Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sepercik Cahaya Kembang Api

31 Desember 2020   09:17 Diperbarui: 31 Desember 2020   09:26 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah tamparan membawaku pada kenyataan, bahwa tahun 2020 akan segera berakhir. Sungguh sedih, bahwa aku begitu menikmati tahun 2020 yang penuh masalah ini. Tetapi memang seperti inilah kehidupan; sebuah "siklus keabadian". Sesuatu selalu datang dan lenyap.

Pikiranku sedikit kosong sekarang ini. Dan kekosongan itu diisi oleh layar lebar bak bioskop yang menayangkan momen-momen di tahun 2020; tahun yang penuh masalah, juga penuh pencapaian. Bahkan beberapa di antaranya hanya berupa pencapaian receh. Aku menghargainya!

Tahun 2020 menjadi tahun pertamaku fokus menulis. Aku masih ingat tulisan pertamaku di tahun 2020; sangat konyol. Aku menertawakan karyaku sendiri, karena aku menertawakan segalanya dalam hidup. Hidup adalah absurditas yang banyak mengundang tawa. Sangat disayangkan jika kita mengabaikannya.

Namun tak pernah terlintas dalam pikiranku, bahwa tahun yang penuh masalah ini membuatku merasa ... sulit untuk digambarkan dalam satu kata. Sesungguhnya semua ini terlalu absurd untuk dikatakan. Sebongkah mutiara tak mudah digambarkan dalam kata-kata.

Di awal tahun 2020, aku mendirikan blog pribadiku yang memuat tulisan-tulisan konyol curhat dengan sedikit polesan inspirasi untuk pembaca. Aku tak begitu paham dengan SEO atau programming web saat itu. Dan karenanya tulisan di blogku hanya banyak dibaca oleh teman-temanku sendiri. Aku cukup gerah. Blog itu mulai berkembang setelah aku belajar SEO.

Di pertengahan tahun 2020, aku berjumpa dengan sesuatu yang unik: Kompasiana. Setelah sering membaca artikel-artikel di Kompasiana, aku coba menulis artikel pertamaku di sini. Selang beberapa hari, aku menulis artikel kedua. Aku merasa nyaman. Dan aku masih ingat artikel pertamaku yang masuk headline. Rasanya menjadi semakin candu untuk menulis di sini.

Seorang guruku menghubungi lewat WhatsApp, bahwa beliau meminta izin untuk menjadikan artikelku yang masuk headline itu dijadikan bahan analisis peserta didik baru. Karena artikel itu tentang peluang emas pelajar di balik libur pandemi, katanya sangat cocok untuk dijadikan pembelajaran bagi mereka. Sedikit banyak, aku merasa malu. Dengan gugupnya, aku hanya mengatakan, "Ibu bisa menggunakannya tanpa izin saya sepanjang waktu. Itu hanya kumpulan kata-kata bagi saya."

Aku masih menulis di Kompasiana, termasuk tulisan ini. Aku tak ingin berhenti menulis di sini, tapi aku tahu, suatu hari, aku akan berhenti. Dan itu tidak masalah. Tulisan adalah simbol keabadian. Sekali pun aku tak lagi di sini, tulisanku masih ada di sini. Separuh jiwaku tetap tinggal di sini.

Empat bulan menjelang akhir tahun, aku mulai aktif mencari lomba menulis. Bukan karena ingin menang, tapi aku butuh uang. Lucu sekali! Seperti sebuah paradoks, aku rasa. Dan hasilnya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhanku.

Dari mulai Juara 2 dan 3 (Juara Ganda) Lomba Esai Matematika se-Indonesia, Juara 1 Pekan Esai Nasional se-Indonesia, sampai yang terakhir, Juara Favorit Blog Competition Menulis Tentang Ibu di Kompasiana bersama Mendikbud. Itu hanya sebagian kecil; tak terlalu receh, bukan?

Dan yang paling membuatku terheran-heran sendiri, hanya dalam rentang 1 tahun, aku menulis 3 buku dan sudah terbit. Sebenarnya baru dua buku, satu buku lagi sedang antre untuk terbit. Dua buku pertamaku bergenre sama, Pengembangan Diri. Dan buku ketiga, adalah sebuah buku novel pengembangan diri.

Narasi di luar mengatakan bahwa aku hebat, di usia 17 tahun sudah menerbitkan 3 2 buku. Aku tertawa! Ini bukan tawa kejahatan atau keangkuhan, ini adalah tawa saat mengira diri ini hebat, padahal kebenarannya jauh dari itu.

Aku pikir ini mengundang kebahagiaan. Ketenaran di lingkungan temanku, tabungan yang lebih besar dibanding mereka, mendapat kritik sosial; ternyata secara paradoksal, aku adalah orang yang paling sengsara di antara mereka. Atau barangkali, aku lebih sengsara daripada orang-orang yang hidup di kolong jembatan.

Realitas tidak sesuai dengan fantasiku. Ada tekanan dan rasa sakit yang tak pernah aku bayangkan. Pikiran selalu diiming-imingi kejahatan. Karakter orang-orang di sekitar telah berubah. Hati bersikukuh ingin diperlakukan spesial. Aku merasa telah mencapai apa yang aku inginkan di usia 17 tahun ini. Dan kelebihan itu menghancurkanku!

Memang, itu semua hanya bagian dari hidup. Tentu, ini sering kali merupakan masalah yang lebih baik untuk dimiliki. Tetapi terkadang, ini bisa lebih buruk!

Aku ingin setiap orang mencapai kekayaan dan ketenaran, hingga mereka tersadar, bahwa itu bukan jawabannya.

Pencapaian recehku di tahun 2020, barangkali ini menjadi tahun pertamaku dengan 80 persen waktuku hanya dihabiskan di rumah. Dan 50 persen di antaranya hanya memanaskan satu kursi dengan bokongku. Karena setiap membaca buku atau menulis, aku duduk di kursi yang sama. Sungguh aneh, bahwa ini menjadi sesuatu yang receh dan juga berharga. Siapa yang menyangka, bahwa duduk di kursi yang sama seharian telah membawaku pada pencerahan yang amat-sangat berharga.

Dan yang paling kusyukuri di tahun 2020, adalah keberhasilanku untuk berkenalan dengan filsafat. Awalnya aku cukup heran, mengapa ilmu seperti ini tidak dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Tetapi sedikit banyak aku memahami alasan itu.

Hanya beberapa bulan belajar filsafat, masa-masa 12 tahun belajar di pendidikan formal rasanya menjadi sesuatu yang sepele. Sungguh.

Filsafat membuka pikiranku tentang sesuatu yang selama ini aku hindari untuk dipikirkan. Rasanya aku baru saja dibawa keluar dari gua yang gelap, kemudian menatap kehidupan sesungguhnya yang beraneka ragam. Hidup memiliki jawaban yang tak terbatas.

Dan sesungguhnya, filsafat yang membuatku konsisten menulis; termasuk menulis 3 buku itu dan filsafat banyak menginspirasiku.

Aku kira pandemi akan menjadi sesuatu yang menjengkelkan. Tidak, ini seperti sebongkah mutiara yang jika tidak diambil cepat-cepat, kita kehilangannya. Di balik kekelaman tahun 2020, justru secara paradoksal, banyak menciptakan peluang-peluang baru yang tak ada di hari-hari biasa.

Hanya sebagian kecil orang yang menyadari ini; sungguh ironis.

Teruntuk 2021

di planet yang sama

Malam ini tak akan sesunyi malam-malam sebelumnya. Hujan badai sekali pun, penduduk bumi tetap menunggu saat yang tepat untuk menyalakan kembang apinya. Dan di sepercik cahaya kembang api itu, tersimpan banyak harapan.

Aku benci pengharapan. Ia memberiku angin segar, juga beribu-ribu kekecewaan. Semakin banyak berharap, semakin banyak kekecewaan. Semuanya ambyar. Dan harapan adalah penyebab sekaligus akibat dari keambyaran tersebut.

Tetapi aku tetap berani berharap. Bagaimana pun, harapan adalah oasis di tengah Padang Sahara. Aku ingin berharap dengan cerdas.

Meskipun tahun 2020 menjadi tahun yang kelam penuh masalah, bukan berarti aku berharap tahun 2021 menjadi tahun tanpa masalah. Itu sungguh konyol! Aku tidak mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Aku hanya ingin hidup dengan baik.

Tahun 2021, aku berharap akan datangnya peluang dan "penindasan" yang tak terbatas di setiap saat. Itu membuatku merasa sangat hidup! Aku berharap akan datangnya penderitaan beserta kebebasan. Aku berharap penderitaan yang datang dari kebahagiaan. Atau, kebijaksanaan yang datang dari ketidakmengertian. Atau, kekuatan yang datang dari kepasrahan.

Aku tidak berharap tahun 2021 menjadi tahun tanpa masalah. Aku hanya mengharapkan masalah yang lebih baik; masalah yang lebih indah untuk ditanggapi.

Aku berharap apa-apa yang ada sebagaimana adanya. Apa yang terjadi, terjadilah! Bagian kita adalah menerima suratan takdir. Ini bukan bentuk dari fatalisme atau pun nihilisme. Ini bentuk kepahlawanan, untuk berani menghadapi apa pun yang jelas-jelas ada.

Hidup adalah rentetan dari masalah. Benar-benar indah, bahwa setiap masalah memperlihatkan pada kita mana manusia yang hidup dan mati. Tuhan tak sedang bermain dadu.

Mungkin, mungkin saja tahun 2021 menjadi tahun terakhirku di sini; di kehidupan ini. Kelak, kita dan semua orang yang kita cintai akan mati. Dan dalam sekelompok kecil orang, dalam waktu yang singkat saja, hanya sedikit kata-kata atau tindakan kita yang masih berpengaruh. Inilah kebenaran yang menggelisahkan tentang kehidupan.

Dan di sepercik cahaya kembang api itu, harapan ini mengangkasa bersamanya; menuju tahun yang penuh harapan, dan mungkin sedikit kegusaran. Maka terkenanglah dalam sejarah tahun 2020, dan tertulislah dalam sejarah tahun 2021.

Manusia "penghancur" mimpinya sendiri,

Muhammad Andi Firmansyah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun