Jumlah Korban AYLA Yang Semakin Massif
Menurut data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyatakan jumlah kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI sepanjang tahun 2011- 2014, terjadi peningkatan signifikan. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, dan tahun 2014 ada 5066 kasus. Selain kasus kekerasan, KPAI juga menyebutkan 5 kasus tertinggi dengan jumlah per bidang dari tahun 2011 hingga april 2015. Anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015, tercatat 6006 kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan sebanyak 3160 kasus, kasus pendidikan sebanyak 1764 kasus, kasus kesehatan dan napza sebanyak 1366 kasus, serta pornografi dan cybercrime sebanyak 1032 kasus (Liyawati dan Imron, 2016: 2).
Kemudian untuk kasus anak yang dilacurkan, menurut laporan Tim ESKA Surabaya (Eksploitasi Seksual Komersial Anak), (2009), bahwa anak-anak yang dilacurkan di kota Surabaya, sebagian besar berasal dari keluarga miskin (38%), selanjutnya berasal dari keluarga broken home (keluarga yang orang tuanya bercerai) (23 %) dan juga berasal dari keluarga pada umumnya sebanyak 6 %. Dengan berbagai alasan di antaranya pergaulan bebas (24 %), korban trafficking (21 %), himpitan ekonomi (14 %) dan korban kekerasan dalam rumah tangga (9 %). Studi tersebut menujukkan bahwa alasan kemiskinan dan bujuk rayu calo menjadi penyebab utama anak-anak terlibat dalam dunia pelacuran (Wismayanti, 2010: 119).
Selain itu jumlah korban anak dari prostitusi semakin bertambah setiap tahunnya, Â dapat diketahui lonjakan korban anak yang dilacurkan meningkat ketika memasuki periode resesi secara ekonomi yaitu pasca reformasi 1998, kemudian mengalami tren penurunan cukup drastis antara tahun 2006 -- 2010.
Di beberapa daerah di Indonesia, seperti Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban pelacuran baik di lokalisasi, jalanan, tempattempat hiburan, dan panti pijat (ILO-IPEC, 2010). Di Surabaya juga ditemui peningkatan trend kasus anak yang dilacurkan (Ayla) dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Yayasan Hotline Surabaya yang telah bergerak di isu anak terutama anak-anak yang dilacurkan sejak tahun 2005 hingga sekarang nampak terjadi peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2005- 2010 terdapat 25 korban anak yang dilacurkan yang berhasil didampingi. Tiga tahun berikutnya sejak tahun 2010-2013, korban Ayla yang berhasil didamingi sejumlah 100 anak, jumlah ini naik menjadi 4 kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 Yayasan Hotline Surabaya berhasil mendampingi 20 korban Ayla. Sementara di tahun 2015 terdapat 52 anak telah didampingi. Anak-anak yang berhasil didampingi oleh Yayasan Hotline Surabaya berasal dari rujukan masyarakat, Polres, Dinas Sosial, Penjangkauan di lapangan maupun penjangkauan di sekolah (Liyawati dan Imron, 2016: 3).
Dengan banyaknya korban Ayla ini, menjadikan masyarakat sedikit was-was dan sedikit menutup diri dari adanya Ayla ini. Mereka seolah-olah tidak mengetahui akan permasalahan tersebut. Hal ini mengakibatkan adanya diskriminasi di lingkungan dimana mereka tinggal. Sebagian besar anak yang menjadi korban Ayla tereksklusi dalam 3 hal yaitu tereksklusi dalam hal layanan, Kebijakan, dan Penerimaan Sosial.
Untuk mengembalikan anak-anak yang sudah terlanjur menjadi korban ESKA atau Ayla bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, upaya penanggulangannya harus melibatkan seluruh segmen yang ada, baik pemerintah maupun Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), organisasi sosial, tokoh agaman, lembaga pers (media massa), serta lembaga-lembaga akademis dan para pakar.
Para stakeholder secara bersama-sama, bahu membahu dalam mewujudkan anak Indonesia yang teguh imannya, berpendidikam, sehat, dan tangguh dalam bersaing serta mampu menentukan masa depannya sendiri. Sasaran yang paling strategis adalah peningkatan peran dan pemberdayaan keluarga sebagai wahana bagi anak untuk bersosialisasi dan berlindung dari segala perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi terhadap mereka. Â
Jawaban Atas Permasalahan AYLA
Ada lima strategi yang terumuskan dalam Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm (Swedia) yang merupakan hasil Kongres Dunia I Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersil Terhadap Anak. Ini menjadi kerangka bagi setiap Negara untuk mengembangkan rencana aksi nasionalnya (Winarko dan Shalahudin, 2018: 33) , diantaranya:
- Koordinasi dan kerjasama
- Pencegahan
- Perlindungan
- Pemulihan Psiko-sosial dan re-integrasi sosial;
- Partisipasi anak
Dalam hal ini peran Negara memang sangat penting untuk memutus rantai reproduksi sosial, mulai dari hulu sampai ke hilirnya. Selain itu pelibatan anak-anak dalam kegiatan yang eksploitatif, mencerminkan ketidakberdayaan negara dalam memenuhi hak asasi manusia, dalam pemenuhan hak anak. Awareness dari Negara untuk tragedi kemanusiaan ini perlu di tingkatkan