Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Mimpi Surgawi

8 Januari 2021   07:54 Diperbarui: 8 Januari 2021   07:55 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Shira Aksara terbangun tiba-tiba dengan suara jam weker yang bising. Tepat pukul 4 subuh. Sejenak ia duduk di atas ranjang, memandang kosong jendela yang tertutup, perasaannya cukup kacau. Mimpinya tadi begitu indah, pikir Shira. Namun sayang, ia harus terbangun karena suara jam weker yang menjengkelkan. Ini untuk pertama kalinya Shira benar-benar mengingat setiap detail dari mimpinya. Biasanya, tak peduli mimpi indah atau buruk, Shira segera lupa dengan mimpinya sendiri.

Perlahan Shira bangkit dari duduknya, sesekali mengusap mata dan menguap. Ia melihat sekeliling kamar, tampak seperti kapal pecah. Baju-baju berserakan di lantai, buku-buku terbuka di meja belajar, potongan-potongan balok lego tak kalah berserakan. 

Shira sangat suka bermain lego, merangkainya menjadi sesuatu yang baru, bereksperimen layaknya seorang ilmuwan. Dan ia sering membiarkan potongan-potongan itu berceceran di lantai. Entah karena malas atau lupa, itu sering terjadi.

Shira menghampiri kalender yang tergantung tepat di sebelah kiri jendela. Tertanggal 15 April 2005. Segera ia menyobeknya dan tanggal itu berubah menjadi 16 April. Gema azan mulai terdengar. Shira berjalan menuju kamar mandi, mengambil wudu untuk salat subuh. Selesai salat, ia tetap duduk manis di sajadahnya, memikirkan mimpi tadi, coba meramalkan apa arti mimpi itu. 

Masyarakat Yunani dan Mesir kuno percaya bahwa mimpi merupakan media komunikasi supranatural dari intervensi Ilahi, yang pesannya dapat ditafsirkan oleh orang-orang dengan kemampuan spiritual terkait. Mungkinkah Shira bisa menafsirkan mimpinya sendiri?

Setelah lama merenung, ia bangkit dari sajadahnya dan kemudian melipatnya untuk disimpan di lemari khusus. Segera ia duduk di kursi belajarnya. Shira membuka laci di meja belajarnya dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil berjilid kain biru muda yang khusus untuk mencatat curahan hatinya. Ia juga mengeluarkan sebuah pena dan mulai menulis di lembar ke-21 buku catatannya.

Aneh, pikirku. Pertama kalinya aku bisa mengingat sebuah mimpi dengan rinci. Dan itu benar-benar mimpi indah! Sungguh menyedihkan, bahwa aku harus terbangun darinya hanya karena jam weker yang bising. Aku ingin mimpi itu sekali lagi! Atau setidaknya, biarkan aku hidup dalam mimpi. Dengannya aku bisa menjadi "dalang" dari kehidupanku sendiri.

Shira menutup buku catatannya. Lalu menyimpannya kembali ke dalam laci. Ia membatu sejenak dengan pikirannya yang kacau.

"Rasanya sangat tak rela untuk meninggalkan mimpi itu," desah Shira dengan putus asa. Ia melamun beberapa saat hingga tak sadar tertidur dengan kepala jatuh ke meja belajarnya. Barangkali Shira berharap bisa melanjutkan mimpinya tadi. Andaikan itu mudah!

Terdengar suara halus langkah kaki dari tangga menuju kamar. Itu Ares, kucing kesayangan Shira. Dia berlari dengan gesit menghampiri Shira, kebetulan pintu kamar sedang terbuka.

"Eh, Ares. Aku kira kamu iblis yang ingin merenggut keindahan mimpiku," ujar Shira setengah sadar. Ia melanjutkan, "Aku bermimpi indah sekali! Apakah kamu pun bermimpi, Ares?"

Shira tertawa sendiri, sadar akan kekonyolannya mengajak seekor kucing mengobrol.

"Tentu, aku bermimpi juga, Shira."

Mata Shira membesar seketika saat suara itu terdengar ke telinganya. Ares benar-benar berbicara! Bagaimana mungkin itu bisa?

"Ka-ka-kamu sungguh berbicara?"

"Kedengarannya bagaimana?" tanya Ares dengan suara halus dan lembut sembari duduk layaknya seekor kucing.

"Ya, kamu benar-benar berbicara. Ajaib!" Shira terkagum-kagum.

"Jadi, kamu masih ingat dengan mimpimu tadi?"

"Sangat rinci, bahkan!"

"Menakjubkan! Aku terkejut bahwa kamu masih mengingat mimpi itu. Pasti sebuah mimpi yang indah!"

"Ya," jawab singkat Shira dengan anggukan; pandangannya menatap kosong pada jendela yang mulai tertusuk samar-samar oleh sinar mentari. Keheningan berlangsung beberapa menit hingga Shira memecahkannya.

"Apakah kamu percaya bahwa sebuah mimpi bisa ditafsirkan?"

"Aku kira kamu sudah mempelajarinya, Shira."

"Aku baru saja membaca sebuah buku filsafat. Konon, seorang pria bermimpi dirinya adalah seekor kupu-kupu. Dan dia tidak bisa lagi membedakan mana yang benar, apakah dia seorang pria yang bermimpi menjadi seekor kupu-kupu atau apakah dia seekor kupu-kupu yang bermimpi menjadi seorang pria. Sungguh malang nasibnya!"

"Ya, kebanyakan orang memang 'tertidur' sepanjang hidupnya. Dan mereka 'terbangun' saat kematian tiba. Kamu mengerti maksudku?"

"Tentu," respon Shira dengan singkat; cukup terkejut bahwa kucingnya adalah seekor kucing yang bijak.

"Kenapa hidup ini tidak seperti dunia mimpi saja? Sangat menyenangkan jika kita menjadi 'dalang' dari kehidupan kita sendiri," lanjut Shira.

"Kamu masih ingat saat kamu bermain game bersama Ayah?"

Shira mengangguk. "Kamu pun ada di sana bersama kami."

"Kamu sangat bersenang-senang saat itu. Kenapa kamu begitu menikmatinya?"

"Karena aku sangat penasaran dengan akhir cerita dari game itu."

"Ya, saat kamu tak mengetahui jalan cerita dari game itu, kamu menjadi semakin tertarik untuk memainkannya, 'kan?"

Shira mengangguk untuk kedua kalinya. "Kamu sudah seperti peramal saja."

"Jadi sekarang kamu mengerti tentang maksudku?"

Shira terdiam sejenak memandang mata Ares dengan tajam. Shira berpikir.

"Ah, aku mengerti, kiranya," ujar Shira dengan senyuman.

"Hidup adalah tentang tidak mengetahui, kemudian melakukan sesuatu. Ayahmu yang mengatakan itu. Aku masih mengingatnya."

"Dan Tuhan selalu tahu apa yang terbaik, ya? Tampaknya menjadi seorang 'dalang' untuk kehidupan diri sendiri bukan ide yang bagus dan menyenangkan."

"Kamu begitu cepat belajar, Shira."

"Apakah kamu pernah terpikir, bagaimana jadinya kalau Nabi Adam dan Siti Hawa tidak memakan buah itu?" tanya Shira memandang Ares seperti seekor filsuf.

"Ya, tetapi Tuhan pasti sudah merencanakan itu."

"Maksudmu?"

"Seorang sutradara selalu memiliki naskah skenarionya."

"Naskah skenario ..." ulang Shira, berusaha meresapi kata-kata itu. Ares tersenyum memandang Shira, berharap majikannya itu bisa memikirkannya lebih jauh. Sangat jarang seorang "budak" menasihati majikannya.

"Kalau begitu, apakah ada kehendak bebas?" Shira melanjutkan, "Apakah kita seperti wayang yang dimainkan oleh seorang dalang?"

"Tuhan bukan seorang dalang."

Shira menatap Ares penuh kebingungan. Rasanya cukup berat untuk dipikirkan oleh seorang gadis yang baru tumbuh remaja.

"Seiring waktu, kamu akan mempelajarinya, Shira," tutup Ares. Ia menjilati bulu-bulunya yang lembut, perlahan mulai membaringkan diri di meja belajar. Shira masih membatu tanpa kata.

Shira merasakan sentuhan yang kasar pada pinggangnya. Itu cukup membuatnya merasa geli.

"Kak, bangun! Umma akan marah kalau Kakak masih tidur di Minggu pagi," ungkap si kecil Darsa, adik satu-satunya Shira.

"Ah, iya. Kakak barusan sedang tidur?" tanya Shira setengah sadar dengan mata separuh terbuka; Darsa terlihat samar-samar. Ia mengenal itu Darsa karena suaranya yang khas seorang anak. Tak ada anak kecil di rumah selain Darsa.

"Kakak kira bagaimana?"

"Ya, Kakak baru saja terbangun."

"Kakak berkata seperti seseorang dari planet asing."

"Sudah kuduga, tidak mungkin seekor kucing bisa berbicara."

Darsa memandang bingung Kakaknya itu. Ia berjalan menuju jendela satu-satunya di kamar Shira, membuka tirai dan membiarkan sinar mentari masuk untuk sedikit menyadarkan Kakaknya bahwa ini hari yang cerah. Sangat rugi jika dihabiskan untuk terus tidur.

Ya, sebuah pagi yang terang, memang. Burung-burung begitu bahagia berkicau sana-sini di langit kota Alodie.

Mimpi tadi adalah mimpi surgawi, pikir Shira. Mungkin di surga, hewan-hewan bisa diajak berdiskusi tentang kehidupan yang merupakan teka-teki akbar. Dan jika sesuatu adalah teka-teki, kita tentu boleh sedikit menebak-nebak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun