Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan "Mati" Sebelum Mati, Inilah Panduan untuk Mengembangkan Diri Sendiri

1 Juni 2021   20:02 Diperbarui: 4 Juni 2021   02:29 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih dari dua tahun yang lalu, saya terjebak dalam rutinitas yang beracun bagi tahap perkembangan. Untuk menandai pengalaman tersebut sebagai titik kegelapan, saya menyebut masa itu sebagai "siklus setan".

Siklus setan adalah masa di mana saya hanya melakukan kegiatan yang sama setiap hari tanpa belajar sesuatu pun. Mungkin sedikit, tapi nyaris terbang menghilang bersama seluruh kenangan itu.

Ini terjadi pada masa awal kelas 10 SMA. Pertama-tama, saya berangkat sekolah. Kegiatan pembelajaran di kelas hampir tidak menghasilkan pengetahuan yang baru bagi saya saat itu.

Terus terang saja, apa yang saya pelajari di kelas biasanya akan terlupakan dalam satu atau dua hari. Jelas itu bentuk kesalahan saya sendiri. Dan beberapa pengetahuan itu baru muncul kembali ketika ulangan. Itu pun ada di antara ambang ketidakjelasan, seperti bintang malam yang berkelap-kelip.

Kemudian sepulang sekolah, saya bermain ponsel berlarut-larut hingga magrib. Dan pada malam hari, saya bergegas mengerjakan tugas agar menyisakan waktu beberapa menit untuk bermain game konsol.

Jika waktu menunjukkan pukul 10 malam, saya akan kembali bermain ponsel di bawah selimut. Dulu saya mempunyai sedikit masalah dengan tidur sehingga satu-satunya jalan enak yang bisa ditempuh adalah melelahkan mata lewat ponsel dan terkapar dengan sendirinya.

Rutinitas itu senantiasa terulang setiap hari meskipun dengan perasaan yang berbeda. Tapi intinya tetaplah sama bagaikan seekor tupai yang berlari di dalam kincir. Kejenuhan dan kemuakan sering mampir, namun tidak ada jalan lain yang saya ketahui saat itu.

Baru setelah menginjak kelas 11, rutinitas yang membosankan itu semakin menggerogoti hidup saya. Bayangkan betapa hebatnya saya di hari libur, bisa menghabiskan waktu dari siang hingga magrib hanya untuk bermain game konsol!

Tidak ada yang memperingati saya di kala itu, barangkali mereka takut saya akan memberontak. Lebih-lebih lagi mereka tidak punya alternatif lain untuk saya kerjakan. Semua menjadi dunia saya yang dibaluti naluri kemalasan.

Itulah yang saya sebut sebagai "mati" sebelum mati. Maksudnya, saya tidak mengalami perkembangan apa pun dalam jangka waktu yang lama seperti seorang mayat hidup. Jelas saya tidak mati---dalam artian harfiah---tapi saya telah "mati"---secara mental.

"Mati" sebelum mati adalah situasi ketika kita berhenti berkembang di tengah kemajuan pesat peradaban.

Saya berada di dunia yang setiap detiknya mengalami kemajuan, tapi saya sendiri melawan arus utama itu dan tidak tergoyahkan dalam duduknya. Kematian mental mendahului kematian jasmani. Saya telah "mati" sebelum mati.

Beruntung pada pertengahan semester ganjil, saya melihat beberapa teman yang memamerkan kesuksesan mereka dalam berprestasi. Langkah saya jauh tertinggal dari mereka. Dan itu membunyikan alarm merah dalam jiwa saya bahwa kehidupan tidak bisa berjalan seperti ini selamanya.

Alam bawah sadar bergetar hebat. Dorongan untuk menemukan jalan yang baru semakin kuat. Suatu revolusi diri besar-besaran menjadi darurat. Saya memerhatikan keadaan sekitar, rasanya semua orang dalam batinnya memaki-maki saya sebagai jelmaan koala.

Ada benarnya juga kata orang-orang bijak, "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan." Saya menemukan jalan saya sendiri yang jelas radikal dari jalan sebelumnya. Detik ke detik terasa cepat, dan secepat itu pula saya mulai berkembang. Saya mulai "hidup" kembali di waktu yang tepat.

Semua itu menjadi cermin pembelajaran bagi saya hingga kapan pun. Bahkan ketika pandemi tiba, saya tidak harus mengalami kebingungan seperti mereka yang terjebak dalam "siklus setan" sebelumnya. Saya tahu apa yang harus saya lakukan, dan tidak setiap orang punya kemampuan itu.

Sedikitnya saya melihat ke sekeliling saya, ternyata ada banyak orang yang juga pernah mengalami pengalaman serupa. Mereka berhenti berkembang karena terjebak dalam rutinitas yang tidak jelas atau yang saya sebut sebagai "mati" sebelum mati.

Beberapa dari mereka adalah kawan saya. Bahkan segelintir yang lainnya adalah guru-guru. Ternyata banyak di antara mereka yang seperti batu asah. Mereka berusaha "menajamkan" orang lain, tapi justru mereka sendiri masih "tumpul".

Mereka berusaha habis-habisan untuk memberikan pengajaran kepada murid, tapi mereka sendiri telah lama berhenti belajar. Mereka terjebak dalam dimensinya sendiri, dan berpotensi memalukan jika seorang muridnya punya keliaran dalam bertanya. 

Ya ... saya tidak suka menyungkup kebenaran.

Satu-satunya yang membedakan adalah kemampuan dari keduanya untuk berubah. Jika batu asah tidak berdaya sedikit pun untuk menajamkan dirinya sendiri, tapi tentu mereka punya kekuatan untuk mempertajam dirinya sendiri.

Tapi, sematkan dulu perihal itu. Kita sedang membicarakan perkembangan diri, Anda ingat?

Maka, di sinilah saya sekarang, coba membagikan rahasia saya kepada Anda untuk tidak "mati" sebelum mati. Tidaklah mudah untuk melakukan perkembangan diri secara insentif. Diperlukan beberapa kegagalan dan keruwetan untuk menemukan formula yang tepat.

Saya di sini untuk membantu Anda. Atau tidak, saya hanya memaparkan rahasia saya yang barangkali bisa diterapkan juga dalam kehidupan Anda. Siapa yang tahu, mungkin kita punya relevansi yang tersemat.

Jadi, inilah sedikit rahasia saya agar tidak "mati" sebelum mati. (Atau maksudnya adalah sedikit petunjuk agar Anda senantiasa berkembang dari waktu ke waktu).

Membedakan antara tujuan dan harapan

Hati-hati dengan harapan. Meskipun ia selalu datang dengan ramah kepada Anda, hampir semua orang telah membuktikannya sendiri bahwa harapan malah mematikan mereka di masa penghujung.

Kekecewaan bersumber dari harapan. Tidak peduli seberapa baiknya Anda memenuhi harapan itu, akan selalu ada sedikit ruang dari kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Apa yang kita sebut sebagai melampaui harapan hanyalah pernyataan yang dilebih-lebihkan.

Ketika kekecewaan melanda, kebanyakan dari kita menjatuhkan diri ke dalam samudera dan terapung-apung di sana. Mereka putus asa dan menyerah, tidak mau bangkit kembali, apalagi berusaha lagi. Mereka hanya duduk meratapi sesuatu yang tidak bisa mereka ganti.

Inilah dampak menyeramkan dari harapan: ia berpotensi untuk membuat kita tenggelam dalam lautan kekecewaan. Dan pada akhirnya kita pun berhenti berkembang dengan asumsi "tidak ada gunanya lagi melakukan sesuatu".

Tapi orang-orang bilang, ketiadaan harapan adalah jalan kegelapan menuju keputusasaan. Saya katakan "tidak begitu". Kita harus bisa membedakan antara tujuan dan harapan.

Jika saya menjumpai seorang kakek yang kesusahan mengangkut barang, sekadar menolongnya adalah tujuan. Tapi ketika melebihi tujuan itu, maka semua angan-angan yang terbentuk dalam pikiran sudah tergolong sebagai harapan.

Saya tahu itu tidak cukup jelas. Jadi sebelum ke contoh berikutnya, saya akan mengajukan pertanyaan: apakah mungkin untuk membunuh harapan? Sekilas memanglah tidak mungkin, tapi dengan cara sederhana, saya melakukannya.

Saya selalu mencari esensi dari sesuatu untuk membunuh harapan. Karena ketika pikiran saya menembus batas esensi dari sesuatu, maka saya telah berharap.

Sekarang katakanlah saya hendak mengikuti lomba menulis. Sebelum menumpahkan segala jerih payah, saya akan membedakan antara harapan dan tujuan. Maka pertanyaannya: apa esensi (hakikat) dari perlombaan?

Ketika saya membayangkan sebuah perlombaan, saya membayangkan beberapa pihak yang "berkonflik" untuk mencapai kemenangan. Semua perlombaan punya sistem yang sama: para peserta turun bertanding untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Tapi, apa esensi dari menang atau kalah? Oh, belajar sesuatu darinya. Sangatlah percuma jika saya meraih kemenangan tanpa belajar apa pun darinya, dan amat nestapa jika saya mengalami kekalahan tanpa belajar sesuatu pun darinya.

Maka, esensi atau hakikat dasar dari perlombaan adalah pembelajaran. Dengan demikian, tujuan saya adalah memetik pelajaran berharga dari perlombaan tersebut. Jangan tertawa! Inilah yang coba saya gambarkan tentang batas antara tujuan dan harapan.

Ketika kita berusaha mencapai esensi dari sesuatu, maka itu tujuan. Tapi ketika angan-angan kita melebihi esensi itu, maka kita sudah jatuh pada harapan.

Kini saya tidak peduli lagi jika mengalami kekalahan dalam perlombaan. Bahkan ketika saya menang, saya tidak akan dimabukkan oleh kebahagiaan. Apa yang penting adalah sesuatu yang harus saya pelajari darinya.

Dengan menetapkan tujuan tanpa harapan, kita punya potensi untuk berkembang karena kemurnian dari segala tindakan kita. Dan kita pun dapat terlepas dari berbagai kekecewaan yang biasanya membuat kita trauma terhadap sesuatu.

Membuka diri pada yang tidak mungkin

Seandainya orang-orang tidak percaya akan keberadaan gagak putih, seseorang yang ingin berkembang akan tetap mencarinya hingga titik akhir.

Itu adalah gambaran tentang betapa pentingnya untuk membuka diri pada sesuatu yang tidak mungkin. Karena apa yang tidak mungkin di dunia ini? Seluruh kehidupan yang bermula dari dentuman besar pun sudah cukup menjelaskan tentang tidak ada yang mustahil di dunia ini.

Apa pun bisa terjadi, dan orang-orang yang punya keinginan untuk berkembang selalu membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan itu. Mereka tidak lagi terkejut pada kejanggalan sesuatu, sebab langkah besar mereka memang sudah diawali dengan keingintahuan.

Maka amatlah penting untuk memiliki keingintahuan yang tinggi. Dengan kemampuan ini saja, kita sudah membuka gerbang pengetahuan yang mungkin selama ini tidak terjangkau. Ya ... keingintahuan adalah modalnya.

Nah, dengan memiliki keingintahuan pula, kita sebaiknya tidak terlalu bersikeras terhadap sesuatu yang belum tersingkap kebenarannya.

Ketika Anda ingin mencari gagak putih itu, bukan berarti Anda bersikeras bahwa gagak putih itu nyata adanya. Tapi Anda bisa berusaha untuk mencarinya tanpa perlu mengklaim kebenaran sebelum Anda benar-benar menemukannya. 

Demikianlah Anda pun turut terbuka terhadap pemikiran orang lain.

Mengurangi gaya hidup untung-rugi

Hidup untung-rugi adalah cara hidup seseorang yang selalu mempertimbangkan keuntungan sesuatu untuk dirinya sendiri. Ini membatasi ruang kita untuk berkembang karena terlalu terpatok pada keuntungan diri sendiri.

Padahal ada banyak pengalaman yang sekilas lebih menguntungkan orang lain, tapi mendatangkan pelajaran yang luar biasa bagi kita. Maka ini bisa menjadi dasar dari keyakinan bahwa segala pengalaman bersifat netral.

Misalnya jika saya menolong seorang teman yang butuh uang. Jika mempertimbangkan untung-ruginya, saya pasti rugi karena tidak mendapatkan bunga sedikit pun darinya dan lebih-lebih lagi tidak ada jaminan dia akan membayar.

Tapi jika saya melepaskan pertimbangan untung-rugi, saya mendapatkan kepercayaan dari dia sehingga dalam banyak hal, dia akan lebih segan terhadap saya. Ya ... ketika saya sedang butuh bantuan, dia pun tidak akan ragu lagi untuk membantu saya. Ini bukan harapan, ini efek samping.

Gaya hidup untung-rugi menghambat perkembangan karena membatasi gerak-gerik kita dalam memetik pembelajaran. Kendati demikian, ada beberapa situasi krusial yang memang sebaiknya kita mempertimbangkan untung-ruginya bagi kita.

Rutin mengkritik diri sendiri

Ah, mudah untuk dipastikan bahwa tanpa adanya cermin, kita tidak akan bisa melihat diri kita sendiri. Maka untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan kita berada pada jalan yang benar, kita harus punya kemampuan dalam mengkritik diri sendiri.

Mengkritik diri sendiri adalah cermin yang kita butuhkan.

Sungguh memalukan jika Anda doyan mengkritik orang lain tapi tidak bisa mengkritik diri sendiri. Dan sesungguhnya, ini pun menunjukkan makna lain bahwa kita sebaiknya mendengarkan dan mempelajari kritikan orang lain.

Jangan terjebak dalam gua kita sendiri

Dalam beberapa momen, saya merasa menjadi pihak yang paling benar daripada orang lain ketika di kelas. Dan ini jelas sangat buruk untuk perkembangan saya. Karena ketika saya terjebak di dalam gua saya sendiri, saya tidak tahu keindahan gua milik orang lain.

Bahasa lainnya adalah pahami betul bahwa setiap orang punya "kacamatanya" masing-masing. Setiap individu melihat realitas dengan caranya sendiri. Jadi hormati mereka dan berhenti bersikap subjektif.

Sebab tidak sepenuhnya kita benar dan tidak sepenuhnya mereka salah. Masing-masing pihak (selalu) mengandung kebenaran.

Bebaskan diri dari dogmatisme

Banyak orang yang merasa telah berkembang sedemikian jauh, padahal mereka menempuh jalan yang keliru. Mereka pun kehilangan banyak waktu untuk kembali dan pada akhirnya harus mengulanginya dari awal.

Satu dari beberapa cara agar terhindar dari hal semacam itu adalah dengan membebaskan diri dari dogmatisme. Dogmatisme berarti paham yang berdasarkan dogma. Sedangkan dogma adalah suatu pengetahuan yang tidak boleh dibantah kebenarannya.

Mereka yang dogmatisme biasanya terikat oleh kelompoknya atau suara mayoritas. Jika kebanyakan orang menganggap A sebagai benar dan tidak boleh dibantah, maka seseorang yang dogmatisme pun akan tunduk serta patuh.

Ini berbahaya karena pada dasarnya, kebenaran tidak bisa di-voting. Dalam beberapa kasus, kebenaran bertengger di sisi minoritas, bahkan tidak di antara keduanya.

Seseorang yang ingin selalu berkembang harus berusaha untuk memastikan keyakinannya sendiri sebelum memutuskan untuk setuju dengan pihak lain. Maka berpikir kritis menjadi suatu kebutuhan utama agar kebenaran dapat terungkap.

Ya ... masyarakat kita begitu banyak yang dogmatisme. Mereka hanya percaya pada apa yang dikatakan otoritas---entah kelompok atau individu---sebab menjadi jalan mudah untuk melewati proses berpikir.

Berpikir adalah pelangi yang terlanjur dibenci banyak orang.

Setidaknya tunda dulu kesimpulan sebelum memutuskan, karena jalan yang kita ambil secara otomatis kebanyakan berada pada jalur yang keliru.

Nah, itulah rahasia saya yang sederhana agar tidak "mati" sebelum mati. Saya pikir begitu banyak orang yang membutuhkan bantuan kita agar terus berkembang di tengah-tengah kemajuan peradaban. Siapa yang mau disamakan dengan sebongkah batu di pucuk teladas?

Terutama bagi para orang tua yang putra dan/atau putrinya terjerumus ke dalam "siklus setan", yang terlalu sering melakukan kegiatan miskin manfaat seperti bermain game atau membuka media sosial, mereka sangat membutuhkan Anda.

Besar kemungkinan mereka tidak cukup mengerti tentang potensinya sendiri, atau mereka tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan dengan hidup. Maka di sinilah peran besar Anda untuk membawa mereka pada jalan perkembangan.

Ah, pada intinya janganlah "mati" sebelum mati. Dunia semakin kejam dan absurd. Jika kita masih berjalan di tempat, kita bisa tenggelam dalam samudera kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun