Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Ibu Menyuruh Saya untuk Gagal

21 April 2021   17:07 Diperbarui: 23 April 2021   10:26 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu adalah sosok Kartini bagi saya. Meskipun terdengar membosankan, tapi saya pastikan ini berbeda. Ibu bukan sembarang manusia, tapi bukan juga sesosok hantu. Antara malaikat dan Ibu, saya hampir tidak bisa membedakannya.

Jika digambarkan dalam film, Ibu adalah pemeran utama dengan sedikit dialog. Bahkan ketika bersamanya, saya seperti masuk ke dalam dunia film “A Quiet Place”. Ibu adalah orang yang cuek mengenai segala hal.

Tapi, ucapan Ibu bagaikan debu ajaib dari negeri dongeng. Nasihatnya seperti segelas air di tengah Padang Sahara. Bukan hanya melepaskan dahaga jiwa, tapi juga udara psikologis. Terkadang saya bingung, manusia macam apa Ibu itu.

Ketika saya memasuki jenjang SMA, Ibu mulai membagikan mantranya lagi. Ini terjadi pada malam yang dingin, ketika bintang dan rembulan tampak kelabu, Ibu menghampiri saya dan bertanya, “Apa kegagalanmu minggu ini?”

Saya memicingkan pandangan, pelan-pelan berusaha mencerna pertanyaan itu. Buku yang sedang dibaca saya akhiri dan menjawab, “Tidak ada. Ujian di sekolah sempurna, pertemanan luar biasa, dan Ibu tahu ‘kan tentang hasil perlombaan kemarin.”

“Ibu khawatir, cobalah untuk gagal tanpa menyesal,” katanya.

“Itu menyakitkan. Kenapa aku harus gagal di saat aku bisa sukses?”

“Itulah masalahnya. Kamu tak akan menghargai kesuksesan tanpa pernah mengalami kegagalan.”

Jika saya sedang minum kopi pada saat itu, saya khawatir akan menyemburkannya ke wajah Ibu. Tapi sebagai gantinya, saya menelan ludah begitu banyak hingga tenggorokan terasa perih seperti pesisir yang dihantam ombak raksasa.

Saya tidak memedulikan perkataan tersebut. Saya pikir nasihat semacam itu benar-benar bodoh. Ibu pasti sedang bercanda. Saya menjalani hidup seperti biasa, semua berjalan normal. Kehidupan kelas 10 SMA memang sedikit membosankan; hambar.

Tapi setahun kemudian, saya mengikuti banyak perlombaan dan olimpiade. Untuk mendedikasikan diri, saya mengurangi perhatian saya ke kelas dan benar-benar fokus pada kejuaraan. Menang; hanya itu yang saya kenal.

Saya tidak tahu pasti berapa jumlah perlombaan yang saya ikuti, yang jelas hanya 3 perlombaan yang berhasil saya juarai. Itu pun hanya 2 di antaranya yang menjadi juara 1. Dan hal tersebut tidaklah cukup bagi saya waktu itu. Saya ingin lebih, tapi tidak mampu.

Apalagi nilai di kelas menurun drastis. Beberapa guru memberi nasihat, memastikan saya tidak mengalami amnesia. Pertemanan juga mulai goyah karena saya menjadi pemurung.

Dan apa yang mengerikan? Pandemi terjadi. Saya merasa kehilangan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Saya merasa gagal di samping beberapa pencapaian yang berharga. Orang lain akan mengatakan bahwa saya tidak pandai bersyukur.

Dalam kenestapaan yang menyiksa, Ibu datang dengan cara yang sama. Langkah kakinya menggertak keheningan, kemudian berbisik dengan tajam, “Apa yang kamu pelajari?”

Karena saya tidak mampu menjawabnya saat itu, saya akan menjawabnya lewat tulisan ini. Anda sedang membaca diary saya.

Segala sesuatu di dunia diciptakan secara berpasang-pasangan. Dengan begitu kita menjadi mudah dalam membedakan segala hal.

Kita tahu bahwa kertas itu putih karena bukan hitam. Kita tahu bahwa terorisme itu buruk karena tidak baik. Kita tahu bahwa spiderman laki-laki karena bukan perempuan. Kita tahu bahwa lift sedang naik karena ia tidak sedang turun.

Kita bisa mengetahui sesuatu adalah X karena terdapat hal lain yang non-X.

Lebih mudahnya, kita tahu perasaan senang karena ada sesuatu yang disebut sedih. Kita tahu perasaan marah karena ada sesuatu yang disebut sabar.

Kita tahu sesuatu itu baik karena ada sesuatu yang disebut buruk.

Karenanya, kita mengenal istilah sukses karena ada sesuatu yang disebut gagal.

Saya bisa menyampaikannya dengan lebih sederhana: Anda tidak akan bisa merasakan sesuatu yang disebut sukses jika Anda tidak pernah mengalami sesuatu yang disebut gagal. Iya?

Coba bayangkan terdapat sebuah ajang balapan lari. Jika semua atlet mencapai garis finish pada waktu yang sama, siapakah di antara mereka yang menjadi pemenang? Tidak ada. Pemenang hanya dapat muncul jika ada pihak yang mengalami kekalahan.

Meskipun dalam balapan tersebut tidak ada pihak yang kalah, apakah mereka merasa bahagia? Apakah mereka menikmatinya? Kemungkinan terbesarnya, tidak sama sekali.

Mengapa?

Karena kenikmatan lahir dari dasar menuju puncak. Jika semua atlet memulai balapan dari garis start yang sama, kemudian mencapai garis finish bersamaan, mereka tidak mengalami peningkatan dari dasar menuju puncak. Mereka bergerak dengan sifat statis.

Ini sama seperti kenikmatan kita dalam mengonsumsi makanan. Anda mengatakan roti panggang itu enak karena Anda pernah suatu waktu memakan roti panggang yang tidak enak. Anda memuji-muji sup buatan pasangan karena Anda pernah memakan sup yang tidak enak.

Jadi, kita dapat mengapresiasi sebuah kesuksesan dan kemenangan hanya jika kita pernah mengalami kegagalan dan kekalahan. Inilah kunci utamanya. Inilah kerangka dasar dari pepatah “tidak ada kesuksesan tanpa kegagalan”.

Barangkali pertanyaan sederhana dapat membantu.

Mana yang lebih sukses: A yang terlahir dari keluarga miskin dan sekarang menjadi direktur perusahaan atau B yang terlahir dari keluarga sultan dan sekarang mewarisi perusahaan besar ayahnya.

Ya, Anda mendapatkan jawabannya. Dan begitulah definisi kesuksesan. Kita dapat disebut sukses jika kita mengawalinya dari bawah menuju puncak, bukan tetap di bawah atau tetap di puncak.

Bagaimana jika kita terperosok dari puncak menuju dasar? Kita mengalami kegagalan dan kita membuka peluang untuk sukses kembali. Begitulah kehidupan berjalan.

Perbaikan dalam segala bidang dilatarbelakangi oleh ribuan kesalahan kecil, dan besarnya kesuksesan kita berdasar pada berapa kali kita gagal melakukan sesuatu.

Jika seseorang lebih baik ketimbang Anda mengenai suatu hal, sepertinya itu karena dia telah mengalami kegagalan lebih banyak ketimbang Anda.

Jika seseorang lebih buruk daripada Anda, sepertinya itu karena dia belum mengalami semua pengalaman belajar yang menyakitkan seperti yang Anda rasakan.

Menghindari kegagalan adalah sesuatu yang banyak diajarkan dalam budaya masyarakat kita. Bahkan dari bangku sekolah dasar, kita telah didorong untuk tidak salah. Dan hadiahnya adalah bentakan menusuk hati.

Sistem pendidikan kita menilai dengan ketat berdasarkan kinerja dan menghukum mereka yang tidak menunjukkan performa baik.

Sumbangan lain datang dari orang tua yang gemar memaksa dan doyan mengkritik, yang tidak membiarkan anak-anaknya mengalami kegagalan yang cukup, dan menghukum mereka karena mencoba apa pun yang baru atau tidak seharusnya

Kemudian peran media massa yang hampir semuanya mengekspos kita dengan kesuksesan demi kesuksesan, namun tidak menampilkan ribuan jam yang monoton dan membosankan untuk bisa sampai ke puncak kesuksesan.

Masyarakat kita menjadi begitu terobsesi untuk sukses hingga tidak tahu atau barangkali lupa tentang bagian terpenting dari semuanya.

Ketika Ibu bertanya apa yang saya pelajari, saya hanya menggelengkan kepala dengan spontan. Kemudian beliau bernarasi, “Tapi, Nak, bukankah kamu menjadi tahu banyak hal karena mempersiapkan diri untuk lomba-lomba itu? Ibu melihatmu tertawa lepas saat menjalani proses itu. Kamu bahagia atas hal itu?”

“Ya, tentu,” jawab saya, “tapi hasilnya tidak membahagiakan.”

“Itulah kemenangan sesungguhnya. Itulah kesuksesan yang agung: momen ketika kamu mampu menikmati proses pendakianmu menuju puncak.”

Sekarang saya menyadari paradoks kegagalan: semakin kita takut terhadap kegagalan, semakin besar kemungkinan kita untuk gagal.

Ketakutan akan kegagalan malah membatasi dan menghambat kita. Kita hanya bisa benar-benar sukses kalau kita bersedia untuk gagal. Jika tidak, berarti kita pun tidak bersedia untuk sukses.

Dan lagi pun, kesuksesan dapat diartikan dengan sederhana.

Kesuksesan adalah perkembangan diri secara konstan menuju diri yang lebih baik. Setidaknya itu yang Ibu ajarkan kepada saya. Nilai hidup ini merupakan proses yang terus berlangsung; seumur hidup tidak akan pernah selesai.

Apa yang dapat saya katakan lagi, hadiah terbaik Ibu hanya berisi tiga kata: gagallah dengan cukup.

Orang-orang perlu tahu bahwa pertanyaannya bukanlah apa yang ingin kita raih, melainkan apa yang ingin kita perjuangkan, apa yang membuat kita rela menderita.

Karena hidup memang berjalan demikian.

Tidak dapat terelakkan lagi bahwa kegagalan adalah pintu menuju pembelajaran. Kita selalu bermula dari tidak tahu apa-apa. Dan untuk menjadi tahu, kita perlu belajar.

Karenanya ada yang kurang dari pepatah, “Guru terbaik adalah pengalaman.” Lebih sempurnanya, “Guru terbaik adalah pengalaman saat mengalami kegagalan.”

Tidak ada kesuksesan tanpa pertama-tama mengalami kegagalan. Sesuatu disebut sukses, karena kita pernah mengalami kegagalan. Ingat, ia tumbuh dari bawah menuju puncak.

Baru belakangan ini saya mengerti bahwa Ibu telah mengajak saya untuk terperosok menuju dasar dan menemukan harta karun dalam kegelapan, tempat di mana hanya segelintir orang yang rela untuk jatuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun