Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cara Waras Mengatasi Stres Belajar di Kala Sekolah Online!

10 September 2020   12:18 Diperbarui: 10 September 2020   12:05 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: nasional.tempo)

Saya masih sering menjumpai tulisan artikel yang mengatakan bahwa libur pandemi masih belum usai. 

Saya agak risih mendengar hal itu, jujur.

Karena nyatanya, libur (panjang) kali ini tidak lantas menghilangkan eksistensi dari tugas sekolah. Jadi, saya benci untuk mengatakan bahwa ini merupakan libur pandemi.

Apalagi, libur yang biasanya terkesan menyenangkan, ini malah sungguh menyebalkan bagi saya. Terlebih lagi, saya merasa tidak ada bedanya dengan pelaku tindak pidana korupsi. Anda tahu, terperangkap dalam sebuah ruangan, namun masih bisa menjalani hidup dengan nyaman.

Ini sekolah di era pandemi. Orang awam mengatakannya sekolah online. Apa pun istilahnya, jelas ini bukan libur, sayang.

Nah, eksistensi tugas sekolah ketika #belajardarirumah justru semakin menggila. Ya, ini seperti pemberontakan atau semacamnya.

Tentu, ini karena pembelajaran tatap muka secara langsung tidak mungkin untuk dilakukan, sehingga tugas menjadi alternatif jalan keluar dari permasalahan ini, guna pelajar tetap menjalankan kewajibannya dari rumah.

Apakah ini sungguh baik? Tahan sebentar!

(Sumber: Kompas.com)
(Sumber: Kompas.com)

"Lho kenapa bisa gitu? Padahal kan kalau di rumah, kita bisa belajar sambil rebahan."

Ya, saya tahu. Ini memberikan kita kebebasan dalam memilih metode belajar sesuai yang kita sukai.

Masalahnya, seringkali tugas-tugas dari setiap guru itu diberikan dalam waktu bersamaan, waktu deadline yang berdekatan, dan rasa ingin rebahan kita semakin meningkat ketika diam di rumah.

Dengan segala fasilitas kenyamanan yang ada, rumah memang sangat menggoda untuk dijadikan sebagai tempat bermalas-malasan. Jadi tidak heran kalau tingkat kemalasan semakin meningkat di era sekolah online ini. 

Emhh.. Tunggu dulu, saya lupa kalau budaya malas sudah tertanam dalam diri para pelajar jauh sebelum era pandemi hehe..

Jadi sekali lagi, apakah pembelajaran daring ini sungguh baik? Jika Anda mengatakan ini baik dan menyenangkan, saya harus belajar banyak dari Anda, maha guru.

Karena nyatanya:

(Sumber: nasional.tempo)
(Sumber: nasional.tempo)
Tapi, mari kita berpikir sedikit waras. Ini bukan tentang saya, Anda atau mereka. Ini tentang kita, ini masalah universal.

Stres Belajar

Stres belajar diartikan sebagai tekanan-tekanan yang dihadapi anak berkaitan dengan sekolah, dipersepsikan secara negatif, dan berdampak pada kesehatan fisik, psikis, dan performansi belajarnya.

Wihh textbook banget ya..

Intinya begitu lah.

Kalau bingung apa itu stres belajar, Anda habiskan saja waktu harian Anda hanya untuk mengerjakan tugas sekolah. Saat Anda merasa pusing dan muak, nah itu yang namanya stres belajar hehe..

Sebenarnya saya sendiri pernah merasakan itu. Dulu. Kenapa sekarang tidak? Itu lah mengapa saya menulis tulisan ini.

Mungkin ada orang yang mengoceh dan mengatakan, "Tugasku banyak banget, Ndi. Rasanya tidak pernah selesai."

Ya, saya tahu dan saya sedang merasakannya.

Anda tahu? Pagi-pagi dibangunkan oleh dering notifikasi Google Classroom. Sarapan disambut notifikasi tugas dari WhatsApp. Makan siang didampingi buku-buku tugas. Makan malam diganti kopi supaya tidak mengantuk mengerjakan tugas.

Itu berlebihan, memang. Tapi saya pernah mengalami itu, sungguh.

Dan menariknya, itu hampir sudah menjadi keseharian kita di kala sekolah online ini.

Mari kita blak-blakan saja: Anda sekolah online hanya untuk mencari nilai, bukan mencari ilmu.

Maaf atas itu, pembaca. Tapi saya cukup yakin itu yang terjadi.

Tugas menumpuk, oke. Tapi apa yang Anda dapat dari mengerjakan tugas sebanyak itu? Sekali lagi saya cukup yakin bahwa Anda hanya mengerjakan tugas-tugas, tidak peduli apa materi yang dipelajari. Bahkan Anda sama sekali tidak tertarik untuk membaca materi pelajaran. Memang tidak semua pelajar seperti itu, tapi rasanya saya sudah cukup mewakilkan mayoritas pelajar.

Selamat tinggal tugas sekolah dan selamat datang (kembali) rebahan.

Tentu saja ini merusak tujuan dari pendidikan itu sendiri. Jika hanya nilai besar yang kita kejar, itu hanya sebatas kenikmatan jangka pendek bagi kita. Karena kita membutuhkan ilmu dalam kehidupan, bukan nilai.

Seseorang akan mengatakan, "Oke, itu benar. Tapi mengerjakan tugas saja sudah bikin stres, apalagi kalau kita harus memahami materi setiap pelajaran."

Ya, saya paham. Dan langkah awal memecahkan masalah ini adalah dengan mencari tahu penyebabnya. Dan sejauh perspektif saya, masalah-masalah yang kita bahas tadi berakar pada "tren menjadi korban".

Tren Menjadi Korban

Salah kaprah tentang tanggung jawab/rasa salah membuat orang-orang melemparkan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah mereka kepada orang lain.

Anda tahu, ada sebagian orang yang menyalahkan guru atas menumpuknya tugas sekolah. Ada juga yang menyalahkan pihak sekolah, yang katanya tidak becus dalam mengatur sistem pembelajaran.

Apa pun itu, jelas ini bukan salah siapa-siapa.

Kemampuan untuk melepaskan tanggung jawab dengan cara menyalahkan orang lain, memberikan kenikmatan yang cuma sementara, juga memberikan sensasi kenikmatan menjadi orang yang paling benar/baik secara moral.

Sayangnya, salah satu efek samping dari Internet dan media sosial adalah semakin mudahnya, dibandingkan masa-masa sebelumnya, melemparkan tanggung jawab kepada suatu kelompok atau orang lain.

Ya, semacam postingan keluhan dan perkataan yang tidak pantas diucapkan.

Faktanya, permainan menyalahkan/mempermalukan di lingkup publik ini telah menjadi populer. Dalam kalangan tertentu ini bahkan dipandang sebagai sesuatu yang "keren".

Tren menjadi korban merupakan tren yang berlaku, baik untuk mereka yang berpandangan kanan atau kiri sekarang ini, merebak di antara pemuda dan dewasa.

Dan ini mungkin pertama kalinya dalam sejarah manusia bahwa setiap kelompok demografik merasa menjadi korban ketidakadilan secara terus-menerus. Dan mereka semua dengan sengaja menunggangi kegemaran moral yang menyertainya.

Orang-orang pun menjadi kecanduan; merasa dirinya tak henti-hentinya diserang karena ini memberi mereka kenikmatan; menjadi pihak yang dibenarkan, dan secara moral menjadi superior itu terasa enak.

Dan ini yang terjadi kepada para pelajar sekarang ini. Mayoritas pelajar merasa jadi korban atas suatu ketidakadilan. Mereka menganggap tugas sekolah adalah sebuah penindasan. Dan ini membuat mereka merasa layak diperlakukan istimewa dan layak mendapat gelar sebagai pihak yang dibenarkan.

"Tugas menumpuk? Salahkan saja guru, mudah".

Tidak seperti itu, Bung!

Ini juga yang menyebabkan para pelajar banyak mengalami stres belajar.

Saya bisa menggolongkan mereka yang merasa jadi korban menjadi dua golongan. 

Golongan pertama, mereka merasa jadi korban atas segala tugas yang ditimpakan pada mereka, kemudian mereka menolak untuk mengerjakan semua tugas itu. Pada akhirnya, mereka benar-benar dituntut untuk bisa menyelesaikan tugas-tugasnya, sehingga semakin menumpuk lah tugas mereka. Dan mereka pun stres.

Golongan kedua, mereka merasa jadi korban atas semua tugas yang dibebankan pada mereka. Dan mereka tetap mengerjakan semua tugasnya, namun dengan anggapan bahwa semua tugas itu hanyalah beban dan mereka melakukannya dengan terpaksa. Kemudian, mereka akan merasa stres.

Karena alasan yang tidak berdasar, mereka merasa menjadi korban atas tugas-tugas yang ditimpakan kepada mereka.

Dan sekali lagi, ini, buruk.

Solusi Masalah

Kabar baiknya, golongan yang lain justru merasa tenang dan santai dalam mengerjakan semua tugasnya. Mengapa itu bisa terjadi? Karena alasan yang sederhana, mereka memiliki sebuah kesadaran yang relevan dan logis atas semua tanggung jawabnya.

Kesadaran bahwa mereka adalah pelajar. Dan tugas dari pelajar adalah untuk belajar.

Ya, pembaca, ini solusi payah yang saya tawarkan kepada Anda atas permasalahan stres belajar. Mengingat betapa pentingnya kesadaran dan motivasi yang ada dalam diri sendiri, ini sangat vital untuk kita miliki.

Tugas yang meggunung merupakan konsekuensi. Anda tidak bisa dikatakan seorang pelajar apabila tidak ingin belajar dan menolak adanya tugas sekolah.

Apalagi, keadaan saat ini menjadikan tugas sekolah sebagai alternatif yang simple dan efektif dalam memberikan pengajaran kepada siswa.

Jika Anda menolak keberadaan tugas sekolah, itu hanya akan menambah stres Anda. Karena pada akhirnya, mau tidak mau, Anda tetap harus mengerjakannya.

Jadi, cara yang paling sehat adalah dengan mengakui bahwa Anda merupakan seorang pelajar. Tugas pelajar adalah untuk belajar. Dan tugas sekolah merupakan salah satu cara Anda untuk belajar, dan Anda bertanggung jawab atas hal itu.

Sebaiknya kita mendahulukan nilai-nilai kejujuran, memelihara keterbukaan, dan menerima keraguan yang muncul atas nilai-nilai seperti merasa paling benar, merasa enak, dan membalas dendam.

Mengapa para pemain sepak bola profesional begitu semangat dalam berlatih? Karena mereka sadar, bahwa tugas pemain sepak bola adalah mencetak gol ke gawang lawan, dan itu membutuhkan latihan yang keras.

Mengapa ada sebagian orang yang begitu giat menghafal ayat Al-Qur'an? Karena mereka memiliki kesadaran bahwa surga tidak bisa dicapai tanpa perjuangan.

Jadi mengapa kita tidak akui saja bahwa kita adalah seorang pelajar. Dan untuk menjadi terpelajar, kita harus menghabiskan ribuan jam tayang untuk belajar, termasuk mengerjakan tugas-tugas sekolah sekarang ini. Akui saja hal itu, dan jangan lupa bahwa tugas sekolah menjadi jalan pintas untuk sarana pembelajaran secara online.

Jadi intinya,

Terima apa pun yang terjadi, nikmati proses perjuangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun