Pemahaman saya terhadap buku semakin luas. Buku selalu menjadi cara untuk membuka imajinasi, menjelajahi dunia baru dan bertemu dengan karakter baru.
Buku adalah cara untuk berpetualang dari kenyamanan duduk di kursi. Buku adalah sarana untuk menjelajahi dunia tanpa harus bangkit dari tempat duduk kita.
Kekaguman saya terhadap buku semakin menuju puncak ketika saya membaca karangan Jostein Gaarder, Cecilia and The Angel (atau Dunia Cecilia dalam versi Indonesia).
Saya merasakan keindahan kata-kata yang menyedihkan dari dialog Cecilia dan Malaikat Ariel. Dengan slogan bukunya "Kisah indah dialog surga dan bumi", buku tersebut benar-benar jujur dengan marketing-nya
Ada keburukan di alam semesta. Ada cacat di alam duniawi. -- Jostein Gaarder, Cecilia and The Angel
Buku itu membawa saya pada kesadaran terdalam tentang keberadaan saya di sini; di dunia ini. Mengapa saya berada di sini? Apa yang seharusnya dilakukan dengan hidup?
"Aku tidak mau menjadi sebatas gelembung sabun yang ditiupkan Tuhan, kemudian pecah tertusuk duri mawar. Aku harus tahu tentang maksud keberadaanku di sini. Begitulah hidupku akan bermakna," tulis saya di buku diary selepas membaca buku itu.
Pada titik ini, kecintaan saya terhadap buku semakin dalam.
Bukan hanya sebagai portal untuk menikmati keindahan kata-kata, tapi juga memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang terus menggantung di pikiran saya.
Kisah berlanjut pada buku karya Jostein Gaarder lainnya, yaitu The Orange Girl (Gadis Jeruk). Ah, saya benar-benar menikmati setiap kata dari buku ini.
Dari awal hingga pertengahan, saya memahami hakikat cinta yang sejati. Dan pada puncaknya, saya dibuat merinding karena sang penulis menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang "menyeramkan" terkait keberadaan kita di dalam kehidupan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!