Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Manusia Penghancur Mimpi

16 Januari 2021   07:54 Diperbarui: 16 Januari 2021   07:56 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama masa awal remaja, saya sering membayangkan bagaimana jadinya kalau setiap orang mengenali saya. Sehari dua kali, saya mulai memejamkan mata, membayangkan orang-orang yang berkerumun tiba-tiba terbelah dua membiarkan saya berjalan di antara kerumunan; persis seperti Nabi Musa yang berjalan di antara dua dinding lautan yang terbelah.

Fantasi itu bisa menenggelamkan saya selama seperempat jam. Walaupun bayangan itu terus bercokol dalam angan-angan, saya tak pernah mewujudkannya. Dan saya bersyukur atas hal itu!

Pikiran kita selalu yakin bahwa mewujudkan mimpi kita akan mendatangkan kebahagiaan. Menjadi orang yang terkenal akan sangat menyenangkan, kiranya. Bahkan uang-uang itu lebih mudah datang saat kita punya popularitas.

Berbagai cara dilakukan orang-orang untuk mewujudkan mimpinya. Beberapa di antara mereka seperti sebatang korek api dalam gua; menyala terang dan lenyap dalam sekejap. Dan beberapa yang lain seperti obor api keabadian; tiada padamnya.

Kita semua dipukul habis-habisan oleh narasi di luar bahwa kita harus berjuang mewujudkan impian kita. Kalau tidak, kita adalah sejenis pengecut; semacam makhluk kegagalan. Setidaknya begitu, meskipun beberapa tak merasa.

Sebagian bekerja keras untuk kenaikan pangkat, kemudian terkenal di lingkungan kantor dan tetangga. Sebagian berusaha mati-matian "mengubah" paras, karena ada pepatah asing mengatakan, "Jika Anda tampan atau cantik, Anda bisa mendapatkan segalanya." Sinting!

Mimpi yang terwujud memang menjadi sesuatu yang banyak diidamkan orang-orang. Manusia sebagai makhluk serakah sosial memang membutuhkan pengakuan dari orang lain.

Barangkali itu berupa karier idaman, menjuarai sebuah lomba menulis, meraih penghargaan Nobel, atau menemukan pasangan romantis di belahan bumi lain. Kita diberitahu bahwa kita berhutang pada diri sendiri untuk pergi keluar dan mewujudkan mimpi kita.

Saya terlelap dalam kepercayaan itu selama masa awal remaja. Saat itu saya berfantasi menjadi seorang pemain sepak bola. Saya bisa memejamkan mata, membayangkan saya berada di atas lapangan stadion yang megah, menari-nari menggiring bola di tengah kerumunan penonton, dan orang-orang pun pasti akan lupa diri saat melihat permainan kaki saya yang memukau.

Fantasi itu bisa menghanyutkan saya cukup lama. Kenyataannya, saya tak pernah menggapainya.

Narasi di luar memborbardir saya dengan aneka petuah, bahwa saya cepat menyerah, seorang pecundang, hanya kurang ini-itu, bahwa saya adalah sejenis kegagalan kalau berhenti sampai di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun