Saya tidak tahu pasti berapa jumlah perlombaan yang saya ikuti, yang jelas hanya 3 perlombaan yang berhasil saya juarai. Itu pun hanya 2 di antaranya yang menjadi juara 1. Dan hal tersebut tidaklah cukup bagi saya waktu itu. Saya ingin lebih, tapi tidak mampu.
Apalagi nilai di kelas menurun drastis. Beberapa guru memberi nasihat, memastikan saya tidak mengalami amnesia. Pertemanan juga mulai goyah karena saya menjadi pemurung.
Dan apa yang mengerikan? Pandemi terjadi. Saya merasa kehilangan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Saya merasa gagal di samping beberapa pencapaian yang berharga. Orang lain akan mengatakan bahwa saya tidak pandai bersyukur.
Dalam kenestapaan yang menyiksa, Ibu datang dengan cara yang sama. Langkah kakinya menggertak keheningan, kemudian berbisik dengan tajam, “Apa yang kamu pelajari?”
Karena saya tidak mampu menjawabnya saat itu, saya akan menjawabnya lewat tulisan ini. Anda sedang membaca diary saya.
Segala sesuatu di dunia diciptakan secara berpasang-pasangan. Dengan begitu kita menjadi mudah dalam membedakan segala hal.
Kita tahu bahwa kertas itu putih karena bukan hitam. Kita tahu bahwa terorisme itu buruk karena tidak baik. Kita tahu bahwa spiderman laki-laki karena bukan perempuan. Kita tahu bahwa lift sedang naik karena ia tidak sedang turun.
Kita bisa mengetahui sesuatu adalah X karena terdapat hal lain yang non-X.
Lebih mudahnya, kita tahu perasaan senang karena ada sesuatu yang disebut sedih. Kita tahu perasaan marah karena ada sesuatu yang disebut sabar.
Kita tahu sesuatu itu baik karena ada sesuatu yang disebut buruk.
Karenanya, kita mengenal istilah sukses karena ada sesuatu yang disebut gagal.