Ujung-ujungnya, permasalahan ini kembali kepada pertanyaan tentang identitas.Â
Apakah manusia itu? Dan siapakah saya? Jika saya hanya diri saya, badan yang sedang duduk dan menulis tulisan ini, maka saya hanyalah sekadar ciptaan tanpa harapan.
Tapi, saya punya identitas yang lebih mendalam. Saya adalah bagian dari sesuatu yang lebih agung ketimbang diri saya sendiri. Dalam hal ini, saya berpikir sebagai wakil dari keseluruhan planet biru ini.
Itu semua menjadi saya. Saya peduli dengan nasib planet ini karena saya takut akan kehilangan bagian inti terdalam dari jati diri saya sendiri.
Jadi, saya mohon kepada Anda untuk memikirkan dampak kerusakan ini bagi generasi penerus; anak dan cucu Anda.
Karena akan tiba suatu waktu di mana kita akan diadili oleh para penerus kita sendiri. Jika kita lupa memikirkan mereka, mereka tidak akan pernah melupakan kita. Kita menjadi seperti seekor itik yang memancing dendam seekor gagak.
Mari kita ajak orang-orang di sekitar kita untuk membicarakan sesuatu yang bernilai kosmik. Kita bangun perbincangan di antara para remaja menjadi sesuatu yang bernilai kosmik di samping perbincangan gosip-gosip yang tersebar di media sosial.Â
Atau lebih baiknya, benar-benar digantikan.
Jalan keluar dari tragedi ini hanya bisa diawali dengan perubahan radikal dalam pemahaman manusia, dalam cara berpikir dan penilaian manusia. Kita membutuhkan ekoliterasi dengan segera.
Kita masih memiliki kesempatan dan waktu untuk memulihkannya. Dan tentu boleh-boleh saja kita memiliki keyakinan dalam hidup, maka tentu saja boleh untuk berharap akan sebuah penyelamatan dunia ini.
Namun, tidak ada jaminan bahwa yang menanti adalah langit dan bumi baru. Kita perlu menguji kembali hubungan kita dengan alam, bekerja dengannya alih-alih melawannya, untuk memulihkan planet kita menuju masa kejayaannya kembali.