Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Seorang Filsuf Bermain Media Sosial

9 Juni 2021   17:32 Diperbarui: 9 Juni 2021   17:34 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu dari banyak penyakit hati di media sosial adalah mudah merasa iri. Sebenarnya rasa iri tidak sedemikian buruk jika kita tahu cara mengolahnya menjadi api semangat. Tetapi kenyataannya, mayoritas orang malah keliru dalam mengolah rasa iri itu.

Mereka malah mengolahnya menjadi api yang membakar hatinya, kemudian melahirkan rasa benci kepada orang lain. Buah dari rasa benci adalah rasa dendam. Dan Anda tahu apa yang buruk dari menyimpan dendam?

Mereka bagaikan orang yang menggenggam bara api di tangannya. Mereka berusaha melemparkan bara api itu kepada orang lain. Pada faktanya, mereka telah hangus terbakar sebelum bara api itu sampai kepada orang lain.

Seorang filsuf memahami persoalan itu. Dia akan selalu membuka dirinya pada berbagai kemungkinan dan bertoleransi pada apa yang berbeda dari dirinya. Ketika orang lain mengunggah mobil mewah yang berjejer, dia menerima itu sebagai keragaman nasib manusia.

Setiap nasib punya penderitaan dan kebahagiaannya tersendiri. Itu berarti, seorang filsuf telah memahami bahwa apa pun yang dialami seseorang, sifatnya selalu netral. 

Parameter mana yang lebih baik itu sering kali samar-samar, maka satu-satunya jalan adalah dengan terus mencari pembelajaran yang tersemat.

Ini bagus. Jika Anda memahami konsep tersebut, Anda tidak akan lagi merasa iri dengan unggahan teman Anda. Katakanlah seorang teman mengunggah foto wajahnya yang begitu rupawan.

Apabila Anda punya karakter seorang filsuf, Anda akan segera sadar bahwa unggahan itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan Anda. Rasa iri itu juga sia-sia sebab struktur wajah Anda, bagaimana pun juga, tidak akan bisa disamakan dengannya.

Seorang filsuf akan sangat mengerti bahwa setiap hal di kehidupan ini punya nilai penderitaan dan kebahagiaannya masing-masing. Tampan atau tidak tampan, masing-masing dari keduanya tidak ada yang lebih baik. 

Penilaian mana yang lebih baik hanyalah ilusi yang diciptakan paradigma masyarakat.

Dan kenyataannya, standar ketampanan dan kecantikan yang universal itu tidak ada. Jika parameter itu tidak ada yang berlaku secara umum, berarti tidak seorang pun di dunia bisa diklaim sebagai pria tampan atau perempuan cantik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun