Memaafkan adalah memilih untuk tidak membiarkan peristiwa buruk di masa lalu menentukan perasaan kita tentang seseorang atau sesuatu di masa kini. Tentang manfaatnya bagi kesehatan mental, tak perlu lagi saya bahas, kiranya. Kita semua tahu itu dan ia muncul begitu saja saat kita berhasil melakukannya.
Intinya, mengatakan bahwa Anda memaafkan adalah proses psikologis murni. Itu tidak selalu memiliki dampak di dunia nyata (kecuali Anda memperjuangkannya).
Saat kita membawa kebencian atau amarah dalam diri, itu membebani kita seperti rantai yang tergantung di leher kita. Bukan hanya menguras energi, bernapas pun rasanya sangat berat. Bahkan rentan stres dan membuat kita tidak bahagia di tengah pesta kelulusan.
Masalah dari perasaan membenci adalah ia memaksa kita untuk hidup di masa lalu. Bukan hanya membuat kita terjebak dalam kesuraman, tapi juga membentuk paradigma kita pada orang-orang di sekitar. Mereka seperti tak pernah berubah atau berevolusi, mereka hanyalah kotoran lama yang sama dalam balutan permen berwarna berbeda.
Memaafkan itu mudah, kalau hanya sekadar di mulut. Dan itu belum tentu menyembuhkan segalanya. Saya telah memaafkan beberapa orang di masa lalu saya, tapi tetap saja saya masih jengkel ketika berurusan dengan mereka.
Inilah pentingnya kemampuan untuk memaafkan dan melanjutkan hidup dalam rasa bahagia. Meskipun rasa kesal dan amarah masih membekas, yang penting, kita tidak membiarkan diri atau hubungan kita ditentukan olehnya. Karena jika kita melakukannya, maka itu kereta gerbong menuju jurang tanpa asuransi jiwa.
Memaafkan bisa jadi rumit karena sifatnya emosional. Anda bisa saja mengatakan, "Aku memaafkan Ibu karena melupakan hari ulang tahunku. Aku tahu, Ibu sudah renta." Tetapi saat tiba waktu yang tepat untuk melepaskan amarah, rasanya tidak mungkin untuk ditahan.
Lantas bagaimana cara memaafkan seseorang? Saya melakukan langkah-langkah berikut.
Pertama, pisahkan tindakan dari orangnya. Biasanya kita mendengar kekeliruan seperti ini di media sosial. Seorang perempuan yang baru saja diselingkuhi pasangannya kemudian memegang keyakinan yang kuat, bahwa semua laki-laki adalah tukang selingkuh. Tidak begitu, Sayang!
Dua hari yang lalu, kebetulan siang hari sedang panas, saya memakan 3 corn es krim. Apakah itu berarti saya adalah orang yang rakus?
Sebenarnya, memakan 3 corn es krim bukanlah sesuatu yang saya dambakan, apalagi dibanggakan. Jelas itu tidak sehat. Dan itu bukan sesuatu yang terjadi karena kerakusan, tapi karena tuntutan udara yang begitu panas. Kemudian itu terjadi. Jadi, saya memaafkan diri saya sendiri dan move on.
Pemisahan tindakan dari orangnya sangat penting untuk mencapai kesimpulan kita pada seseorang. Semua orang melakukan hal-hal buruk. Tapi sangat sedikit di dunia ini yang menjadi orang jahat.
Pada faktanya, setiap orang terus bergerak, berubah, dan berkembang (atau setidaknya memiliki potensi untuk melakukannya). Jadi, fokuslah pada potensi evolusi itu, karena demikianlah inti dari memaafkan.
Kedua, memahami motivasi mereka. Ada aturan universal yang berlaku di sini: Orang yang melakukan hal-hal menyakitkan melakukannya karena mereka sendiri terluka.
Kebanyakan orang yang tampak senang menyakiti kemungkinan besar hanya sedang mengimbangi rasa sakit yang mereka rasakan.
Pernah seorang pria mencuri sekotak susu balita di minimarket karena dia takut tidak akan mampu menafkahi anaknya yang masih balita.
Atau seorang pria yang mencuri ponsel merasa dibenarkan karena dia tumbuh dalam kemiskinan dan sekarang dituntut oleh kebutuhan anaknya yang harus sekolah online.
Atau seorang nenek yang mencuri sebungkus roti merasa dibenarkan karena hidup memberinya takdir dalam keadaan miskin dan kelaparan.
Apakah alasan-alasan itu benar atau tidak, saya rasa tidak penting. Intinya, jangan sampai kita mengira mereka jahat. Setiap orang merasa dibenarkan dalam apa yang mereka lakukan, karena kalau tidak, mereka tidak akan melakukannya!
Bahkan seorang teroris rela melakukan aksi bom bunuh diri, karena merasa dibenarkan oleh kepercayaannya. Tapi saya bingung, kepercayaan atau agama mana yang menganjurkan penganutnya untuk meledakkan diri bersama bom?
Memang mencuri bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan. Tapi, kita memisahkan tindakan dari orangnya, ingat? Ini bukanlah alasan, ini hanyalah penjelasan. Jadi sebelum memaafkan seseorang, ada baiknya kita memahami mengapa mereka melakukan tindakan itu.
Ketiga, berempati. Sekarang bagian yang paling sulit: kita harus berempati pada orang tersebut.
Empati adalah sebuah keterampilan. Empati berarti Anda mengambil rasa sakit apa pun yang memotivasi orang itu dan membayangkan bahwa Anda sendiri mengalami rasa sakit yang sama.
Anda membayangkan menjadi seorang ayah yang tak mampu membelikan susu untuk anak. Atau membayangkan menjadi sebatang kara dan harus hidup dari sisa-sisa makanan di tong sampah. Atau membayangkan rasa sakit dan frustasi dalam melawan rasa candu.
Sulit untuk dilakukan. Tapi, ini bisa menjadi garis pemisah kita dengan hewan. Inilah yang memberi kita pijakan menuju moralitas. Inilah yang mengisi hidup dengan makna.
Empati adalah gerbang Anda dalam memaafkan seseorang. Jika memaafkan adalah mobil yang akan menghancurkan rasa benci dan amarah dalam diri Anda, maka berempati adalah pembuka gerbang menuju rasa benci dan amarah itu.
Ketika kita tidak lagi melihat tindakan yang salah sebagai keseluruhan karakter mereka dan hanya satu bagian kecil dari karakter mereka, kita telah mencapai tahap memaafkan.
Langkah terakhir dari memaafkan adalah menetapkan batasan. Maksud saya, biarkan kebencian dan amarah sirna. Biarkan bayangan balas dendam dan kemalangan mati. Itu tidak membantu siapa pun, apalagi diri kita sendiri.
Emosi negatif terhadap orang-orang itu akan tetap ada, tapi biarkan saja. Ibarat ada dua serigala yang hidup dalam diri kita. Satu serigala adalah cinta kita. Yang lainnya adalah kebencian kita.
Dan serigala mana pun yang kita beri makan akan tumbuh lebih kuat dan mulai mendominasi yang lain. Mana yang harus diberi makan, silakan Anda pilih. Anda bukan lagi anak TK yang butuh banyak petunjuk.
Setelah itu, kita bisa menetapkan batasan. Kita harus tahu kapan emosi negatif itu muncul kembali.
Saya bisa mengatakannya seperti ini:
"Ya, Bung, tentu saja aku memaafkanmu. Aku mengerti kenapa kamu mencuri uangku diam-diam saat akhir bulan. Tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa meskipun aku memaafkanmu, itu bukan berarti kamu berhak menjadi bagian dari hidupku. Aku senang bisa berteman denganmu, tapi untuk saat ini, aku tidak mau melibatkanmu dalam kegiatan apa pun. Aku ingin kamu menghargainya."
Meledak. Berhasil!
Saya tahu itu cara yang kasar. Jadi barangkali, Anda tidak harus benar-benar mengucapkannya secara lisan. Cukup beritahu orang itu bahwa Anda memaafkannya. Terkait batasan itu, Anda bisa menanamkannya sendiri dalam hati.
Itu berarti, memaafkan tak selalu berarti melupakan. Justru, saya tak pernah berniat untuk melupakan kekeliruan seseorang terhadap saya. Karena kalau melupakan, saya tak bisa mengambil pelajaran apa pun darinya.
Ketika saya bertemu seseorang yang pernah membuat saya jengkel, saya sudah memaafkannya saat itu juga. Tapi, saya coba mengingat apa yang pernah dilakukannya. Karena dengan begitu, saya bisa lebih berhati-hati dan menghindari terulangnya peristiwa yang sama.
Jika seseorang telah mencuri banyak uang Anda, bukan berarti Anda harus meminjamkan mobil Anda kepadanya di hari yang lain. Itulah pentingnya menetapkan batasan. Kita bisa memaafkan seseorang dan tetap menyingkirkannya dari hidup kita.
Ironis, orang itu bahkan tidak perlu tahu Anda telah memaafkannya. Anda bisa memaafkannya demi Anda dan melanjutkan hidup Anda.
Dan bagaimana untuk memaafkan diri sendiri? Artikel saya beberapa waktu lalu akan membantu Anda. Klik di sini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI