Sore hari sekitar pukul 16.30, Dela sudah tampak berdandan dengan cantik dan wangi. Tukang becak andalan transportasi di daerah tersebut telah standby di depan kost. Dela dengan berjalan anggun yang sesekali rambutnya diterbangkan oleh angin dan menambahkan aura keanggunan dan ayu dari Dela.
Tukang becak andalannya tersebut nampak tertegun melihat Dela yang sore itu memakai baju biru dongker. Dengan sigap tukang becak memutar becak dan mengangkat roda belakang becak agar Dela dapat duduk dengan mudah di bangku becak tersebut. Setelah itu Dela dengan anggunnya segera duduk di bangku tersebut.
"Mau kemana neng?" godanya tukang becak tersebut.
Dela dengan sedikit malu menjawab, "Halah, tiap hari pertanyaannya kok sama terus".
Dengan cepat tukang becak paruh baya tersebut menjawab, "Lah mbak Dela tiap hari selalu tampak ayu, semangat, dan gembira e"
"mau bagaimana lagi pak, capek sebenarnya cuman kalau capek tadi dirasa malah nanti mood jadi jelek, terus ndak dapet pelanggan, terus ndak dapet duit, terus ndak makan dan bisa bayar bapak dong?" jawab Dela dengan ketus namun tetap dengan keanggunan.
"iyaa mbak, mudah-mudahan hari ini banyak pelanggan ya mbak hehe" jawab tukang becak dengan menenangkan.
Ya benar, Dela bekerja sebagai seorang PSK (Pekerja Seks Komersial) di salah satu lokalisasi di sudut kota Semarang. Dia bekerja di lokalisasi baru 6 bulan, tetapi dia telah bergulat dengan prostitusi semenjak berusia 14 tahun atau selama 12 tahun jika dihitung dari umur Dela saat ini.
Bagaimana mungkin perempuan yang ayu dan anggun ini dapat bergulat dengan dunia prostitusi di usia semuda itu? Jawabnya ialah human trafficking. Dela yang ketika itu hanya tamatan SD harus dihadapkan dengan berbagai masalah yang menyangkut hidup. Dia hidup hanya dengan neneknya, kedua orang tuanya telah berpisah semenjak Dela berumur 3 tahun.
Ayahnya pergi meninggalkan keluarga dan sekarang tidak diketahui keberadaannya, sedangkan Ibunya menjadi TKW di Arab dan dirumorkan telah menikah kembali. Ibunya rajin memberikan uang bulanan kepada keluarganya, tetapi itu hanya sampai Dela lulus SD. Setelah itu tidak ada uang sepeser pun yang dikirimkan oleh Ibu Dela.
Di hadapkan dengan kondisi tersebut, mau tidak mau Dela harus bekerja. Setelah lulus SD dia langsung bekerja sebagai petugas konter pulsa. Selama 3 bulan dia bekerja disana dan tentunya bahagia karena dapat tinggal dengan neneknya yang lokasi rumah mereka tidak begitu jauh dari lokasi tempat Dela bekerja.
Singkat cerita, ada salah satu teman Dela yang baru saja balik dari Kota Surabaya dan mengajak Dela untuk bekerja dengannya sebagai ART (Asisten Rumah Tangga) di kota tersebut. Tentu saja iming-iming gaji yang tinggi menjadi tawaran utama dari teman Dela ini.
Dengan berbekal uang 2,5 juta rupiah hasil tabungannya dan dibantu sedikit oleh neneknya, akhirnya Dela berangkat ke Kota Surabaya dengan penuh asa dan harapan. Tetapi setelah sampai disana ternyata dia malah ditinggal temannya tersebut dan diserahkan kepada salah seorang perempuan berusia 30 tahunan. Dari sinilah petualangan Dela menjadi seorang pekerja pemuas birahi dari para laki-laki tanggung dari sisi mental.
AYLA (Anak Yang Dilacurkan)
Narasi diatas hanyalah fiksi, namun dalam realitanya banyak sekali kejadian-kejadian dengan alur yang sama dengan cerita fiksi tersebut. Anak di bawah umur harus merantau karena desakan ekonomi -- di tipu oleh agen/teman/saudara -- akhirnya bekerja dan berkecimpung di dunia prostitusi. Anak-anak yang sejak usia dini bekerja sebagai PSK ini biasa disebut dengan AYLA (Anak Yang Dilacurkan). Penyebutan AYLA dianggap lebih tepat dibandingkan dengan "Pelacur anak" atau "Pekerja Seks Anak".
Hal tersebut dikarenakan anak-anak yang berada di dalam dunia protitusi akan terstigma negatif dari penyebutan-penyebutan tersebut. Sedangkan anak-anak karena posisinya dinilai belum dapat memberikan persetujuan memilih pekerja seks sebagai profesinya. Namun istilah "Pelacuran Anak" (Child Prostitution) tetap digunakan untuk menyebut situasi dimana anak-anak terlibat dalam pelayanan jasa seks komersial (Winarko dan Shalahudin, 2018: 13).
Para aktivis hak-hak anak menggunakan istilah "Anak Yang Dilacurkan" (Child Prostituted) yang digunakan sebagai pengganti istilah "pelacur anak" atau "Child Prostitutes". Istilah ini merujuk kepada subyek-subyek yakni anak yang terlibat dalam prsotitusi dan sengaja dipilih untuk memberikan tekanan pada bobot yuridis dimana seorang anak, berbeda dari orang dewasa, harus dianggap tidak punya kemampuan untuk memilih prostitusi sebagai profesi.
Dengan demikian, istilah ini menegaskan posisi anak sebagai korban, bukan pelaku. Sekaligus menegaskan bahwa tindakan menjerumuskan anak kedalam pelacuran merupakan suatu kejahatan (Winarko dan Shalahuddin, 2018:12).
Keterlibatan dari para anak ini di dunia prostitusi tentunya tidak dapat dikesampingkan dari hasil hubungan sebab -- akibat keluarga si anak. Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak, Pasal 26 ayat 1, disebutkan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; menjaga tumbuh kembang anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada anak; serta memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Sesuai dengan Konvensi Hak Anak ada empat kelompok hak anak yang sangat mendasar. Pertama, hak kelangsungan hidup. Kedua, hak untuk tumbuh kembang. Ketiga, hak untuk memperoleh perlindungan. Keempat, hak untuk berpartisipasi dan berbagai keputusan yang sangat mempengaruhi hidup dan nasibnya (Ikawati, dkk, 2004: 20).
Pemenuhan hak anak sejatinya berasal dari kedua orang tua, dimana ayah mampu memberikan dampak positif terkait perkembangan anak tersebut nantinya, begitupun dengan Ibu. Tetapi tugas pemenuhan hak anak ini juga tidak serta merta hanya menjadi tugas kedua orang tua si anak, melainkan lingkungan dari tempat tinggal si anak memiliki peranan dalam memberikan pengaruh terhadap perkembangannya.
Namun realitasnya banyak anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya dan para tetangga yang merasa tidak mau ikut campur urusan orang lain menjadikan perkembangan si anak mengarah ke perkembangan negatif.
Jumlah Korban AYLA Yang Semakin Massif
Menurut data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyatakan jumlah kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI sepanjang tahun 2011- 2014, terjadi peningkatan signifikan. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, dan tahun 2014 ada 5066 kasus. Selain kasus kekerasan, KPAI juga menyebutkan 5 kasus tertinggi dengan jumlah per bidang dari tahun 2011 hingga april 2015. Anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015, tercatat 6006 kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan sebanyak 3160 kasus, kasus pendidikan sebanyak 1764 kasus, kasus kesehatan dan napza sebanyak 1366 kasus, serta pornografi dan cybercrime sebanyak 1032 kasus (Liyawati dan Imron, 2016: 2).
Kemudian untuk kasus anak yang dilacurkan, menurut laporan Tim ESKA Surabaya (Eksploitasi Seksual Komersial Anak), (2009), bahwa anak-anak yang dilacurkan di kota Surabaya, sebagian besar berasal dari keluarga miskin (38%), selanjutnya berasal dari keluarga broken home (keluarga yang orang tuanya bercerai) (23 %) dan juga berasal dari keluarga pada umumnya sebanyak 6 %. Dengan berbagai alasan di antaranya pergaulan bebas (24 %), korban trafficking (21 %), himpitan ekonomi (14 %) dan korban kekerasan dalam rumah tangga (9 %). Studi tersebut menujukkan bahwa alasan kemiskinan dan bujuk rayu calo menjadi penyebab utama anak-anak terlibat dalam dunia pelacuran (Wismayanti, 2010: 119).
Selain itu jumlah korban anak dari prostitusi semakin bertambah setiap tahunnya, Â dapat diketahui lonjakan korban anak yang dilacurkan meningkat ketika memasuki periode resesi secara ekonomi yaitu pasca reformasi 1998, kemudian mengalami tren penurunan cukup drastis antara tahun 2006 -- 2010.
Di beberapa daerah di Indonesia, seperti Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban pelacuran baik di lokalisasi, jalanan, tempattempat hiburan, dan panti pijat (ILO-IPEC, 2010). Di Surabaya juga ditemui peningkatan trend kasus anak yang dilacurkan (Ayla) dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Yayasan Hotline Surabaya yang telah bergerak di isu anak terutama anak-anak yang dilacurkan sejak tahun 2005 hingga sekarang nampak terjadi peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2005- 2010 terdapat 25 korban anak yang dilacurkan yang berhasil didampingi. Tiga tahun berikutnya sejak tahun 2010-2013, korban Ayla yang berhasil didamingi sejumlah 100 anak, jumlah ini naik menjadi 4 kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 Yayasan Hotline Surabaya berhasil mendampingi 20 korban Ayla. Sementara di tahun 2015 terdapat 52 anak telah didampingi. Anak-anak yang berhasil didampingi oleh Yayasan Hotline Surabaya berasal dari rujukan masyarakat, Polres, Dinas Sosial, Penjangkauan di lapangan maupun penjangkauan di sekolah (Liyawati dan Imron, 2016: 3).
Dengan banyaknya korban Ayla ini, menjadikan masyarakat sedikit was-was dan sedikit menutup diri dari adanya Ayla ini. Mereka seolah-olah tidak mengetahui akan permasalahan tersebut. Hal ini mengakibatkan adanya diskriminasi di lingkungan dimana mereka tinggal. Sebagian besar anak yang menjadi korban Ayla tereksklusi dalam 3 hal yaitu tereksklusi dalam hal layanan, Kebijakan, dan Penerimaan Sosial.
Untuk mengembalikan anak-anak yang sudah terlanjur menjadi korban ESKA atau Ayla bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, upaya penanggulangannya harus melibatkan seluruh segmen yang ada, baik pemerintah maupun Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), organisasi sosial, tokoh agaman, lembaga pers (media massa), serta lembaga-lembaga akademis dan para pakar.
Para stakeholder secara bersama-sama, bahu membahu dalam mewujudkan anak Indonesia yang teguh imannya, berpendidikam, sehat, dan tangguh dalam bersaing serta mampu menentukan masa depannya sendiri. Sasaran yang paling strategis adalah peningkatan peran dan pemberdayaan keluarga sebagai wahana bagi anak untuk bersosialisasi dan berlindung dari segala perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi terhadap mereka. Â
Jawaban Atas Permasalahan AYLA
Ada lima strategi yang terumuskan dalam Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm (Swedia) yang merupakan hasil Kongres Dunia I Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersil Terhadap Anak. Ini menjadi kerangka bagi setiap Negara untuk mengembangkan rencana aksi nasionalnya (Winarko dan Shalahudin, 2018: 33) , diantaranya:
- Koordinasi dan kerjasama
- Pencegahan
- Perlindungan
- Pemulihan Psiko-sosial dan re-integrasi sosial;
- Partisipasi anak
Dalam hal ini peran Negara memang sangat penting untuk memutus rantai reproduksi sosial, mulai dari hulu sampai ke hilirnya. Selain itu pelibatan anak-anak dalam kegiatan yang eksploitatif, mencerminkan ketidakberdayaan negara dalam memenuhi hak asasi manusia, dalam pemenuhan hak anak. Awareness dari Negara untuk tragedi kemanusiaan ini perlu di tingkatkan
 Tugas Negara saat ini ialah merumuskan kembali sebuah kebijakan yang dapat melindungi anak-anak dari para predator trafficking. Selain itu penegakkan UU yang berhubungan dengan anak dan prostitusi perlu ditegaskan dalam aplikasi dan implementasinya.
Menurut Arie Soejito (dalam Mutia Kusuma) menelaah akar permasalahan dari anak yang dilacurkan, penyebab pertama adalah belum terpadunya arus utama isu di tingkat negara dalam bentuk regulasi kelembagaan dan alokasi anggaran dengan gerakan sosial.
Tidak hanya menjadi tugas Negara saja yang perlu meningkatkan usaha mereka dalam hal ini, melainkan masyarakat pada umumnya yang harus membuang jauh akan stigma negatif yang dibebankan kepada korban Ayla ini. Masyarakat tidak hanya melek akan politik praktis melainkan juga harus melek soal isu-isu kemanuasiaan.
Beberapa langkah penanggulangan untuk korban Ayla yang berdasarkan Konsep Inklusi Sosial (Liyawati dan Imron, 2016: 5-6), diantaranya:
- Rintisan Sekolah Mandiri (RISMA) Berbasis Inklusi Sosial. Anak -- anak yang telah beresiko atau dengan kata lain yang telah menjadi korban eksploitasi seksual komersial anak dan anak-anak yang telah mengalamai sex addict tidak/telah mengalamai sex addict akan dilakukan proses intervensi dan pendampingan, begitu pula dengan anak rentan akan diberikan konseling oleh tim konseling dari komunitas-komunitas pemerhati masalah sosial.
- Kegiatan Beladiri/Karate Kegiatan latihan karate merupakan salah satu alternative yang pilih sebagai usaha untuk membaurkan anak-anak dampingan yang tinggal di shelter dengan masyarakat sekitar. Selain itu, latihan karate/self defend bertujuan untuk membekali diri kepada korban agar bisa bertahan dan melarikan diri ketika terjadi perlakuan yang tidak diinginkan, atau upaya pemerkosanyang akan dilakukan terhaap dirinya.
- Parenting dan Konseling keluarga. Parenting untuk orang tua korban dan konseling yang diberikan kepada orangtua dilakukan dengan tujuan untuk menyaiapkan orangtua/keluarga agara bisa menerima kembali anak setelah didampingi tim konseling. Mendampingi anak berarti juga mendampingi orang tua. Dalam proses reintegrasi kepada keluarga, orang tua disipakan agar bisa menerima anak kembali dan mengkondisikan lingkungan keluarga yang kondusif, damai, tidak melakukan kekerasan atau pertengkaran dihadapan anak, melakukan komuniaksi intens kepada anak, serta memberikan kasih sayang kepada anak yang telah hilang sebelumnya dengan memberikan perhatian lebih kepada anak.
Ayla sudah sepatutnya kita pandang sebagai korban, bukan sebagai pelaku. Hanya dengan tangan terbuka dan rasa kemanusiaan tinggilah kita dapat menyelamatkan para anak-anak yang nantinya akan menjadi penerus Bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H