Tapi jika kemudian Anda dapat memetik pembelajaran yang dimaksud, apakah kecelakaan itu dapat disebut sebagai keberuntungan? Tidak juga, sebab kaki Anda telah remuk.

Semua peristiwa yang terjadi dalam hidup kita berlaku seperti itu. Segala sesuatu yang kita alami selalu bersifat netral.

Ketika kita mengira itu pengalaman yang buruk, kita hanya belum menemukan pembelajaran darinya. Dan ketika kita menyebut sesuatu sebagai pengalaman beruntung, kita hanya tidak tahu apa keburukan darinya.

Kita memiliki dua mata, tetapi dalam banyak kasus, kita hanya melihat sesuatu dari satu sisi dan melewatkan sisi lainnya.

Ini seperti teka-teki gelas separuh. Jika saya punya satu gelas yang separuhnya berisi air, apakah saya harus menyebutnya gelas setengah berisi atau gelas setengah kosong? Dan apa pun jawabannya, tidak ada jawaban benar atau pun salah.

Ilustrasi oleh Cocoparisienne via Pixabay
Ilustrasi oleh Cocoparisienne via Pixabay
Jika Anda mengklaim satu jawaban, katakanlah bahwa gelas itu setengah berisi, berarti Anda menyederhanakan kesimpulan dan mengabaikan kebenaran lainnya. Begitu pun ketika Anda mengklaim hari kesialan, Anda melihatnya dengan satu mata seperti bajak laut.

Pembenaran interpretasi atau asumsi

Kini pikirkan sejenak: kapan terakhir kali Anda mengalami hari yang buruk? Jujur, saya tidak peduli. Sebab masalahnya, tidak ada yang namanya hari buruk atau sial dalam kenyataan.

Hari buruk yang kita klaim hanyalah buah dari interpretasi kita tentang realitas, yang kemudian menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya. Kita punya kebiasaan yang lucu, bahwa kita selalu ingin membenarkan asumsi kita sendiri.

Misalnya pada suatu hari yang cerah, Anda terjatuh ke dalam parit saat sedang fokus bermain ponsel. Anda mengucapkan sumpah serapah selama perjalanan pulang hingga menjadi pusat pandangan orang-orang sekitar. Kini Anda bertambah malu.

Kemudian Anda tidak sengaja melihat kalender di ponsel dan mulai menganga. Ini hari Jumat tanggal 13! Ah, angka 13 adalah angka sial! Anda pun mulai mengaitkan segala asumsi Anda dengan mitos-mitos yang tersebar, dan melanjutkan kembali sumpah serapah.

Begitulah masalahnya: ketika seseorang percaya dengan adanya hari sial, maka segala peristiwa yang dia alami, tidak peduli seremeh apa pun kemalangan itu, dia akan tetap mengatakannya sebagai hari sial.

Tidak bisa tidak, sebab orang-orang seperti dia selalu ingin membenarkan asumsinya sendiri. Mereka merasa punya kebenaran, sekalipun seluruh dunia mampu membuktikan bahwa mereka salah.

Manusia punya kecenderungan untuk membenarkan interpretasinya sendiri, meskipun tidak berdasar. Ada kepuasan diri dari klaim semacam itu. Akan tetapi, kepuasan itu begitu singkat dan rapuh.

Terbukanya pintu harapan

Sebab lain mengapa kita percaya adanya hari sial adalah terbukanya pintu harapan kita. Harapan adalah kunci untuk membuka hari yang indah atau buruk.

Dalam kata-kata Alexander Pope, "Berbahagialah dia yang tidak mengharapkan apa-apa, karena dia tidak akan pernah kecewa."

Pada kenyataannya, hari-hari yang kita anggap buruk dan sial tidaklah demikian adanya. Itu hanyalah hari-hari yang tidak berjalan sesuai rencana, atau hari-hari yang melenceng dari prediksi kita.

Ketika harapan kita terpenuhi atau terlampaui, kita akan dengan mudah mengatakan "ini hari yang indah". Tidak peduli kenestapaan apa yang mengiringi keindahan itu, kita akan tetap menyebutnya sebagai hari keberuntungan.

Begitu juga sebaliknya: jika harapan kita tidak terpenuhi, tidak peduli seberapa besarnya kebahagiaan yang menyertainya, kita akan cenderung menyebut itu sebagai hari sial.

Hal semacam itu mirip seperti Efek Placebo. Placebo adalah "obat palsu" yang bentuknya dibuat mirip dengan obat asli. Meskipun ini tidak mengandung obat apa pun, tapi placebo bisa menimbulkan efek semu yang membuat penggunanya merasa lebih baik.

Daerah otak yang menafsirkan rasa sakit sebenarnya dapat beraktivitas jauh lebih sedikit ketika subjek telah menurunkan harapannya terhadap rasa sakit yang mereka alami.

Dulu saat masih kecil, saya pernah dibohongi oleh ibu saya. Ketika saya sakit dan mesti disuntik, saya bersikeras tidak mau karena takut jarum suntik. Saya bisa merasakan keperihannya jauh sebelum jarum itu menusuk kulit saya.

Tapi kemudian, Ibu memberi saya sebuah tablet menyerupai obat. Dia menjelaskan bahwa tablet itu adalah obat penghilang rasa sakit. Saya masih begitu lugu saat itu, jadi saya makan dan ... rasanya manis!

Akhirnya saya pun berani untuk disuntik. Ketika jarum itu sudah terlepas, Ibu bertanya, "Bagaimana, sakit?" Saya menggelengkan kepala dengan malu dan tersenyum. Mendadak ibu saya tertawa seperti aktor antagonis di film-film.

Baru beberapa hari yang lalu ibu saya bilang bahwa tablet yang dulu disebut-sebut sebagai obat penghilang rasa sakit hanyalah permen rasa jeruk! Ah, saya telah diperdaya oleh ibu saya sendiri.

Demikian pula yang terjadi pada Efek Placebo. Ini bukan hanya masalah pasien yang membodohi diri mereka sendiri untuk mengalami rasa sakit yang lebih rendah, tapi juga tentang harapan yang bercokol di pikiran mereka turut berpengaruh terhadap persepsi mereka.

Ketika kita percaya akan adanya hari sial, maka disadari atau tidak, kita telah meletakkan harapan pada diri kita untuk mendukung itu sebagai kebenaran. Pada akhirnya, seremeh apa pun kenestapaan yang Anda alami, Anda akan mengatakan itu sebagai kesialan.

Jadi begitulah, kita punya kemampuan untuk membuat hari yang sial itu menjadi ada, jika kita percaya itu ada.

Penyederhanaan yang berlebihan

Seperti kata pepatah, "Nila setitik, rusak susu sebelangga." Ketika satu kemalangan mewarnai hari Anda yang cerah, Anda akan lebih senang mengatakan itu sebagai hari sial. 

Kita memang senang menyederhanakan suatu peristiwa dengan satu penilaian agar lebih mudah mengatakannya.

Misalnya, pada suatu hari dari pagi hingga siang, katakanlah selama 4 jam, telah terjadi hujan lebat. Keesokan harinya, saya bertanya kepada Anda, "Kemarin hujan atau cerah?" Besar kemungkinan, Anda akan lebih senang menjawab, "Hujan; kemarin hujan lebat."

Tidak sepenuhnya keliru, tapi Anda melupakan cuaca cerah yang terjadi selama 20 jam di hari itu.

Kita punya naluri untuk menghindari tanggung jawab

Satu alasan lagi yang mungkin akan terdengar menyakitkan adalah, kita punya naluri untuk menghindari tanggung jawab.

Orang-orang yang mengeluhkan hari sial sebenarnya adalah orang-orang yang ingin dikasihani atau berusaha menyangkal tanggung jawab. Ini seperti, "Hei, ini hari sialku! Jadi pedulilah padaku, sebab aku baru saja ditimpa nasib malang."

Ya ... justru karena keluhan itulah mereka benar-benar malang. Bukan karena nasib buruk, tapi karena cara mereka mengemis kepedulian.

Jadi hati-hati ketika seorang teman yang punya utang kepada Anda, lalu dia datang dan berucap, "Tolonglah, aku baru saja ditimpa kesialan. Aku mengalami kecelakaan mobil. Aku harus memperbaikinya."

Secara tidak langsung, dia meminta belas kasihan Anda dan berusaha menghindari tanggung jawabnya sebagai pihak yang mesti melunasi utangnya. Ya ... utang tetaplah utang, kecuali Anda merelakannya.

Pada akhirnya, apa yang kita sebut sebagai kesialan hanyalah bagian dari riak-riak kehidupan yang wajar. 

Hidup adalah tentang memilih. Bahagia atau nestapa, untung atau rugi, baik atau buruk; semua itu merupakan bagian dari keputusan yang kita ambil dari berbagai pilihan.

Maka, tidak ada alasan untuk menyalahkan takdir, karena apa pun yang kita alami setiap saat merupakan efek samping dari pilihan yang kita putuskan. 

Hidup adalah rangkaian dari sebab-akibat yang tiada henti. Apa yang kita "sebabkan", maka akan selalu "mengakibatkan".

Jadi, berhentilah berkata "hari yang penuh kesialan", tapi gantilah dengan berkata "hari yang penuh pembelajaran". Sebab setiap pengalaman selalu membawa pembelajaran yang mungkin tidak semuanya dapat kita petik. 

Itulah intinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun