Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Taman Firdaus Manusia

18 Januari 2021   06:49 Diperbarui: 18 Januari 2021   07:09 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita sudah berada di surga | Ilustrasi oleh Noel Bauza via Pixabay

"Mana bisa?" tanya Dhira tak percaya.

"Sudah kubilang, itu mudah bagiku!"

Tanpa basa-basi, Malaikat Arsa menyingkirkan selimut yang dipakai Dhira. Kemudian ia menggendongnya bak seorang kaisar yang menggendong sang ratu. Dhira memejamkan matanya karena takut. Tapi, Dhira tak merasa seberat dirinya; ia merasa seringan kapas saat berada di pangkuan Malaikat Arsa.

Dengan tenangnya Malaikat Arsa keluar melompat dari jendela dan tiba-tiba saja mereka sudah tiba di taman kecil rumah Dhira. Malaikat Arsa seperti punya jetpack alami. Perlahan Malaikat Arsa melepaskan Dhira untuk membiarkannya duduk di kursi kayu; persis di samping lampu taman.

"Kamu bisa membuka matamu!" seru Malaikat Arsa.

"Ajaib! Aku tak tahu bagaimana caramu melakukannya," kagum Dhira.

"Itu mudah bagiku."

"Jadi tadi kita terbang bersama?"

Malaikat Arsa sedikit mengangguk. "Hanya bedanya, aku tak merasakan apa-apa."

"Betapa kuasanya Tuhan!"

"Ya, segalanya pasti sangat mudah bagi-Nya."

"Kau tak mau duduk bersamaku? Pasti sangat pegal kalau terus berdiri!"

"Sudah kubilang, aku berbeda dengan manusia."

Dhira mendekap mulutnya dengan tangan. "Aku belum terbiasa. Semua terasa sangat aneh. Seperti dunia mimpi!"

Malaikat Arsa diam tak menanggapi. Keheningan mencekam di antara mereka dengan pandangan yang sama-sama menuju langit malam. Malaikat Arsa duduk dan masih memantapkan pandangannya ke langit.

"Bintang-bintang itu tampak pucat sekarang ini. Kira-kira, berapa, ya, jumlah mereka?" tanya Dhira yang sekaligus memecah keheningan.

Malaikat Arsa hanya mengangkat bahunya. "Terkadang, kau hanya harus menikmatinya tanpa memahaminya."

"Ah, syahdu betul kalimat itu. Dan bagaimana dengan rembulan? Sama indahnya, 'kan?"

"Ia hanyalah cermin yang meminjam cahaya matahari."

Dhira mengangguk dengan serius.

Malaikat Arsa melanjutkan, "Matahari juga tak menghasilkan sendiri cahayanya."

Spontan Dhira memandang sinis Malaikat Arsa. Selama ia belajar di sekolah, buku-buku sains selalu mengatakan bahwa matahari menghasilkan sendiri cahayanya. Jangan-jangan sains keliru? Atau Malaikat Arsa yang ngaco? Bukankah malaikat tak pernah berbohong?

"Kamu bercanda?"

"Kamu pikir dari mana asal cahaya matahari? Ia hanyalah cermin yang meminjam cahaya Tuhan."

"Sungguh?"

"Aku tak berada di sini untuk membohongimu, manusia."

"Namaku Fadhira Nasyiwa. Panggil saja Dhira."

"Nama yang indah."

"Ya, kukira kamu benar. Hanya saja tak pernah terpikirkan olehku bahwa matahari meminjam cahaya Tuhan, sama seperti rembulan yang meminjam cahaya matahari."

Beberapa detik tak ada yang bersuara. Akhirnya Malaikat Arsa berkata, "Kau juga meminjam cahaya Tuhan, Dhira. Kau juga adalah cermin Tuhan. Karena, apa jadinya kau tanpa matahari, dan apa jadinya matahari tanpa Tuhan?"

Dhira tersenyum lebar. "Berarti aku ini adalah sebuah rembulan mungil."

"Dan sekarang kau menyinariku."

"Ah, itu aneh, tapi sangat indah untuk sebuah pujian." Dhira sedikit gemetar sekarang ini. Bukan karena dingin, tapi karena semua ini terasa sebuah mimpi.

"Apakah kamu juga sering ke bulan?" lanjutnya.

"Tentu, beberapa dari kami sering duduk di bebatuan bulan. Biasanya aku berdiam diri cukup lama di sana."

"Kenapa?"

"Merenungkan alam raya."

"Sedikit banyak, kita ini mirip."

"Tahukah kau, saat manusia pertama kali mendarat di bulan, hal itu sempat jadi lelucon bagi kami."

"Oh, ya?"

Malaikat Arsa mengangguk. "Saat itu, banyak dari kami yang sedang bersenang-senang di bulan. Saat melihat benda aneh mendekat, kami memerhatikan. Beberapa saat kemudian, keluarlah seorang manusia dengan pakaian yang aneh. Kelihatannya manusia begitu bangga atas pencapaian itu."

"Tentu saja, karena belum pernah ada manusia yang menginjakkan kaki di bulan sebelumnya."

"Ironis, mereka mengira sedang sendirian saat di bulan. Mereka kira mereka adalah makhluk pertama yang mengunjungi bulan."

"Curang, ternyata manusia telah dimata-matai oleh kalian! Dan kenapa mereka tak melihatmu?"

"Aku bisa menjadi terlihat dan bisa juga tidak. Kamu cukup beruntung bisa melihat dan mengobrol denganku, karena biasanya, aku amat tak suka menampakkan diri."

"Semoga ini bukan yang terakhir," harap Dhira.

"Oh iya, aku mendengar manusia itu mengatakan sesuatu saat keluar dari benda aneh itu."

"Benda yang kamu maksud itu disebut roket. Dan manusia yang kamu maksud bernama Neil Armstrong. Ya, dia mengatakan sesuatu, 'Satu langkah kecil seorang manusia, sebuah lompatan besar bagi seluruh umat manusia.'"

"Ya, aku tahu. Hanya saja, aku lebih suka menyebutnya benda aneh dan manusia. Maaf menyinggung, tapi itu jadi bahan lelucon kami saat itu."

"Sekarang aku terbesit hal lain."

"Katakanlah!"

"Kebanyakan orang menganggap bahwa surga ada di atas langit. Apakah kamu pernah berkunjung ke surga?"

"Konyol, ah."

"Kenapa konyol?"

"Kita sedang berada di salah satu surga-Nya, Dhira."

"Bumi? Inikah surga?"

Arsa mengangguk. "Menurutmu, kita berada di mana? Bumi hanyalah satu noktah kecil di alam semesta yang maha luas."

"Aku tak pernah berpikir seperti itu."

"Inilah Taman Firdaus manusia, Dhira. Jadi, berhenti meributkan tentang di mana letak surga! Sangat tak sopan untuk bertengkar di hadapan Tuhan."

"Tapi, di sini amat-banyak penderitaan. Aku yakin di surga tidak ada penderitaan!"

"Itu hanya paradigma dalam dirimu. Penderitaan hanyalah ujian. Inilah Bumi Surgawi, Dhira."

Dhira mengubah posisi duduknya perlahan. Ia berkata, "Sungguh syahdu membicarakan alam raya bersamamu. Tapi, apakah kamu pernah melihat Tuhan?" spontan ia mendekapkan tangannya ke mulut.

"Menurutmu bagaimana? Aku 'kan sudah bilang, soal itu, sedikit banyak, kami mirip dengan manusia."

"Ah, aku paham."

"Seandainya Tuhan menampakkan dirinya ke seluruh makhluk-Nya, hidup sama sekali tak menarik!" seru Malaikat Arsa.

Dhira terdiam beberapa saat hingga ia berkata, "Tak seorang pun ahli bedah otak pernah menemukan wujud pikiran di dalam otak. Dan tak seorang pun psikolog pernah melihat mimpi orang lain. Itu tak berarti pikiran dan mimpi tak benar-benar ada di dalam kepala manusia."

"Hebat!" sambut Arsa dengan iringan tepuk tangan. Dhira merasa puas dengan dirinya sendiri.

"Semua memang sudah sangat terencana, Dhira," lanjut Malaikat Arsa, "Jika bumi lebih dekat sedikit saja ke matahari, manusia tak akan kuat menahan panasnya. Dan jika bumi lebih jauh sedikit saja dari matahari, kemungkinan manusia akan segera menjadi patung es. Segalanya benar-benar sesuai porsi."

"Kau pasti yang paling bijaksana di antara sesamamu."

"Itu berlebihan."

Malaikat Arsa mengambil batu halus yang seukuran dengan separuh kepalan tangannya. "Batu kecil ini adalah sepotong bumi. Segala sesuatu yang besar selalu tersusun dari segala sesuatu yang kecil. Dan bumi ini, adalah sepotong surga. Kita sedang berada di bagian kecil dari surga-Nya, Dhira."

Dhira mengangguk. "Aku adalah penghuni bumi. Aku adalah bagian kecil dari bumi."

"Dan kau juga merupakan bagian kecil dari surga, karena bumi adalah bagian kecil dari surga."

"Merdu betul perkataanmu. Tapi, kau sudah mengatakannya; kita sudah berada di Taman Firdaus manusia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun