Aneh rasanya memegang halaman-halaman hasil printout ini di tanganku. Rasanya mirip seperti menemukan fosil di saat aku butuh petunjuk.
Dan tak tahu mengapa, angin mulai bertiup kencang menerbangkan daun-daun menuju tempat yang asing, mungkin sebuah neraka. Tapi bulan masih belum tampak. Aku butuh cahaya.
Tadi adalah kalimat-kalimat yang aku tulis. Dan sekarang, Ayah akan mengambil alih tulisan ini. Aku hanya menyalin apa yang tertulis dalam surat yang Ayah tulis setahun yang lalu.
Lagi pula, ini waktu yang tepat.
Andaikan Ini Ramadan Terakhirku
Antreas, kamu menemukan surat ini? Aku begitu yakin bahwa kamulah yang sekarang sedang membaca surat ini. Ibu tidak akan tahu tentang kode aksesnya, hanya kamu yang mungkin tahu, putraku.
Aku merasa mesti menulis surat ini sekarang juga. Aku tidak tahu, Antreas. Apa yang mendorongku melakukannya? Aku hanya punya perasaan yang mengganggu belakangan ini. Apakah itu masuk akal?
Besok adalah hari raya idul fitri. Orang-orang menghangatkan suasana dengan semarak. Tapi mengapa malam ini terasa begitu dingin bagiku?
Apakah kulitku ini sudah begitu rapuh? Ibu datang memberi selimut, tapi itu tak berarti apa-apa. Bahkan kamu membawakanku segelas teh hangat beberapa menit yang lalu. Dan itu pun tak ada bedanya.
Duhai putraku yang malang! Tak terhitung jumlahnya, Aku sering melihatmu sedang sendirian dengan mata yang muram. Wajahmu begitu masam. Ada apa?
Apakah kamu tidak menikmati kehidupan ini? Apa yang membuatmu demikian? Jika memang kamu tidak suka untuk hidup, kamu bisa menyalahkanku kapan pun juga.
Aku yang membuatmu terlahir ke dunia. Akan tetapi, kupikir engkau akan bahagia menghabiskan waktu bersamaku dan Ibu. Benarkah?