Konon, Socrates sedang berjalan-jalan mengelilingi pasar Athena. Kemudian dia pun berseru, "Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus mengenal dirimu sendiri!"
Tak lama, seseorang dari mereka bertanya, "Hei Socrates, apakah kamu sudah mengenal dirimu sendiri?"
Socrates menjawab, "Aku tidak tahu. Tapi aku tahu bahwa aku tidak tahu!"
Kelahiran internet telah menciptakan perubahan besar dalam paradigma informasi. Bisa dibilang, kita hidup di zaman yang serba praktis. Informasi, data, dan pengetahuan benar-benar ada di ujung jari kita.
Hal-hal yang dulunya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dan dibagikan dalam lingkaran tertutup kini dapat diakses oleh semua. Jika Anda ingin tahu, Anda bisa.
Namun, hampir tidak mungkin untuk menjadi "ahli" yang sesungguhnya. Paradoksnya adalah bahwa setiap orang dan tidak seorang pun yang menjadi ahli.
Hal tersebut mendorong ketakutan umat manusia untuk menjadi tidak tahu. Pengakuan akan ketidaktahuan sering dianggap sebagai bahaya yang mengancam jati diri melebihi kebodohan itu sendiri.
Rasa takut untuk mengatakan "saya tidak tahu" telah dimulai sejak lama. Kemudian kita mulai berlagak dan membuat-buat di hadapan umum. Kita dapat berpura-pura.
Dan untuk sementara, kita dapat lolos. Bahkan kita dapat menipu diri sendiri. Namun apa yang terjadi? Bau bangkai selalu tercium pada akhirnya.
Anda tidak dapat berpura-pura untuk waktu yang lama, karena Anda akhirnya akan ketahuan. Dan justru, pengakuan tentang ketidaktahuan sering merupakan langkah pertama dalam pendidikan.
Jika Anda tidak membiarkan seorang guru mengetahui tingkat kemampuan Anda (dengan mengajukan pertanyaan, atau mengungkapkan ketidaktahuan Anda), Anda tidak akan belajar atau berkembang.
Kita hidup di era yang aneh di mana semua orang merasa tahu. Namun sesungguhnya, apakah mereka benar-benar tahu atau hanya mengira-ngira saja?
Sejatinya, manusia adalah makhluk yang tidak tahu. Ketika lahir ke dunia, kita tidak tahu. Kemudian kita mencoba untuk melakukan segalanya demi menghindari label "bodoh".
Padahal apa persamaan ketidaktahuan dan kebodohan? Bukankah orang-orang cerdas selalu berawal dari ketidaktahuan? Jangan-jangan kebodohan tercipta dari penolakan akan ketidaktahuan?
Ya, jawablah. Saya dapat memberikan pertimbangan kepada Anda.
Dalam urusan berburu, mana yang lebih ganas: singa yang sudah kenyang atau singa yang kelaparan?
Bahkan itu seperti bukan sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Tapi itulah maksud saya.
Orang-orang yang merasa "tidak tahu apa-apa" adalah para singa yang kelaparan itu. Mereka begitu rindu pada pengetahuan laksana para singa yang rindu pada makanannya.
Thoreau mengajarkan, "Bagaimana kita dapat mengingat ketidaktahuan kita, yang diperlukan oleh pertumbuhan, jika kita menggunakan pengetahuan kita sepanjang waktu?"
Penting untuk diingat bahwa demi suatu perubahan di dalam hidup, kita harus pernah keliru akan sesuatu. Dan ketidaktahuan merupakan akar dari semua kemajuan dan perkembangan.
Perjalanan 100 KM selalu diawali dari satu langkah kecil. Dan pengakuan akan ketidaktahuan adalah langkah pertama Anda.
Kita lihat apa yang terjadi pada orang-orang yang enggan untuk mengakui ketidaktahuannya. Mereka sering kali gagal menjalani perkembangan karena mereka berjalan dengan langsung melakukan lompatan besar.
Mereka kira jalan pintas itu ada dan bagus. Padahal jalan pintas itu "ambyar" di dalam perkembangan diri.
Mereka melewatkan satu langkah pertama yang pada dasarnya adalah langkah kecil. Mereka melewatkan bagian terpentingnya. Kemudian mereka hilang arah.
Satu-satunya cara untuk mendapatkan petunjuk adalah dengan berjalan kembali menuju permulaan dan menjalaninya dengan setiap langkah kecil sehingga semua petunjuk terlihat jelas.
Tapi tentunya, itu bukanlah sesuatu yang mudah. Karena jika mudah, mengapa semua orang tidak melakukannya? Atau barangkali lupa?
Meskipun pengakuan akan ketidaktahuan terkadang sulit untuk ditanggung karena meninggalkan kita dengan kekhawatiran dan ketidakpastian dalam kehidupan kita, tapi menjadi manusia berarti berani hidup dengan misteri dan segala sesuatu yang tidak diketahui.
Saya tahu betapa beratnya seorang manajer perusahaan mengakui ketidaktahuan karena itu akan menjatuhkan identitas dirinya. Begitu juga yang terjadi pada seorang guru ketika mendapatkan pertanyaan sulit dari muridnya.
Tapi, bagaimana kita akan belajar jika kita terus merasa tahu? Pembelajaran selalu dimulai dari titik rendah menuju puncak. Jika Anda ingin langsung berada di puncak, Anda tidak akan mendapatkan petunjuk tentang mana puncak yang kokoh dan rapuh.
Maka pengakuan akan ketidaktahuan adalah petunjuk Anda untuk mengetahuinya.
Barangkali Anda dapat mengimprovisasi ungkapan ketidaktahuan Anda.
Jika Anda seorang manajer perusahaan, Anda bisa mengatakan, "Itu pertanyaan yang menarik. Saya tidak bisa menjawabnya dengan sembarangan. Bagaimana kalau saya lakukan analisis terlebih dahulu?"
Atau jika Anda seorang guru, Anda bisa mengatakan, "Itu luar biasa. Tapi pertama-tama, bagaimana pandanganmu sendiri terhadap pertanyaanmu itu, Nak?" Dan kemudian Anda mendapatkan waktu untuk berpikir, dan sedikit pencerahan.
Tapi sebenarnya, jawaban "saya tidak tahu" adalah jawaban yang sah, dapat diterima, dan yang lebih penting, tanggapan yang bertanggung jawab ketika Anda tidak tahu jawabannya.
Kredibilitas Anda tidak terletak pada kemampuan Anda untuk memberikan pengetahuan ensiklopedis sesuai permintaan. Kita memiliki internet untuk itu.
Sebaliknya, kredibilitas Anda terletak pada kemampuan Anda untuk melacak, meneliti dan mengidentifikasi.
Ironisnya, kita begitu gengsi dan terkadang angkuh untuk mempertahankan jati diri. Padahal sesungguhnya, gerombolan singa yang sedang kelaparan lebih ditakuti daripada para singa yang kekenyangan.
Kita menjadi begitu sok tahu bahwa pengalaman di masa lalu telah memberikan petunjuk yang nyata kepada kita sehingga pengakuan akan ketidaktahuan menjadi begitu sakral dan ditakuti.
Padahal kita telah belajar bahwa masa lalu sering menjadi panduan yang buruk untuk masa depan dan bahwa kita akan selamanya berurusan dengan peristiwa yang tidak diduga.
Mengingat skenario itu, hidup akan membutuhkan individu yang menyukai hal yang tidak diketahui. Hidup suka memberi kejutan!
Ketidaktahuan mendorong kita untuk menjadi terbuka pada segala kenyataan yang ada. Kita juga akan membuka diri untuk menerima pada segala kemungkinan yang terjadi.
Kita tidak lagi terjebak pada kepastian-kepastian palsu. Kita juga tidak terjebak pada segala bentuk ilusi yang diajarkan oleh tradisi yang ada sebelum kita.
Dan yang tak kalah pentingnya, pengakuan akan ketidaktahuan menjadikan kita untuk anti-fanatik terhadap kebenaran.
Saat kita menerima suatu informasi, pengakuan akan ketidaktahuan mendorong kita untuk tidak percaya begitu saja pada apa yang kita terima.
Kita lebih berhati-hati dan ulet dalam memeriksa kebenaran. Dan ironisnya, inilah keterampilan paling penting di era serba digital.
Ketika kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu, kita akan bersedia untuk menghadapi setiap keadaan apa adanya. Kita tidak dibebani oleh masa lalu yang kerap kali memberikan pengetahuan palsu.
Kita juga tidak dibebani oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian semu belaka. Setiap detik adalah suatu keadaan baru dalam hidup kita.
Pikiran-tidak-tahu memecahkan masalah dengan berpijak pada masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun harapan palsu.
Pikiran-tidak-tahu bergerak dari saat ke saat, dan tidak dibebani dengan pengetahuan palsu yang berasal dari masa lampau. Ia bersifat spontan dan alamiah. Ia melampaui bahasa dan rumusan.
Namun, pikiran-tidak-tahu tidak boleh menjadi ajaran mutlak yang baru. Ketidaktahuan bukanlah suatu keadaan mutlak, melainkan cair.
Ia tidak boleh jatuh hanya pada pengetahuan intelektual belaka, melainkan harus menjadi cara hidup yang menetap menjadi kebiasaan.
Tidak mengetahui apa pun adalah hidup yang termanis. - Sophocles
Saya mengagumi dan sangat senang belajar dari orang-orang yang lebih tertarik untuk belajar dari orang lain daripada mereka yang menunjukkan keahlian dan pengetahuannya.
Mereka bisa menghasilkan pemikiran dan perilaku yang benar-benar baru. Ketergantungan berlebihan pada apa yang berhasil di masa lalu dapat membatasi kita karena aturan permainan terus berubah.
Mereka terbuka, mereka dapat melakukan banyak hal dengan cara mereka tanpa mengkhawatirkan peraturan dan prosedur.
Saya dapat mencoba karena saya tidak tahu apa-apa.
Saya tidak lagi menderita karena kutukan pengetahuan. Saya dihadapkan pada sebuah misteri.
Daripada terburu-buru menemukan jawaban dan menyelesaikan pertanyaan, saya lebih suka untuk mengembangkan pertanyaan itu dan kemudian melihat wawasan berguna apa yang dapat saya temukan dengan melakukannya.
Terkadang, tidak mengetahui apa yang Anda lakukan memungkinkan Anda untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah Anda ketahui dapat Anda lakukan. - Nell Scovell
Ketidaktahuan mendorong saya untuk mundur dari detail, keputusan dan memeriksa diri saya sendiri.
Merasa nyaman dengan ketidaktahuan sangatlah penting agar jawaban datang kepada Anda. - Eckhart Tolle
Tapi pertanyaannya, bagaimana pikiran-tidak-tahu bisa terwujud? Bagaimana pikiran-tidak-tahu bisa bercokol di kepala kita? Apakah dengan sebuah pemaksaan?
Hanya ada satu cara yang mungkin, yakni berpikir jernih. Ketika orang berpikir dengan reaktif, dia mulai membuat penafsiran dan pembedaan.
Penafsiran dan pembedaan itu akan melahirkan keyakinan-keyakinan akan kebenaran pengalaman di masa lalu. Kemudian itu berkembang lagi menjadi suatu pegangan sehingga kita merasa begitu percaya bahwa kita berpikir benar.
Tapi masalahnya, pikiran yang reaktif juga sering diracuni oleh paradigma-paradigma luar yang menjadikan pikiran kita membuat kesimpulan yang fatal.
Pikiran reaktif seperti itulah yang membuat kita mudah terjebak oleh informasi hoaks. Kita begitu senang memegang kebenaran yang masih berdalih "katanya".
Pikiran yang jernih berarti pikiran yang diatur dan ditata. Layaknya sebuah ponsel, untuk bisa diisi oleh file-file baru yang bermanfaat, Anda harus rutin membuang file-file sampah.
Berpikir jernih juga berarti berani untuk mempertanyakan apa yang selama ini Anda yakini, karena Anda sudah mengakui ketidaktahuan Anda. Maka sekarang kita tahu bahwa berpikir kritis selalu diawali oleh pemikiran yang jernih.
Apakah tulisan ini terlalu panjang untuk Anda? Itu karena saya mengawalinya dari ketidaktahuan yang kemudian mendorong ide-ide baru muncul dalam pikiran saya. Dan begitulah yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H