Hari Bumi Sedunia 2021 diperingati pada hari ini, Kamis, 22 April 2021. Dengan tema "Restore Our Earth", pesan yang disampaikan tersurat jelas bahwa kita sedang memerlukan pemikiran inovatif untuk memulihkan ekosistem dunia.
Dan itu berarti, Bumi sedang tidak baik-baik saja.
Saya menulis tulisan ini di pekarangan rumah. Udara panas menyengat, tapi awan-awan begitu damai. Saya memanggil sekumpulan kabut menyerupai elang, kemudian ia datang dan patuh tunduk bagaikan seorang prajurit menghadap pangeran.
Telah disediakan permukaan yang lembut dan empuk untuk saya bisa duduk di atasnya. Kemudian ia terbang mengangkasa, membawa saya menuju horizon, batas terjauh yang bisa teramati manusia.
Aneh, saya tidak merasakan sesak napas atau semacamnya. Saya tidak memakai pakaian astronaut, tapi seolah-olah kekuatan sihir dari negeri dongeng merasuki raga saya tanpa diketahui.
Dan coba tebak!
Saya melihat batu marmer biru raksasa yang melayang-layang di ruang hampa. Ia kedinginan di tengah kesunyian yang gelap. Ia kesepian dan berputar pada porosnya untuk menghibur diri. Ia adalah Bumi, planet kita.
Siapa yang akan menjadi pacar Bumi? Ia begitu malang, terpisah dari planet terdekatnya, Mars, sejauh 62 juta kilometer. Bahkan jarak Bumi dengan bintang terdekatnya, Alpha Centaury, adalah sekitar 4,3 tahun cahaya. Empat puluh triliun kilometer!
Tapi sepertinya saya keliru. Bumi tidak sedang kedinginan. Justru, Bumi menjadi lebih hangat karena pemanasan global yang sedang terjadi. Dan ini menjadi masalah kosmik bagi makhluk apa pun.
Masalah pemanasan global bukanlah sesuatu yang bisa kita rasakan begitu saja. Kita perlu mempelajari dan memahaminya, atau terus hidup dalam ketidaktahuan.
Seluruh umat manusia perlu tahu bahwa banyaknya karbon dioksida yang menumpuk di atmosfer Bumi membuat suhu semakin meningkat.
Kemudian es dan gletser pun mencair, dan ini memperburuk situasi karena es dan gletser memantulkan sebagian besar cahaya matahari, hal yang tidak dilakukan oleh laut dan gunung.
Maka, semakin meningkatlah suhu Bumi.
Namun, mayoritas dari kita berperilaku seolah-olah Bumi sedang baik-baik saja. Entah karena lupa atau tidak tahu, tapi sebegitu lugunya hingga "kerajaan plastik" telah berdiri di mana-mana.Â
Apakah kita hidup dalam sebuah kebiasaan menyangkal berbagai kenyataan yang mendasar?
Dalam 50 tahun terakhir, konsumsi manusia, populasi, perdagangan global, dan urbanisasi mengalami pertumbuhan pesat yang mengakibatkan manusia menggunakan lebih banyak sumber daya tak terbarukan ketimbang sumber daya terbarukan.
Hal tersebut diperparah dengan munculnya sebuah laporan bahwa emisi karbon dioksida diperkirakan akan naik 5% pada tahun 2021 menjadi 33 miliar ton sebagai akibat dari pembalikkan keadaan perekonomian global karena pandemi. Kenaikan tahun ini menjadi yang terbesar sejak tahun 2010.
Belum lagi gas metana yang meskipun menyumbang kurang dari seperempat emisi gas rumah kaca global, namun gas ini kira-kira 30 kali lebih kuat ketimbang karbon dioksida dalam hal menyerap panas. Pada tahun 2013, gas metana menyumbang 25% dari pemanasan global yang juga akibat dari ulah manusia.
Krisis iklim sering kali disalahpahami. Ada asumsi bahwa suhu yang lebih hangat menyebabkan tanaman tumbuh lebih besar dan lebih cepat dari biasanya. Padahal kenyataannya, krisis iklim menyebabkan tanaman menjadi kurang bergizi, menandakan jatuhnya nutrisi dan mengancam ketahanan pangan global.
Dan lebih buruknya, krisis iklim menghancurkan habitat berbagai macam spesies yang pada dasarnya merupakan bagian dari ekosistem kerajaan alam.
Laporan WWF baru baru ini menemukan bahwa populasi mamalia, ikan, burung, reptil, dan amfibi telah mengalami penurunan rata-rata sebesar 68% antara tahun 1970 dan 2016. Bahkan atmosfer di atas hutan hujan Amazon semakin mengering yang menandakan berbagai spesies sedang terancam habitatnya.
Kita sedang menikmati sisa-sisa yang alam hadiahkan kepada kita. Sekadar remah-remah dari sajian hidangan kerajaan alam. Topeng macam apakah yang dapat membuat kita menutup mata dari tragedi akbar ini?
Ancaman sebenarnya bukanlah bagi kelangsungan hidup planet ini, tetapi bagi kelangsungan hidup umat manusia. -- David Attenborough
Apa akar dari tragedi yang suram ini? Apakah karena keserakahan kita sendiri? Monster macam apakah kita ini?
Tidak ada penutup mulut untuk menghindari pengakuan bahwa kita melihat orang-orang kaya begitu serakah dalam mengeksploitasi alam.
Terlalu banyak daya beli bagi si kaya. Terlalu banyak drum minyak dan helikopter untuk dipakai oleh orang-orang paling kaya. Tapi terlalu sedikit tanggung jawab atas sumber daya alam.
Proses alamiah Bumi memang berjalan dengan logikanya sendiri, tapi manusia membuatnya semakin cepat menuju jurang kehancuran. Bumi telah kehilangan pesonanya. Kita menggantikan alam liar dengan yang jinak.
Kita telah menjauhkan diri kita dari alam tempat kita hidup dan mengabaikan seluruh eksistensi.
Dalam banyak hal, saat ini kita hidup dalam kurun waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di satu sisi, kita adalah bagian dari sebuah generasi yang berhasil mengeksplorasi alam semesta dan bahkan memetakannya.
Tapi di sisi lain, kita adalah generasi pertama yang melakukan kerusakan alam dengan serius. Generasi kita telah masuk ke dalam kemewahan yang sia-sia, sebuah penghamburan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah.
Saya rasa banyak di antara kita yang belum paham atau bahkan belum tahu aturan mainnya. Saya akan membantu Anda.
Umat manusia di Bumi ini tidak selalu hidup secara bersamaan. Keseluruhan umat manusia tidak hidup hanya dalam satu kurun waktu. Telah hidup umat manusia sebelum kita, lalu kita yang hidup saat ini, dan generasi selanjutnya yang akan hidup sesudah kita.
Dan mereka yang hidup sesudah kita haruslah diperlakukan sebagai satu-kesatuan. Kita harus memperlakukan mereka seperti perlakuan yang kita harapkan dari mereka seandainya mereka hidup di planet ini sebelum kita.
Sesederhana itu aturan mainnya.
Namun, kita telah melakukan penghinaan terhadap bentuk kehidupan lain, ketiadaan rasa hormat kita pada generasi penerus. Dan Anda tahu? Saya adalah salah satunya. Saya adalah salah seorang remaja yang akan mewarisi Bumi ini dari Anda.
Jadi, mari kita berbicara serius.
Kita menghancurkan planet kita sendiri. Kitalah yang telah melakukannya, dan kita sedang melakukannya sekarang.
Saya melihat sendiri bagaimana bumi yang akan diwariskan kepada generasi saya ini dieksploitasi tanpa pertimbangan. Dan bukankah penghancuran alam ini merupakan sebuah perampokan atas kami yang akan mewarisi bumi ini?
Saya sedang menjadi saksi dari sebuah perampokan besar-besaran terhadap generasi saya di masa depan. Kabar-kabar kepunahan hewan, kebakaran hutan, kutub mencair, terumbu karang memutih; semua itu menusuk telinga saya dengan kejam. Mata saya terasa perih seperti dipenuhi jarum-jarum kasat mata.
Ini tidak benar! Apa hak manusia memusnahkan bentuk-bentuk kehidupan lainnya?
Tidakkah ini menjadi sebuah ironi takdir bahwa manusia berhasil mencapai suatu tahap kecanggihan pada saat kita mulai menyebabkan penyusutan besar-besaran keanekaragaman hayati Bumi ini?
Kita memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menghentikan dan membalikkannya, tetapi untuk melaksanakan pengetahuannyalah yang sering kali tidak ada.
Saya bisa membayangkan bagaimana generasi saya berada dalam keputusasaan, berkunjung ke kebun binatang yang dipenuhi ilusi hologram sebagai hasil dari perkembangan teknologi paling mutakhir. "Kalian telah menghabiskan semuanya," teriak seorang anak di depan gedung parlemen.
Alam adalah sekutu terbesar kita dan inspirasi terbesar kita. Kita hanya harus melakukan apa-apa yang selalu dilakukan alam. Karena apa jadinya manusia tanpa alam? Memusnahkan alam sama dengan memusnahkan peradaban manusia itu sendiri.
Sebagian dari kita merasa baik-baik saja karena alam tidak berbicara untuk menuntut. Tapi alam telah berbicara dalam upaya lain. Kita merasakannya sekarang. Kita melihatnya sekarang. Alam telah berbicara kepada kita.
Menjaga kelestarian sumber kehidupan di planet ini bukan hanya sebuah kewajiban global. Ini juga merupakan sebuah kewajiban kosmik. Kita punya alasan untuk merasa nyaman tinggal di jagat raya.
Dan jika Bumi ini hancur, ke planet mana kita akan bermukim? Inilah masalahnya.
Dulu, umat manusia percaya bahwa Bumi adalah pusat dari alam semesta dan seluruh benda langit lainnya berputar mengelilingi planet kita. Nenek moyang kita melihat matahari bergerak dari timur ke barat, maka kesimpulan yang diambil cukup rasional saat itu.
Dalam pandangan sekarang, tentu saja gila kalau percaya bahwa Bumi adalah pusat dari alam semesta.
Namun, apakah tidak sama gilanya hidup dengan cara seakan-akan kita memiliki beberapa planet untuk dihamburkan dan bukan satu-satunya ini yang kita bagi bersama?
Apakah ada penelitian khusus yang mendalam tentang keberadaan manusia sebagai sebuah spesies? Kita merusak planet kita sendiri. Mengapa kita melakukan semua ini? Apa yang salah dengan kita sebagai manusia?
Sebagai makhluk yang suka bermain-main dan berlebihan, kita mudah sekali lupa bahwa pada dasarnya kita merupakan bagian dari alam.
Namun, apakah kita begitu terlenanya bermain-main dan menghamburkan sesuatu hingga permainan itu lebih didahulukan ketimbang tanggung jawab kita atas masa depan planet ini?
Kita begitu akrab dengan teknologi hingga kita tenggelam masuk terlalu jauh. Kemudian anak-anak terpancing umpan yang menggoda hingga mereka lebih mampu menyebutkan nama-nama karakter dalam game online ketimbang menyebutkan nama-nama burung.
Tidakkah ini menjadi sebuah ironi akbar? Apa yang salah? Apa arti dunia? Apa yang harus dilakukan?
Ujung-ujungnya, permasalahan ini kembali kepada pertanyaan tentang identitas.Â
Apakah manusia itu? Dan siapakah saya? Jika saya hanya diri saya, badan yang sedang duduk dan menulis tulisan ini, maka saya hanyalah sekadar ciptaan tanpa harapan.
Tapi, saya punya identitas yang lebih mendalam. Saya adalah bagian dari sesuatu yang lebih agung ketimbang diri saya sendiri. Dalam hal ini, saya berpikir sebagai wakil dari keseluruhan planet biru ini.
Itu semua menjadi saya. Saya peduli dengan nasib planet ini karena saya takut akan kehilangan bagian inti terdalam dari jati diri saya sendiri.
Jadi, saya mohon kepada Anda untuk memikirkan dampak kerusakan ini bagi generasi penerus; anak dan cucu Anda.
Karena akan tiba suatu waktu di mana kita akan diadili oleh para penerus kita sendiri. Jika kita lupa memikirkan mereka, mereka tidak akan pernah melupakan kita. Kita menjadi seperti seekor itik yang memancing dendam seekor gagak.
Mari kita ajak orang-orang di sekitar kita untuk membicarakan sesuatu yang bernilai kosmik. Kita bangun perbincangan di antara para remaja menjadi sesuatu yang bernilai kosmik di samping perbincangan gosip-gosip yang tersebar di media sosial.Â
Atau lebih baiknya, benar-benar digantikan.
Jalan keluar dari tragedi ini hanya bisa diawali dengan perubahan radikal dalam pemahaman manusia, dalam cara berpikir dan penilaian manusia. Kita membutuhkan ekoliterasi dengan segera.
Kita masih memiliki kesempatan dan waktu untuk memulihkannya. Dan tentu boleh-boleh saja kita memiliki keyakinan dalam hidup, maka tentu saja boleh untuk berharap akan sebuah penyelamatan dunia ini.
Namun, tidak ada jaminan bahwa yang menanti adalah langit dan bumi baru. Kita perlu menguji kembali hubungan kita dengan alam, bekerja dengannya alih-alih melawannya, untuk memulihkan planet kita menuju masa kejayaannya kembali.
Selamat hari Bumi, meskipun saya tidak tahu apa makna peringatan semacam ini bagi orang-orang. Agak-agaknya kesadaran kosmik sulit untuk bangkit secara instan. Atau mungkin terlalu banyak hal yang mengalihkan perhatian kita.
Tapi, selamat hari Bumi. Ya, selamat hari Bumi.
Mari kita nikmati kerajaan alam yang tersisa, tempat di mana "Taman Firdaus" manusia berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H