Pandemi telah cukup sempurna untuk menyerang kelemahan psikologis terbesar umat manusia, yaitu ketakutan akan ketidaktahuan dan ketidakpastian.
Pandemi menjadi momen langka di mana kehidupan banyak orang dihancurkan dan kita semua dipaksa duduk dalam ketidakpastian. Kita bertanya-tanya, seberapa mematikannya virus itu? Kita tidak tahu dengan pasti. Berapa lama ini akan bertahan? Tidak ada yang menjamin. Apakah tindakan pencegahan besar-besaran itu efektif? Mungkin. Apakah vaksin itu aman? Mengangkat bahu.
Sungguh ironis bahwa kita cenderung (terpaksa) untuk yakin pada paradigma yang ada saat kita tidak tahu apa yang sungguh benar. Hal itu semata-mata untuk melindungi diri dari ketakutan yang mengancam akan hal-hal yang tidak diketahui.
Dan itulah yang membuat kita mendapat masalah.
Ketika pandemi melanda, ketidakpastian itu membuat kekacauan di mana-mana dan orang-orang ketakutan (dengan masuk akal).
Butuh waktu singkat bagi banyak orang untuk yakin bahwa mereka tahu apa yang sedang terjadi. Karena mereka tidak betah duduk dalam ketidakpastian.
Sebagian menganggap sebagai wabah flu mematikan. Sebagian yang lain percaya bahwa ini hanya skenario dari para elite global. Teori konspirasi berkembang biak begitu cepat dan terus menjadi semakin konyol belakangan ini.
Kebenarannya adalah, kita tidak sungguh tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Setiap kali kita mengambil tindakan dengan hasil yang tak pasti, kita mengambil risiko. Ya, selalu ada risiko dalam hidup karena di sini selalu ada ketidakpastian.
Apa yang membuat kita tetap waras saat mengambil keputusan adalah kemampuan kita dalam mempertimbangkan manfaat dan pengorbanan dari setiap risiko. Dan jika ketidakpastian terasa bisa dikendalikan, kita merasa baik-baik saja.
Ketika kemampuan itu tidak kita miliki, kita akan kehilangan banyak waktu tidur. Pikiran kita akan kacau bak roller coaster yang meliuk-liuk.
Dalam situasi yang sangat tidak pasti, naluri kebinatangan kita muncul dan menganggap sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan ini cukup baik. Jika ada begitu banyak ketidakpastian sampai kita tidak tahu apa yang harus dilakukan, kita sebaiknya menggunakan skenario terburuk untuk bersiaga melindungi diri.
Inilah mengapa ketidakpastian menghasilkan kecemasan.
Pada dasarnya, pikiran bawah sadar kita, ketika dihadapkan pada sesuatu yang kita tidak tahu apakah itu ancaman atau bukan, terus berasumsi bahwa itu adalah ancaman. Pikiran kita memutuskan, "Lebih baik mengenal iblis daripada tidak mengenalinya."
Ketika ada ketidakpastian tentang apa yang terjadi, kita melihatnya sebagai ancaman. Ketika kita tidak yakin tentang apa yang akan terjadi di masa depan, kita melihat itu sebagai ancaman. Dan ketika kita tidak yakin dengan flu yang kita alami, kita menganggapnya positif virus menular.
Inilah mengapa sangat penting untuk belajar menoleransi ketidakpastian. Karena jika tidak, itu dapat memengaruhi kesehatan mental kita. Penyakit-penyakit jiwa sering datang saat kita tidak mampu menoleransi ketidakpastian; sebuah ketakutan yang lebih besar terhadap ketidaktahuan.
Dan ketika ketakutan akan ketidakpastian ini menular ke semua orang, mereka pun akan tunduk pada apa yang dikatakan oleh otoritas dan tidak berani menentangnya.
Pemandangan ini sudah sangat biasa terjadi sebelum pesta demokrasi. Banyak orang lebih suka tunduk pada mereka yang memberi banyak janji-janji karena itu melindungi mereka dari ketidakpastian di masa depan, bahkan jika realitas kepastian itu agak mengerikan.
Itulah "iblis" yang kita kenal. Dan "iblis" itu ada di sekitar kita.
Hanya ada sedikit kepastian dalam hidup. Atau mungkin tidak ada. Karenanya kita menghabiskan begitu banyak waktu dan tenaga untuk membangun ekspektasi di masa depan. Kita membuat jadwal, janji, program, membentuk kebiasaan dan rutinitas, menetapkan pedoman dan tujuan; semua dalam upaya tanpa henti kita untuk melawan ketidakpastian dalam hidup.
Kebanyakan orang tidak bisa duduk dalam ketidakpastian. Maka mereka mengatasi rasa takut itu dengan membayangkan kepastian. Kegelisahan dari semua ini terlalu berat untuk ditanggung, jadi mereka dengan senang hati menukarnya dengan ilusi kepastian; tak peduli seberapa bodohnya hal itu.
Namun, itu tidak mengubah fakta. Hanya karena kita merasa yakin tentang sesuatu, bukan berarti itu benar.
Dahulu, manusia percaya bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi. Kemudian seorang astronom Yunani, Aristarkhus dari Samos mengemukakan teorinya, bahwa bumilah yang mengitari matahari. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Copernicus dan dikuatkan oleh Galileo dengan penemuan teleskopnya.
Sekarang sains modern juga memantapkan hal itu. Dan apakah itu kebenaran mutlak? Banyak ketidakpastian dalam hidup.
Sederhananya, kita harus mencapai titik manis. Kita harus mengakui bahwa ada banyak ketidakpastian dalam hidup, karena itulah yang membuat kita tetap terbuka untuk berubah, memungkinkan kita untuk belajar, dan membantu kita beradaptasi dengan tantangan.
Dan lagi-lagi terjadi sebuah paradoks di sini: Semakin kita mengabaikan kecemasan dan ketidaknyamanan saat menghadapi ketidakpastian hanya membuat kecemasan itu semakin buruk.
Buatlah diri Anda lebih tangguh dengan ketidakpastian; dengan duduk santai dalam ketidakpastian.
Ketidakpastian terlihat lebih mudah saat kita mengambil keputusan pada sesuatu yang ada dalam kendali kita. Dan ini bisa sedikit membantu; setidaknya membuat kita merasa lebih baik.
Dalam menghadapi berbagai ketidakpastian, pasti akan ada banyak trial and error. Dan itu tidak apa-apa. Hidup adalah tentang tidak mengetahui, kemudian melakukan sesuatu.
Kita hidup di masa yang aneh. Kita memiliki lebih banyak dan mudah mendapatkan informasi ketimbang masa sebelumnya. Tetapi, banyaknya informasi tersebut sering membingungkan dan menciptakan lebih banyak ketidakpastian.
Kita akan berpikir bahwa sekarang ada banyak akses untuk membuat kita lebih yakin. Namun masalahnya, dari semua yang kita bisa akses, mungkin lebih dari separuhnya mengatakan kebohongan.
Inilah mengapa lebih penting daripada sebelumnya untuk menjadi ahli dalam menoleransi rasa takut pada ketidakpastian dan ketidaktahuan.
Andaikan hidup sederhana seperti saat anak-anak bermain ke taman, tentu ini akan jauh lebih menyenangkan. Mereka tidak bertanya, "Apa yang akan aku lakukan di sana? Dan apa manfaatnya untukku?"
Tidak, mereka pergi begitu saja dan mulai bersenang-senang dengan apa yang ada. Mereka tertawa bukan main.
Satu-satunya kepastian yang saya tahu adalah kematian. Kita akan pulang ke tempat yang sesungguhnya. Dan itu berarti, kita hidup untuk mati. Secara kasarnya memang demikian.
Ketakutan akan kematian berarti takut untuk hidup. Mereka yang hidup secara paripurna siap mati kapan saja. -- Mark Twain
Karenanya hidup itu seperti kita berkunjung ke toko oleh-oleh yang penuh arena permainan. Kita hanya harus mendapatkan sesuatu untuk dibawa pulang. Namun kebanyakan orang malah terpana untuk bermain-main di sana. Mereka pulang dengan melupakan sesuatu yang harus dibawa pulang.
Hidup adalah ujian. Hidup hanyalah ujian. Seandainya hidup ini nyata, tentu kita sudah tahu ke mana kita harus pergi dan apa yang harus dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H