Di saat masyarakat merindukan ketenangan dan kedamaian di masa pandemi, justru masyarakat malah dikejutkan dengan terjadinya peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar.
Fakta bahwa ada orang yang bersedia mengorbankan nyawanya untuk memusnahkan nyawa orang lain atas nama pandangan dunia tertentu tampak begitu menakutkan.
Karenanya, alih-alih termakan oleh informasi dari sana-sini yang tak pasti, saya mendapatkan pertanyaan yang cukup mengiris hati: mengapa terjadi terorisme?
Mengapa seseorang rela kehilangan nyawanya dengan sengaja? Memangnya sebesar apa motivasi yang mendorongnya? Di saat kebanyakan orang takut untuk mati, mengapa orang-orang ini justru dengan sengaja menjemput kematiannya sendiri?
Definisi dari terorisme itu sendiri belum ada yang menyatakannya secara baku. Jika merujuk kepada definisi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, tindakan terorisme itu didorong oleh motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Bagi saya, itu cukup ambigu karena masih menimbulkan pertanyaan lain. Apakah di luar ketiga motif itu juga disebut terorisme? Barangkali Anda lebih mengerti.
Pendek kata, terorisme adalah suatu tindakan yang menyebarkan ketakutan dengan menggunakan medium kekerasan. Setidaknya definisi itu sudah cukup untuk merujuk pada konteks yang sekarang sedang ramai.
Menentukan apa yang mendorong seseorang untuk melakukan terorisme bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, pencerahan atas hal itulah yang akan mengkatalisasi solusi dari terorisme itu sendiri.
Sebagai catatan pertama, mereka para teroris tidak mungkin menjadi sukarelawan sebagai subjek percobaan. Menghilangkan nyawa sendiri hanya untuk membuktikan benar atau salahnya sebuah kesimpulan sangatlah irasional.
Terorisme bisa dikatakan sebagai "perang yang lemah". Dalam kebanyakan kasus, terorisme merupakan cara yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang kekurangan kekuatan material atau politik untuk melawan apa yang mereka lihat sebagai kekuatan yang menindas.
Jika dianalisis lebih dalam, penanganan yang semena-mena terhadap tindakan terorisme justru dapat menjadi bumerang yang mengerikan.
Psikolog Clark McCauley, Ph.D percaya bahwa reaksi pemerintah terhadap terorisme mewakili interaksi yang dinamis sehingga gerakan dari satu kelompok dapat memengaruhi kelompok yang lain.
Sebagai contoh, jika teroris melakukan serangan dan suatu negara mengirimkan pesan balasan dengan cara yang ekstrem, teroris dapat menggunakan tindakan tersebut untuk membangkitkan sentimen anti-negara yang lebih besar di antara warga negara.
Ibarat ketika anak Anda mengatakan bahwa Anda adalah seorang pemarah, maka jika Anda memakinya dengan spontan, hanya akan semakin membuktikan bahwa Anda memanglah seorang pemarah.
Ironisnya, ini bisa menjadi paradoks: jika kita tidak bisa melacak cara apa yang ampuh sebagai tanggapan, bagaimana kita bisa berharap akan menemukan cara yang lebih baik atau lebih buruk?
Selama bertahun-tahun, para psikolog telah memeriksa karakteristik individu teroris, mencari petunjuk yang dapat menjelaskan kesediaan mereka untuk melakukan kekerasan.
Seorang psikolog bernama John Horgan, Ph.D menemukan bahwa orang-orang yang lebih terbuka untuk bergabung dalam perekrutan kelompok teroris dan radikalisasi cenderung:
- Memiliki dendam, merasa terasing, atau dicabut haknya.
- Percaya bahwa tidak ada lagi upaya untuk melakukan perubahan nyata.
- Merasa menjadi korban atas ketidakadilan sosial dan segala perjuangannya hanya dianggap sia-sia.
- Merasa perlu mengambil tindakan daripada hanya membicarakan permasalahan.
- Percaya bahwa kekerasan terhadap negara bukanlah hal yang amoral.
- Meminta simpati dan empati dari orang-orang untuk tujuan tertentu.
- Percaya bahwa bergabung dengan suatu gerakan terorisme menawarkan imbalan sosial dan psikologis, seperti persahabatan, solidaritas, dan rasa identitas yang lebih tinggi.
Apakah semua itu benar-benar penyebab dari terjadinya terorisme? Saya pikir tidak.
Semua poin tadi hanyalah produk dari sesuatu yang lebih besar dan berbahaya. Jika diibaratkan sebuah pabrik, semua poin itu hanyalah hasil/produk dari sebuah mesin yang menciptakannya.
Semua asumsi itu hanyalah daun-daun yang tumbuh dari sebuah pohon. Dengan demikian, pastilah ada satu akar yang mengawali pertumbuhan daun-daun itu untuk hidup.
Pertanyaannya, di mana kita dapat menemukan akar itu? Anda tahu, tidaklah mudah untuk menemukan di mana letak akar sebuah pohon berada karena selalu sering tertutupi oleh tanah; samar-samar.
Saya yakin, terorisme lahir dari kesesatan berpikir tentang kemurnian sebuah ajaran. Apa pun istilah yang dapat menggambarkan itu, pada intinya adalah kesesatan berpikir.
Sejak 1970-an, dunia menyaksikan lahirnya beragam kelompok teroris. Mereka memiliki beragam tujuan, baik itu tujuan politis, maupun tujuan religius.
Semuanya memiliki pola yang sama, yakni tafsir semena-mena atas sebuah paham yang bersifat tertutup, sempit, dan menindas perbedaan.
Maka bisa dikatakan bahwa terorisme berpijak pada suatu pemahaman tertentu yang mengklaim kebenarannya sebagai kebenaran mutlak.
Para teroris yakin secara dogmatis, bahwa mereka telah sampai pada kebenaran mutlak dan memutuskan untuk memusnahkan segala pandangan yang bertentangan dengannya.
Kesesatan berpikir ini telah memberikan mimpi penuh kebohongan pada mereka yang anti berpikir kritis.
Mari kita telusuri lebih dalam.
Banyak dari para teroris yang tobat berdalih bahwa dulunya mereka punya dendam, merasa terasingkan, atau merasa dicabut haknya.
Secara tersirat, asumsi itu datang dari kesesatan mereka dalam berpikir. Mereka menganggap bahwa hidup harus mengabulkan semua keinginannya. Kemudian gigi diganti gigi, tangan diganti tangan, kaki diganti kaki.
Justru saya bertanya-tanya, apa hakikat kebahagiaan jika semua keinginan harus terpenuhi? Bukankah kita merasa bahagia karena kita tahu betapa menyakitkannya sebuah penderitaan?
Atau jikalau demikianlah yang seharusnya terjadi, untuk apa Tuhan menciptakan surga dan neraka? Mungkin saya berpikir terlalu mengarah kepada agama, tapi inilah poin saya selanjutnya.
Mengapa seseorang yang taat beragama sekalipun ada yang berani melakukan aksi bom bunuh diri? Inilah yang sempat atau bahkan masih menyita perhatian dunia: jika agama cinta perdamaian, mengapa penganutnya ada yang menjadi teroris?
Di dalam agama, banyak orang berhati mulia, namun lemah dalam berpikir. Mereka mudah menjadi korban cuci otak. Mereka mudah ditipu dan dimanfaatkan oleh para pemecah belah dan politisi busuk.
Mengapa agama dengan mudah menjadi sarang teroris? Singkatnya, saya menemukan dua faktor penyebab.
Pertama, guru dan pemuka agama yang gila hormat. Banyak orang yang memutuskan untuk beragama karena mereka butuh akan pedoman hidup. Dengan kata lain, mereka datang dengan kertas kosong.
Dalam kesempatan ini, beberapa guru dan pemuka agama memanfaatkannya. Mereka mengisi kertas kosong itu dengan anggapan bahwa mereka merupakan utusan Tuhan yang tak dapat salah.
Pada akhirnya, agama dijadikan sebagai wadah untuk menyebarkan benih-benih radikalisme dan terorisme. Kembali lagi, ini terjadi karena kesesatan dalam berpikir.
Kedua, menafsirkan ajaran secara dangkal. Orang-orang ini menganggap agamanya sebagai kebenaran mutlak sehingga mereka menuliskan apa pun yang mereka terima dalam kertas kosong tadi.
Ironisnya, mereka tak mau menguji kebenarannya dan hanya buta dengan paradigma yang keliru.
Contohnya, dalam beberapa kasus, bom bunuh diri dianggap sebagai bentuk jihad. Mengapa mereka percaya? Karena mereka mengisi kertas kosong tadi dengan apa yang mereka terima tanpa memeriksa kebenarannya.
Jadi, jika Anda ingin paham sebuah agama, jangan lihat bagaimana para penganutnya. Tapi pelajarilah kitab sucinya. Begitulah Dr. Zakir Naik berseru.
Tapi kembali lagi ke premis utama, dalam hal ini pun masih terjadi karena kesesatan dalam berpikir.
Kemudian ada juga yang berdalih bahwa para teroris berusaha untuk menyuarakan keyakinannya dengan bertindak ketimbang membicarakannya.
Inilah mengapa saya mengatakan di awal bahwa terorisme merupakan "perang yang lemah". Mereka menganggap tak ada lagi jalan untuk ditempuh selain membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Lagi dan lagi, mereka terjebak dalam kesesatan berpikir.
Sebuah penelitian menemukan bahwa bergabung dalam kelompok teroris dapat memberikan rasa aman dan berarti bahwa orang tersebut tidak merasa sebagai individu.
Menjadi bagian dari tujuan kolektivis selalu menjadi ciri khas orang yang bersedia menjalani pengorbanan pribadi.
Dalam pengertian yang lebih universal, ketakutan akan kehancuran budaya dapat membantu memicu sentimen teroris. Dan sesungguhnya, faktor ini dapat ditepis apabila pelakunya tidak terjebak dalam kesesatan berpikir.
Mungkin Anda cukup bosan dengan saya yang terus berdalih "kesesatan berpikir". Tapi, itulah akarnya. Jika ingin mencabut akarnya, yang harus kita ketahui banyak adalah tentang akarnya, bukan daunnya.
Lalu selanjutnya, dari mana tumbuhnya kesesatan berpikir ini? Saya pikir, akar ini tumbuh dari penafsiran pengalaman atau keengganan orang-orang untuk berpikir kritis.
Dan kemudian, adakah kunci untuk menangkal terorisme? Bukankah ini tujuan kita mengetahui penyebab terorisme?
Barangkali ada beberapa tindakan, baik preventif maupun represif. Tapi karena akarnya adalah kesesatan berpikir, maka saya lebih suka mengatasinya dengan transendensi.
Di dalam filsafat, konsep transendensi berkaitan dengan tindakan melampaui batas-batas yang ada. Transendensi menjadi ciri dari horizon atau paradigma yang mendasari pengetahuan manusia.
Horizon adalah latar belakang yang memungkinkan pengetahuan manusia tercipta dan berkembang.
Dalam arti inilah transendensi bisa menjadi obat penyembuh penyakit terorisme. Orang tidak lagi melulu berpikir soal dirinya, keluarga, atau kelompoknya, tetapi juga berpikir dari kacamata keseluruhan.
Transendensi juga membutuhkan empati, yakni kemampuan merasakan dan melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Inilah yang menciptakan kesadaran kosmopolitanisme, kesadaran bahwa kita ini adalah warga dunia yang bersatu, bukan sekadar warga dari suatu negara.
Pada akhirnya, pembaca, sangatlah penting untuk mempertanyakan segalanya, sekalipun itu keyakinan Anda yang dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Ketika saya mendapatkan sebuah pengetahuan baru atau memeriksa keyakinan saya sendiri, sering muncul pertanyaan otomatis, "Lho, jangan-jangan ..."
Meskipun itu mendorong saya untuk menjadi orang yang "curigaan", tapi begitulah saya menjadi tidak fanatik dengan kebenaran. Kesalahan adalah langkah awal menuju perkembangan.
Inilah pentingnya pendidikan berpikir kritis sejak dini. Jika generasi muda kita terus diajarkan untuk menghafal, bagaimana kita berharap mereka bisa menjadi generasi yang kritis?
Saya hampir menangis saat melakukan (sedikit) riset tentang tulisan ini. Ada banyak kasus terorisme yang terjadi dengan melibatkan anak-anak karena terpengaruh oleh orang tuanya.
Sangat menyayat hati! Ternyata pada titik tertentu, sangatlah sulit untuk membedakan manusia dengan hewan. Apakah kita adalah hewan-hewan yang berpikir?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H