Pemisahan tindakan dari orangnya sangat penting untuk mencapai kesimpulan kita pada seseorang. Semua orang melakukan hal-hal buruk. Tapi sangat sedikit di dunia ini yang menjadi orang jahat.
Pada faktanya, setiap orang terus bergerak, berubah, dan berkembang (atau setidaknya memiliki potensi untuk melakukannya). Jadi, fokuslah pada potensi evolusi itu, karena demikianlah inti dari memaafkan.
Kedua, memahami motivasi mereka. Ada aturan universal yang berlaku di sini: Orang yang melakukan hal-hal menyakitkan melakukannya karena mereka sendiri terluka.
Kebanyakan orang yang tampak senang menyakiti kemungkinan besar hanya sedang mengimbangi rasa sakit yang mereka rasakan.
Pernah seorang pria mencuri sekotak susu balita di minimarket karena dia takut tidak akan mampu menafkahi anaknya yang masih balita.
Atau seorang pria yang mencuri ponsel merasa dibenarkan karena dia tumbuh dalam kemiskinan dan sekarang dituntut oleh kebutuhan anaknya yang harus sekolah online.
Atau seorang nenek yang mencuri sebungkus roti merasa dibenarkan karena hidup memberinya takdir dalam keadaan miskin dan kelaparan.
Apakah alasan-alasan itu benar atau tidak, saya rasa tidak penting. Intinya, jangan sampai kita mengira mereka jahat. Setiap orang merasa dibenarkan dalam apa yang mereka lakukan, karena kalau tidak, mereka tidak akan melakukannya!
Bahkan seorang teroris rela melakukan aksi bom bunuh diri, karena merasa dibenarkan oleh kepercayaannya. Tapi saya bingung, kepercayaan atau agama mana yang menganjurkan penganutnya untuk meledakkan diri bersama bom?
Memang mencuri bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan. Tapi, kita memisahkan tindakan dari orangnya, ingat? Ini bukanlah alasan, ini hanyalah penjelasan. Jadi sebelum memaafkan seseorang, ada baiknya kita memahami mengapa mereka melakukan tindakan itu.
Ketiga, berempati. Sekarang bagian yang paling sulit: kita harus berempati pada orang tersebut.