Dengan kembali pada hakikat media sosial, mereka pun akan bermain media sosial dengan secukupnya. Ketika tujuan mereka sudah selesai, mereka menutupnya dan kembali melakukan apa yang semestinya dilakukan oleh manusia.
Kita patut menerapkan ini, sebab dengan begitu, kita dapat berdamai dengan apa pun yang menggoda kita di layar beranda. Media sosial tetaplah dunia maya. Apa yang nyata adalah apa yang kita hadapi semenjak bayi.
Ya ... kecuali Anda sudah terlanjur mengenalkan media sosial ke putra/putri Anda sejak kecil, waspadalah, mereka bisa mengira media sosial sebagai realitas. Bahkan belakangan ini, yang terjebak dalam ilusi media sosial bukan hanya anak-anak dan remaja.
Ah, mereka seharusnya malu pada dirinya sendiri!
Demikianlah reka-reka saya seandainya seorang filsuf bermain media sosial. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah, tidak semua ahli filsafat dapat dikatakan seorang filsuf, dan mereka yang tidak mengerti filsafat dapat saja dikatakan sebagai filsuf.
Jika kita kembali pada arti katanya, "filsuf" berarti orang yang cinta kebijaksanaan. Dalam KBBI, filsuf juga diartikan sebagai ahli berpikir. Maka merekalah yang kita kenal sebagai pemikir, dan tidak semua ahli filsafat mampu membangun gagasannya sendiri.
Dalam kata-kata Ludwig Wittgenstein, "Ketika kita tidak bisa berpikir sendiri, kita selalu bisa mengutip." Maka bukanlah seorang filsuf jika dia tidak mampu berpikir sendiri.
Lah, saya juga barusan mengutip, ya? Sudahlah, tidak ada salahnya saya ingin bermedia sosial ala seorang filsuf. Dan Anda pun punya kesempatan yang sama. Mari bijak bermedia sosial dan menjaga budaya Indonesia sebagai bangsa yang ramah (di Hari Media Sosial Nasional).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H