Beberapa jam lamanya berjalan, pemukiman itu semakin dekat, terdengar suara-suara pribumi yang bercengkerama, hatinya semakin dilema. Jika ia muncul di sana, mereka akan menganggapnya sebagai seorang musafir yang patut dikasihani. Dan itu juga berarti menghancurkan misi soliternya!
Namun, hatinya tiba-tiba berubah. Misi kemanusiaan telah berbisik jauh ke lubuk hatinya, dan Antreas siap ditertawakan oleh siapa pun.
Bersama untanya yang mulai bungkuk, Antreas menghampiri kerumunan tanpa suara. Cadangan air dalam tubuh unta itu telah surut, membuat langkahnya sangatlah pelan seperti menyeret paksa bak seorang prajurit dengan kaki tertembak.
Bumi 2222, kehidupan umat manusia telah kembali serupa seperti nenek moyangnya. Dunia semakin mendekati kehancurannya. Dengan spons apakah kita akan menghapus seluruh horizon? Dengan pohon apakah kita akan berteduh dari gejolak keringat sang surya? Dengan sedotan apakah kita akan mampu menenggak habis seisi lautan?
Di alun-alun pasar yang terik ini, Antreas coba mendengarkan apa yang sedang dibicarakan orang-orang itu.
"Hutan akan sangat sempurna untuk menopang hidup kita selama beberapa tahun ke depan!" seru seorang pria tua yang janggutnya seperti terbakar.
"Kita akan berteman dengan para burung! Mereka bisa membantu kita mencari biji-bijian!"
"Lalu apa lagi yang bisa kita kerjakan di sana?" tanya seorang remaja di tengah ketegangan.
"Menunggu kematian!" sambar Antreas yang tiba-tiba datang dengan unta dituntunnya.
Semua orang yang bahkan bukan bagian dari diskusi itu serentak memandangi Antreas karena mengundang misteri. Maka berujarlah salah seorang di antara mereka, "Aku mengenali musafir ini! Antreas, sang kaisar, begitulah aku mengenalnya!"
"Diakah?" tanya orang-orang tak percaya. Mereka memandang satu sama lain seperti kebingungan.