Ibu adalah sosok Kartini bagi saya. Meskipun terdengar membosankan, tapi saya pastikan ini berbeda. Ibu bukan sembarang manusia, tapi bukan juga sesosok hantu. Antara malaikat dan Ibu, saya hampir tidak bisa membedakannya.
Jika digambarkan dalam film, Ibu adalah pemeran utama dengan sedikit dialog. Bahkan ketika bersamanya, saya seperti masuk ke dalam dunia film “A Quiet Place”. Ibu adalah orang yang cuek mengenai segala hal.
Tapi, ucapan Ibu bagaikan debu ajaib dari negeri dongeng. Nasihatnya seperti segelas air di tengah Padang Sahara. Bukan hanya melepaskan dahaga jiwa, tapi juga udara psikologis. Terkadang saya bingung, manusia macam apa Ibu itu.
Ketika saya memasuki jenjang SMA, Ibu mulai membagikan mantranya lagi. Ini terjadi pada malam yang dingin, ketika bintang dan rembulan tampak kelabu, Ibu menghampiri saya dan bertanya, “Apa kegagalanmu minggu ini?”
Saya memicingkan pandangan, pelan-pelan berusaha mencerna pertanyaan itu. Buku yang sedang dibaca saya akhiri dan menjawab, “Tidak ada. Ujian di sekolah sempurna, pertemanan luar biasa, dan Ibu tahu ‘kan tentang hasil perlombaan kemarin.”
“Ibu khawatir, cobalah untuk gagal tanpa menyesal,” katanya.
“Itu menyakitkan. Kenapa aku harus gagal di saat aku bisa sukses?”
“Itulah masalahnya. Kamu tak akan menghargai kesuksesan tanpa pernah mengalami kegagalan.”
Jika saya sedang minum kopi pada saat itu, saya khawatir akan menyemburkannya ke wajah Ibu. Tapi sebagai gantinya, saya menelan ludah begitu banyak hingga tenggorokan terasa perih seperti pesisir yang dihantam ombak raksasa.
Saya tidak memedulikan perkataan tersebut. Saya pikir nasihat semacam itu benar-benar bodoh. Ibu pasti sedang bercanda. Saya menjalani hidup seperti biasa, semua berjalan normal. Kehidupan kelas 10 SMA memang sedikit membosankan; hambar.
Tapi setahun kemudian, saya mengikuti banyak perlombaan dan olimpiade. Untuk mendedikasikan diri, saya mengurangi perhatian saya ke kelas dan benar-benar fokus pada kejuaraan. Menang; hanya itu yang saya kenal.