Inilah mengapa saya mengatakan di awal bahwa terorisme merupakan "perang yang lemah". Mereka menganggap tak ada lagi jalan untuk ditempuh selain membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Lagi dan lagi, mereka terjebak dalam kesesatan berpikir.
Sebuah penelitian menemukan bahwa bergabung dalam kelompok teroris dapat memberikan rasa aman dan berarti bahwa orang tersebut tidak merasa sebagai individu.
Menjadi bagian dari tujuan kolektivis selalu menjadi ciri khas orang yang bersedia menjalani pengorbanan pribadi.
Dalam pengertian yang lebih universal, ketakutan akan kehancuran budaya dapat membantu memicu sentimen teroris. Dan sesungguhnya, faktor ini dapat ditepis apabila pelakunya tidak terjebak dalam kesesatan berpikir.
Mungkin Anda cukup bosan dengan saya yang terus berdalih "kesesatan berpikir". Tapi, itulah akarnya. Jika ingin mencabut akarnya, yang harus kita ketahui banyak adalah tentang akarnya, bukan daunnya.
Lalu selanjutnya, dari mana tumbuhnya kesesatan berpikir ini? Saya pikir, akar ini tumbuh dari penafsiran pengalaman atau keengganan orang-orang untuk berpikir kritis.
Dan kemudian, adakah kunci untuk menangkal terorisme? Bukankah ini tujuan kita mengetahui penyebab terorisme?
Barangkali ada beberapa tindakan, baik preventif maupun represif. Tapi karena akarnya adalah kesesatan berpikir, maka saya lebih suka mengatasinya dengan transendensi.
Di dalam filsafat, konsep transendensi berkaitan dengan tindakan melampaui batas-batas yang ada. Transendensi menjadi ciri dari horizon atau paradigma yang mendasari pengetahuan manusia.
Horizon adalah latar belakang yang memungkinkan pengetahuan manusia tercipta dan berkembang.
Dalam arti inilah transendensi bisa menjadi obat penyembuh penyakit terorisme. Orang tidak lagi melulu berpikir soal dirinya, keluarga, atau kelompoknya, tetapi juga berpikir dari kacamata keseluruhan.