Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Kita Suka Bergosip?

3 Mei 2021   13:19 Diperbarui: 6 Mei 2021   11:02 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ah, kenyamanan bergosip. Kita semua tahu bahwa kita seharusnya tidak membicarakan orang di belakang mereka, tapi terkadang kita tidak bisa menahan diri. Entah dengan teman, rekan kerja, atau keluarga, mengatakan hal-hal buruk tentang orang lain terasa menyenangkan.

Semua manusia pernah bergosip dalam beberapa cara, terlepas dari pepatah kuno, "Jika kamu tidak memiliki sesuatu yang baik untuk dikatakan, maka jangan mengatakan apa pun."

Masa bodoh, kita semua pernah melakukannya, bahkan beberapa dari kita juga menyukainya. Dengan ciri khasnya yang lekat, kita biasa mengawalinya dengan kalimat sakti, "Eh, bukannya mau ngomongin orang ya, tapi ..."

Menariknya, hampir semua orang tidak suka mengakui fakta bahwa mereka suka bergosip. Sebaliknya, mereka mengklaim bahwa mereka melakukannya lebih jarang ketimbang yang lain. Ini berkaitan dengan paradigma masyarakat yang mengutuk kebiasaan bergosip.

Budaya kita mengenal gosip sebagai suatu perbuatan yang buruk karena berkaitan dengan membicarakan keburukan orang lain di belakang orang yang dimaksud.

Akan tetapi, para peneliti sering mendefinisikannya secara lebih luas, di mana (ber)gosip berarti berbicara tentang orang yang tidak hadir.

Ya, sesederhana itu. Secara tidak langsung, ini mengindikasikan bahwa bergosip bisa merujuk pada konteks buruk maupun baik. Tapi, kita tunda dulu baik atau buruknya kebiasaan bergosip.

Kita tidak bisa menilai baik atau buruknya kebiasaan bergosip sebelum kita mengetahui tentang dorongan macam apa yang membuat kita suka bergosip.

Mengapa kita menikmati kesenangan (yang bersalah) ini?

Saya tidak akan mengecewakan Anda. Saya mengerti, Anda mengunjungi tulisan ini karena ingin tahu setan macam apa yang mendorong Anda untuk bergosip. Jadi, nikmatilah!

Kita suka membandingkan segala hal

Kita adalah makhluk yang cenderung suka untuk berpikir dikotomi; menilai sesuatu apakah ia baik atau buruk, tinggi atau rendah, tampan atau jelek, kurus atau gendut, wangi atau bau.

Sudah menjadi naluri bahwa kita memberikan penilaian terhadap segala sesuatu dan ingin orang-orang mengetahuinya.

Oleh karena itu, kita telah memiliki insting untuk membandingkan segala sesuatu dengan cara menilai dan kemudian menyimpannya dalam ingatan.

Ini seperti ketika Anda memilah-milah pakaian. Anda akan menilai, apakah baju tersebut tergolong lengan panjang atau lengan pendek. Jika lengan panjang dimasukkan ke laci A, dan jika lengan pendek dimasukkan ke laci B.

Dalam kasus bergosip, mula-mula Anda menilai orang-orang yang Anda kenal. Setelah itu, Anda menyimpan penilaian itu di dalam ingatan, dan ia akan muncul kembali ketika ada rangsangan dari luar.

Sebagai contoh, Anda menilai si A sebagai orang yang pemalas. Kemudian terjadilah pada suatu siang di perkumpulan sosialita, ada seorang ibu yang membanggakan prestasi anaknya.

Pikiran Anda akan segera merespons, seakan-akan memori Anda mulai bergejolak mengingat orang yang Anda kenal sebagai pemalas. Dan triiingg!!

Anda mulai berkata, "Eh lihat deh anaknya Bu ... Iya, si A! Dia itu anaknya pemalas banget! Masa di kelasnya peringkat terakhir! Pasti ibunya gak becus mendidik anak."

Kita cenderung kepo terhadap kehidupan orang lain

Manusia memiliki dorongan yang kuat untuk mengetahui kehidupan orang lain. Ini bisa berkaitan dengan poin pertama tadi. Atau, kita melakukannya agar kita merasa tidak sendirian. Kita ingin tahu, apakah di sana ada yang lebih buruk ketimbang kita.

Mirisnya, hal ini dimanfaatkan oleh media massa. Kita melihatnya setiap hari di balik segudang artikel dan program televisi yang mewartakan kehidupan para selebriti. Semua itu dibumbui dengan daya tarik yang memikat sehingga kita, secara tidak sadar, begitu menikmatinya.

Kita membaca tajuk yang menarik perhatian sehingga kita rela untuk duduk manis cukup lama. Namun, kita tidak tahu secara pasti, apakah orang yang diberitakan tersebut merasa senang dengan adanya pemberitaan tersebut.

Renungkan. Naluri kita sebagai makhluk yang kepo terhadap kehidupan orang lain telah dijadikan ladang bisnis bernilai miliaran rupiah (atau bahkan triliunan) oleh para pelaku industri.

Saya mengerti, itu adalah cara mereka untuk bertahan hidup. Tapi, apa esensi dari berita? (Sebaiknya saya tidak boleh (terlalu banyak) menghakimi siapa pun).

Pengalaman masa kecil

Dari mana asal-muasal kebiasaan buruk ini? Ironisnya, kebiasaan bergosip bisa dimulai sejak kita masih anak-anak.

Ketika kita masih kecil, beberapa dari kita sering membandingkan diri sendiri dengan teman sebaya kepada orang tua. Biasanya hal ini terjadi saat kita merasa terpuruk karena kalah bersaing.

Untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kita normal, kita suka untuk mengatakan hal-hal buruk tentang siapa pun yang berbeda dengan kita. Ini merupakan cara kita untuk tetap menjadi favorit orang tua.

Pada akhirnya, secara tidak sadar, kita membawa kebiasaan itu hingga ketika menjadi dewasa. Untuk merasa aman, kita membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan meyakinkan siapa pun bahwa kita lebih baik ketimbang mereka.

Menutupi kekhawatiran

Saya ingat ketika seorang teman sebaya berprestasi di bangku SMP, saya merasa khawatir bahwa orang-orang akan segera menjatuhkan saya lewat perkataan. Dia merupakan saingan terdekat saya di kelas. Jadi, prestasi baginya adalah bencana bagi saya.

Untuk menutupi rasa kekhawatiran, saya mulai membicarakan kekurangannya dalam hampir semua percakapan dengan siapa pun. Saya menjadi paranoid, dan bergosip dirasa menjadi sebuah jalan keluar yang mudah.

Dengan kata lain, bergosip sering digunakan sebagai jalan untuk mencari dukungan, rasa aman, dan menutupi kekhawatiran.

Yang menjadikan ini buruk adalah, kita melakukannya dengan cara merendahkan orang yang dimaksud di dalam setiap perbincangan.

Misalnya, Anda mengatakan kepada pasangan Anda, "Lihatlah postingan mantanmu itu. Penampilannya begitu kuno. Aku heran, mengapa kamu pernah jatuh cinta kepadanya?"

Secara tersirat, Anda sedang berusaha untuk mencari rasa aman dan memancing dukungan dari pasangan Anda tentang betapa luar biasanya Anda ketimbang mantan pasangan Anda.

Jadi, jika Anda menemukan seseorang yang terus-menerus merendahkan orang lain ketika berbincang dengan Anda, ketahuilah, mungkin dia sedang merasa khawatir atau tidak aman.

Berusahalah untuk mengerti terlebih dahulu sebelum Anda menghentikan keburukan itu.

Mencari kepastian

Pada tingkat yang lebih dalam, kebutuhan psikologis dasar yang mendasari kebiasaan bergosip adalah kebutuhan untuk menghilangkan ketidakpastian.

Kita tidak merasa baik ketika kita merasa tidak memiliki cukup informasi. Jadi kita mencoba mengembalikan keseimbangan, salah satunya dengan cara bergosip.

Ini juga bisa menjadi terbalik: kita berusaha menghilangkan ketidakpastian orang lain.

Hal tersebut menjadi menyenangkan karena sangat mungkin untuk membangkitkan keingintahuan orang lain. Ketika Anda memiliki informasi untuk diungkapkan, Anda menjadi lebih mudah untuk memonopoli percakapan.

Kasus ini biasa terjadi pada pagi hari di gerobak sayur. Ketika muncul isu bahwa penghuni blok sebelah telah bercerai, para pelaku yang terlibat akan segera bertukar informasi untuk saling melengkapi kekurangan pengetahuan.

Dan, ya, kemudian terjadilah apa yang saya sebut sebagai "tragedi gerobak sayur".

Takut bersaing

Bergosip juga dapat menjadi cara instan kita untuk keluar dari persaingan dan menjadi pemenang. Untuk bisa mengalahkan pesaing, kita dapat mengatakan kepada semua orang tentang setiap keburukannya.

Kasus semacam ini banyak terjadi dalam dunia karier.

Jika Anda bekerja kantoran, mungkin ini tidak lagi asing bagi Anda. Ketika seseorang merasa takut untuk bersaing, dia mungkin tergoda untuk mengatakan keburukan pesaingnya kepada bos, berharap dia akan dipecat.

Sebagai cara untuk terikat dengan orang lain

Para antropolog percaya bahwa sepanjang sejarah manusia, bergosip telah menjadi cara kita untuk terikat dengan orang lain. Bahkan terkadang, ini menjadi alat untuk mengisolasi mereka yang bertentangan dengan kelompok kita.

Dengan demikian, bergosip telah menjadi naluri manusia yang fundamental karena hidup kita berakar pada berkelompok. Kita tidak hanya hidup dalam kelompok, tetapi kita juga bergantung pada orang-orang dalam kelompok untuk bertahan hidup.

Karenanya, hampir dapat dipastikan, kita suka bergosip dalam setiap perbincangan dengan orang-orang terdekat. Kita semua melakukannya, di mana pun dan kapan pun.

Sebagai benteng pertahanan diri

Ini adalah apa yang saya sebut sebagai "pengalihan isu". Ini terjadi kepada orang-orang yang tengah dibelenggu banyak masalah dan tidak mampu menyelesaikannya.

Mereka melepaskan diri dari masalah mereka dan lebih memilih untuk memikirkan masalah orang lain sehingga mereka tidak harus memikirkan masalah mereka sendiri.

Mengemis apresiasi

Ketika Anda berhasil membongkar detail-detail kehidupan orang lain, hampir dapat dipastikan bahwa Anda berharap dilabeli sebagai seseorang yang up to date.

Ya, mengakulah.

Merasa diperlakukan tidak adil

Ketika Anda merasa menjadi korban atas ketidakadilan ... Ah, sudahlah, Anda pasti mengerti maksudnya.

Mengapa bergosip itu buruk?

Saya merasa payah kalau harus melewatkan bagian ini.

Informasi yang kita terima belum terjamin kebenarannya

Dalam pemahaman Hermeneutika, informasi yang disampaikan seseorang besar kemungkinan tidak lagi objektif. Kita punya kecenderungan untuk "mencoret-coret kertas putih yang kosong".

Dalam konteks bergosip, kita tidak hanya membocorkan rahasia orang lain, tetapi di atas itu, kita juga cenderung menambahkan bumbu ke dalam cerita.

Kita suka mencampuradukkan kebenaran dengan pendapat kita sendiri. Kita suka mendramatisasi perkataan kita untuk menarik perhatian. Kita senang menanggapi sebuah isu dan membagikannya kepada orang lain sehingga isu tersebut tidak lagi benar sepenuhnya.

Kita melihat segala sesuatu berdasarkan "kacamata" kita sendiri.

Artinya, kita berbohong atau setidaknya hanya mengatakan setengah kebenaran agar ceritanya lebih menarik. Inilah mengapa informasi yang Anda terima tentang sesuatu bisa berbeda dari setiap orang.

Karena informasi tersebut bukan lagi "bahan baku". Ia sudah menjadi "produk" ketika melewati "pabrik pikiran" seseorang.

Provokatif

Sisi gelap dari gosip muncul ketika ini menjadi senjata untuk memperebutkan suatu posisi/kekuasaan/kedudukan dan menghancurkan kehidupan seseorang.

Jelas?

Pendakian sosial

Gosip juga membantu pendakian sosial. Kita membicarakan kegagalan seseorang (hanya) untuk menikmati kemalangannya. Dan dengan begitu, di atas kertas, kita telah naik ke tingkatan sosial yang lebih tinggi ketimbang orang tersebut.

Saya tahu, sulit untuk menyembunyikan senyuman ketika mengetahui bahwa pesaing Anda baru saja bangkrut dan jatuh miskin. Tapi, itu buruk, Pembaca! Malulah dengan diri Anda sendiri.

Menimbulkan ketidakpercayaan

Ketika Anda membongkar rahasia seseorang kepada sahabat Anda, secara tidak langsung, Anda mengikis rasa kepercayaan sahabat Anda.

Dia akan menyimpulkan bahwa Anda tidak pandai menjaga rahasia seseorang dan karenanya dia tidak ingin menjadi terbuka kepada Anda. Ironisnya, gosip dapat menjadi bumerang bagi diri Anda sendiri.

Gosip dapat dengan cepat menimbulkan kecanggungan dan ketidakpercayaan. Hal tersebut membuat korban tidak dapat membela diri dan meninggalkan jejak kecurigaan.

Perwujudan dari rasa iri

Iya?

Kapan bergosip bisa menjadi baik?

Tidak, Pembaca, saya mengungkapkan ini bukan sebagai seruan agar Anda banyak bergosip. Jadi, mengertilah.

Banyak peneliti yang mengatakan bahwa dalam bergosip terdapat keintiman untuk berbagi pengalaman dan merasa Anda berada dengan orang yang tepat.

Bergosip juga dapat mencegah kesepian, serta memfasilitasi ikatan dan kedekatan dalam sebuah hubungan. Oh ya, bergosip juga berfungsi sebagai bentuk hiburan.

Tapi, hati-hati, ketika perbincangan gosip Anda sudah mengarah pada keburukan, ini bisa menjadi bumerang bagi Anda.

Mari kita kembali menuju esensi dari bergosip.

Jika Anda tidak bosan, saya akan senang untuk mengulanginya sekali lagi bahwa bergosip berarti berbicara tentang orang yang tidak hadir. Karenanya ini bisa menjadi perbincangan yang baik atau buruk.

Jadi, kapan ini bisa menjadi baik?

Ketika gosip digunakan sebagai cara untuk bertahan hidup.

Katakanlah Anda tinggal serumah dengan ibu dan ayah Anda. Semua tagihan dan sumber makan dibiayai oleh ayah Anda.

Pada suatu hari, ibu Anda mengunjungi Anda yang sedang asyik nongkrong di tepi jembatan. Dia menghampiri telinga Anda dan berbisik, "Nak, Ayah kehilangan pekerjaan."

Anda tersentak hingga hampir jatuh ke sungai. "Mengapa?" tanya Anda.

"Ayah berbuat kesalahan di mana dia ..."

Pada hakikatnya, perbincangan Anda dengan ibu Anda itu tergolong bergosip, karena membicarakan seseorang yang tidak ada di sana.

Dan ini menjadi penting. Jika Anda tidak tahu soal kabar pemecatan ayah Anda, mungkin Anda tidak akan bisa bertahan hidup karena selama ini Anda bergantung kepada ayah Anda.

Dengan bergosip semacam itu, Anda akan segera menemukan cara untuk menggantikan peranan ayah Anda; bukan sekadar nongkrong di tepi jembatan yang rapuh. Duh!

Dalam kasus lain, seorang rekan kerja memberitahu Anda bahwa atasan Anda akan segera memecat seseorang. Dengan demikian, Anda dapat bersiap untuk mencari sumber pendapatan lain karena khawatir bahwa orang yang dimaksud adalah Anda.

Tulisan ini sudah terlampau panjang bin lebar. Saya belum menguraikan cara efektif untuk menghentikan kebiasaan bergosip dan bagaimana tanggapan yang baik ketika kita digosipkan.

Karenanya, saya akan menuliskannya di artikel yang berbeda. Lain waktu, tentunya.

Jadi, pastikan Anda sudah menekan tombol like dan subscribe untuk mendapatkan update artikel dari kami. Jangan lupa juga tekan tombol loncengnya untuk mendapatkan notifikasi dari kami.

Euh, salah server, ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun