Mohon tunggu...
Muhammad Fajrin
Muhammad Fajrin Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa

"The only thing standing between you and your dream is the will to try and the belief that it is actually possible".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perbandingan Kinerja Ekonomi dan Sosial: Pemerintahan SBY vs Jokowi, Mana Lebih Baik?

31 Agustus 2023   05:12 Diperbarui: 31 Agustus 2023   05:18 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang akan datang pada bulan Februari 2024 memasukkan Indonesia ke dalam fase penting. Saat ini, masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir, ini memberikan panggung bagi refleksi terhadap pencapaian yang berhasil diraih selama dua periode pemerintahannya. Dalam konteks ini, sektor ekonomi menjadi perhatian utama, karena mengalami sejumlah perubahan dan perkembangan yang patut diperhitungkan.

Presiden Joko Widodo akrab disapa Jokowi, telah memimpin Indonesia selama dua periode, yaitu dari tahun 2014 hingga 2019, serta terpilih kembali untuk periode kedua pada 2019 hingga 2024. 

Kepemimpinan Jokowi yang vokal dalam mempromosikan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi menarik untuk dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memerintah dari tahun 2004 hingga 2014.

Salah satu perbandingan mencolok antara keduanya adalah strategi dalam mengatasi kemiskinan dan meratakan pemerataan ekonomi. Jokowi menempatkan penekanan pada pembangunan infrastruktur sebagai cara untuk menciptakan peluang kerja dan menghidupkan perekonomian di wilayah-wilayah terpencil. 

Di samping itu, program bantuan sosial seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Prakerja diluncurkan untuk memberikan akses pendidikan dan pelatihan kepada warga dengan pendapatan rendah. 

Di sisi lain, SBY mengedepankan pengembangan sektor pertanian dan perikanan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan. Pendekatan ini didukung oleh pemberian bantuan langsung kepada rumah tangga miskin (BLT) untuk mereduksi disparitas sosial-ekonomi.

Melalui berbagai indikator yang menggambarkan kondisi ekonomi, kedua masa kepemimpinan ini memiliki perbedaan yang menarik untuk dicermati. Dengan pemahaman ini, pembandingan kinerja ekonomi antara Jokowi dan SBY menjadi semakin menarik untuk dijelajahi dalam konteks pencapaian serta arah perubahan yang telah dicapai.

PDB
Dalam konteks ekonomi saat ini, terdapat beberapa indikator penting yang sering digunakan untuk membandingkan performa ekonomi berbagai negara di seluruh dunia. Salah satu indikator yang sangat penting adalah Produk Domestik Bruto (PDB), yang digunakan untuk membandingkan ukuran ekonomi suatu negara. PDB mengukur total nilai pasar dari semua barang dan layanan yang dihasilkan oleh negara tersebut dalam satu tahun.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai US$ 4.783,9 per tahun, yang jika dikonversi ke dalam mata uang rupiah setara dengan sekitar Rp 71 juta. 

Dengan kata lain, pendapatan rata-rata penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar 275 juta mencapai sekitar Rp 71 juta per tahun, atau sekitar Rp 5,9 juta per bulan. Peningkatan pendapatan PDB per kapita penduduk Indonesia pada tahun 2022 sekitar Rp 8,7 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menggambarkan kenaikan sekitar 14%. 

Kenaikan ini sejalan dengan pertumbuhan PDB nasional yang signifikan, dari Rp 11.120,1 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 11.710,4 triliun pada tahun 2022. Walaupun mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, pertumbuhan PDB per kapita Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terbilang lebih lambat dibandingkan dengan periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Penurunan pertumbuhan PDB per kapita ini sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, sementara pertumbuhan PDB-nya tidak setinggi di era sebelumnya.

Data dari Bank Dunia mengungkapkan bahwa pada tahun 2015, PDB per kapita Indonesia mencapai US$ 3.322,58 per tahun. Namun, menurut data BPS, angka ini meningkat menjadi US$ 4.783,9 pada tahun 2022. Artinya, selama delapan tahun masa kepemimpinan Jokowi, PDB per kapita Indonesia naik sekitar US$ 1.307,28 atau 37,6%. 

Harap dicatat bahwa tahun 2015 menjadi awal masa pemerintahan penuh Presiden Jokowi, sebelumnya hanya menjabat selama tiga bulan pada tahun 2014 setelah dilantik pada bulan Oktober. Sementara itu, pada tahun pertama masa pemerintahan penuh Presiden SBY, yaitu tahun 2005, PDB per kapita Indonesia mencapai US$ 1.249,39 per tahun. Angka ini kemudian meningkat menjadi US$ 3.668,22 per tahun pada tahun 2012. Dengan demikian, selama delapan tahun pertama masa pemerintahan SBY, PDB per kapita Indonesia mengalami peningkatan sekitar US$ 2.418,81 atau 193,6%.


INFLASI
Salah satu perbedaan utama antara masa pemerintahan SBY dan Jokowi terletak pada tingkat inflasi. Pada era SBY, laju inflasi mengalami angka yang relatif tinggi, mencapai 7,11%. Di masa yang sama, era Jokowi ditandai dengan inflasi yang lebih terkendali, hanya sebesar 3,61%.Penting untuk mencatat bahwa pada Desember 2008, inflasi bahkan mencapai puncak tertingginya yaitu 11,06%, setelah Presiden SBY menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi. Selama masa pemerintahan SBY, fluktuasi inflasi menjadi salah satu isu yang signifikan.

Inflasi memiliki peran krusial dalam menjaga daya beli masyarakat. Saat inflasi merosot, harga-harga barang cenderung menurun, sehingga daya beli masyarakat dapat lebih terjaga. Penurunan inflasi ini juga mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga. Apabila dibandingkan, data menunjukkan bahwa inflasi pada era Jokowi lebih terkendali jika dibandingkan dengan era SBY. Namun, penting untuk diingat bahwa inflasi yang terlalu rendah juga dapat mencerminkan penurunan permintaan. Situasi ini terjadi pada tahun 2020, di mana tingkat inflasi mencapai hanya 1,68%, menjadi yang terendah dalam sejarah. Faktor yang mempengaruhi ini adalah pelemahan daya beli akibat dampak pandemi Covid-19 yang melanda ekonomi global.

Umumnya, inflasi disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kenaikan permintaan (demand pull inflation) dan kenaikan biaya produksi (cost push inflation). Demand pull inflation umumnya terjadi ketika permintaan melebihi pasokan yang tersedia, seringkali dipicu oleh pemulihan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, cost push inflation lebih cenderung disebabkan oleh peningkatan biaya produksi atau intervensi pemerintah, seperti kenaikan harga BBM subsidi.
Ringkasnya, inflasi yang terkendali di era Jokowi menunjukkan stabilitas ekonomi yang relatif baik dibandingkan dengan era SBY yang ditandai dengan fluktuasi inflasi yang lebih tinggi. Namun, perlu diingat bahwa inflasi yang sangat rendah juga memiliki implikasi terhadap kondisi ekonomi, khususnya dalam situasi seperti pandemi.


UTANG

Perbincangan mengenai meningkatnya utang pemerintah dari tahun ke tahun dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi topik yang hangat. Diskusi tentang lonjakan utang semakin meningkat menjelang tahun pemilu 2024.

Dalam laporan terbaru dari APBN KiTa edisi Juni 2023, jumlah utang pemerintah hingga bulan Mei 2023 mencapai Rp 7.787 triliun. Angka utang negara ini telah mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Dari awal periode pertama hingga menjelang akhir periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, utang pemerintah telah bertambah sekitar Rp 5.179 triliun.

Jika dilihat dari masa sebelumnya, pada akhir tahun 2014, yang merupakan transisi dari pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke pemerintahan Presiden Jokowi, jumlah utang pemerintah mencapai Rp 2.608,78 triliun dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 24,7 persen. 

Utang pemerintah pada era Presiden Jokowi terus mengalami peningkatan, baik pada periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya. Ini menunjukkan bahwa peningkatan utang telah terjadi sebelum pandemi Covid-19. Sebagai contoh, pada tahun 2015, hanya setahun setelah Jokowi menjabat sebagai Presiden, utang pemerintah sudah mencapai Rp 3.089 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 27 persen. Pada Januari 2017, jumlah utang pemerintah meningkat menjadi Rp 3.549 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 28 persen.

Utang pemerintah selama tahun 2017 terus meningkat dengan cepat. Pada akhir tahun tersebut, utang pemerintah mencapai Rp 3.938 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 29,2 persen. Berikut adalah catatan total utang pemerintah selama tahun 2014-2022, seperti yang dirangkum dari data APBN KiTa Kementerian Keuangan dan Litbang Harian Kompas:


- Utang pemerintah tahun 2014: Rp 2.608,78 triliun (rasio PDB 24,75 persen)
- Utang pemerintah tahun 2015: Rp 3.165,13 triliun (rasio PDB 26,84 persen)
- Utang pemerintah tahun 2016: Rp 3.706,52 triliun (rasio PDB 26,99 persen)
- Utang pemerintah tahun 2017: Rp 3.938,70 triliun (rasio PDB 29,22 persen)
- Utang pemerintah tahun 2018: Rp 4.418,30 triliun (rasio PDB 29,98 persen)
- Utang pemerintah tahun 2019: Rp 4.779,28 triliun (rasio PDB 29,80 persen)
- Utang pemerintah tahun 2020: Rp 6.074,56 triliun (rasio PDB 38,68 persen)
- Utang pemerintah tahun 2021: Rp 6.908,87 triliun (rasio PDB 41 persen)
- Utang pemerintah tahun 2022: Rp 7.554,25 triliun (rasio PDB 38,65 persen)
- Utang pemerintah hingga Juni 2023: Rp 7.787,51 triliun (rasio PDB 37,85 persen)

Pada era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, utang pemerintah juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Namun, jika dibandingkan dengan era Jokowi, persentase kenaikannya lebih kecil. Selain itu, keberhasilan pemerintahan SBY dalam mengelola utang negara terlihat dari penurunan rasio utang terhadap PDB dalam dua periode pemerintahannya.


Tren penurunan rasio utang terhadap PDB ini kontras dengan pemerintahan era Jokowi, di mana trennya mendekati batas yang diizinkan oleh UU. Menurut ketentuan UU Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003, batas rasio utang terhadap PDB adalah 60 persen. Jika batas ini terlampaui, dapat muncul kondisi yang dikenal sebagai jebakan utang, di mana negara mengalami kesulitan membayar utang dan harus meminjam lebih banyak untuk membayar utang yang ada. 

Dalam era SBY, jumlah utang pemerintah pada 2007, periode pertama pemerintahannya, mencapai Rp 1.389,41 triliun. Hingga tahun 2009, akhir dari periode pertama pemerintahan SBY, jumlah utang pemerintah mencapai Rp 1.590,66 triliun. Selama periode kedua pemerintahan SBY, yang dimulai pada tahun 2010, jumlah utang pemerintah pusat mencapai Rp 1.676,85 triliun. Hingga akhir masa jabatannya pada tahun 2014, jumlah utang pemerintah mencapai Rp 2.608,78 triliun. Utang ini kemudian diwariskan kepada era Presiden Jokowi.


Presiden SBY berhasil melanjutkan tren penurunan rasio utang pemerintah dari sebelumnya, yang sempat meningkat tajam pada akhir masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada tahun 1998, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 58 persen, naik 20 poin dari tahun sebelumnya yang mencapai 38 persen pada tahun 1997. Pada tahun 1999, rasio ini melonjak menjadi 85 persen, mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan angka 89 persen. 

Namun, sejak puncak tertinggi tersebut, rasio utang pemerintah terus menurun pada tahun-tahun berikutnya, termasuk pada masa pemerintahan SBY. Pada tahun 2004, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 57 persen, dan kemudian turun 10 poin menjadi 47 persen pada tahun 2005. Pada tahun 2006, rasio ini kembali menurun menjadi 39 persen, dan terus turun menjadi 33 persen pada tahun 2007. Pada tahun 2008, rasio utang mencapai 28,3 persen, dan pada tahun 2009, rasio ini mencapai 26,1 persen. 

Pada periode kedua pemerintahan SBY, dari tahun 2010 hingga 2014, tren penurunan rasio utang masih berlanjut, dengan angka yang tetap berada di bawah 25 persen. Pada tahun 2010, rasio utang pemerintah mencapai 26,1 persen, lalu turun menjadi 24,4 persen pada tahun 2011. Pada tahun 2012, rasio utang mencapai titik terendahnya yaitu 23 persen, sebelum naik sedikit menjadi 24,9 persen pada tahun 2013 dan kembali turun menjadi 24,74 persen pada tahun 2014. Berikut adalah rincian utang pemerintah era SBY dari tahun ke tahun:


- Total utang pemerintah tahun 2004: Rp 1.299,5 triliun (rasio PDB 57 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2005: Rp 1.313,3 triliun (rasio PDB 47 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2006: Rp 1.302,2 triliun (rasio PDB 39 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (rasio PDB 33 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (rasio PDB 28,3 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun (rasio PDB 26,1 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2010: Rp 1.676,85 triliun (rasio PDB 26,1 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2011: Rp 1.803,49 triliun (rasio PDB 24,4 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2012: Rp 1.977,71 triliun (rasio PDB 23 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2013: Rp 2.375,50 triliun (rasio PDB 24,9 persen)
- Total utang pemerintah tahun 2014: Rp 2.608,78 triliun (rasio PDB 24,74 persen).

ANGKA KEMISKINAN DAN TINGKAT PENGGANGGURAN


Dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), upaya pembangunan infrastruktur yang massif telah dilakukan hingga ke pelosok desa. Salah satu tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi guna mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Usaha tersebut kini telah membuahkan hasil yang positif, di mana persentase penduduk miskin terus mengalami penurunan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023, terdapat sekitar 25,9 juta penduduk yang masih hidup dalam kondisi miskin di Indonesia. Jumlah ini mengalami penurunan sebesar sekitar 460 ribu orang dari bulan September 2022, atau turun sebanyak 260 ribu orang dibandingkan data Maret tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan awal kepemimpinan Jokowi, tren penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia terlihat jelas, hanya mengalami satu kali kenaikan signifikan saat pandemi Covid-19 melanda pada tahun 2020. 

Sebagai perbandingan, pada bulan September 2014, atau di tahun terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), persentase kemiskinan mencapai 10,96%, yang setara dengan 27,73 juta penduduk. Pada tahun pertama Jokowi menjadi Presiden pada September 2015, tingkat kemiskinan sempat naik menjadi 11,13%, atau sekitar 28,51 juta penduduk yang tergolong miskin. Namun, dari tahun ke tahun berikutnya, persentase penduduk miskin terus menunjukkan tren penurunan dan berhasil menurunkan angka di bawah 10%.


Berikut adalah data persentase penduduk miskin selama masa pemerintahan Jokowi:


- 2015: 11,13% (28,51 juta)
- 2016: 10,7% (27,776 juta)
- 2017: 10,12% (26,58 juta)
- 2018: 9,66% (25,67 juta)
- 2019: 9,22% (24,78 juta)
- 2020: 10,19% (27,55 juta)
- 2021: 9,71% (26,50 juta)
- 2022: 9,57% (26,36 juta)
- 2023: 9,36% (25,90 juta)


Sementara itu, data persentase penduduk miskin selama era pemerintahan SBY adalah sebagai berikut:


- 2005: 15,97% (35,10 juta)
- 2006: 17,75% (39,30 juta)
- 2007: 16,58% (37,17 juta)
- 2008: 15,42% (34,96 juta)
- 2009: 14,15% (32,53 juta)
- 2010: 13,35% (31,02 juta)
- 2011: 12,36% (29,89 juta)
- 2012: 11,66% (28,71 juta)
- 2013: 11,46% (28,46 juta)
- 2014: 10,96% (27,73 juta)


Terkait angka pengangguran, BPS mencatat bahwa selama kepemimpinan SBY, angka pengangguran berada dalam kisaran 7,14 juta hingga 11,89 juta orang. Walaupun terdapat tren penurunan, angka tersebut tetap berada dalam rentang tersebut. Pada awal kepemimpinan SBY, jumlah pengangguran mencapai 10,25 juta orang pada tahun 2014. BPS secara periodik merilis data pengangguran dua kali setahun. Pada Februari 2005, jumlah pengangguran meningkat menjadi 10,85 juta orang dan mencapai puncak tertinggi dengan 11,89 juta orang pada November 2005. Ini merupakan angka pengangguran tertinggi selama masa kepemimpinan SBY.

Pada tahun 2006, jumlah pengangguran mencapai 11,10 juta orang di bulan Februari dan 10,93 juta orang di bulan Agustus. Angka pengangguran belum banyak berubah di tahun 2007, yaitu 11,10 juta orang pada bulan Februari dan 10,93 juta orang pada bulan Agustus 2007. Pada tahun 2008, jumlah pengangguran berhasil ditekan di bawah 10 juta, yaitu 9,42 juta orang pada bulan Februari 2008 dan 9,39 juta orang pada bulan Agustus 2008. Jumlah pengangguran pada periode kedua kepemimpinan SBY lebih baik, tetap berada di bawah 10 juta orang.


Rincian data pengangguran selama masa kepemimpinan SBY adalah sebagai berikut:


- Februari 2009: 9,25 juta orang
- Agustus 2009: 8,96 juta orang
- Februari 2010: 8,59 juta orang
- Agustus 2010: 8,31 juta orang
- Februari 2011: 8,37 juta orang
- Agustus 2011: 8,68 juta orang
- Februari 2012: 7,75 juta orang
- Agustus 2012: 7,34 juta orang
- Februari 2013: 7,24 juta orang
- Agustus 2013: 7,41 juta orang
- 2014: 7,14 juta orang


Dibandingkan dengan era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), angka pengangguran selama pemerintahan Jokowi berada di kisaran 7 jutaan orang setiap tahunnya. Artinya, angka pengangguran selama kepemimpinan Jokowi lebih rendah daripada era SBY. Jumlah pengangguran dalam masa pemerintahan Jokowi mencapai tingkat terendah pada Februari 2019, yaitu sekitar 6,89 juta orang. Namun, angka ini naik menjadi 7,1 juta orang pada Agustus 2019, dan bahkan mencapai 9,76 juta orang pada Agustus 2020 akibat dampak pandemi Covid-19 yang mengakibatkan banyak sektor terdampak dan perusahaan melakukan pemangkasan pegawai. 

Pada Februari 2021, jumlah pengangguran kembali turun menjadi 8,74 juta orang, meskipun angka ini sempat naik menjadi 9,1 juta orang pada Agustus 2021. Namun, angka pengangguran cenderung menurun pada tahun-tahun berikutnya. Menurut data BPS, pada tahun 2022, angka pengangguran turun menjadi 8,4 juta orang, dan pada tahun 2023, data terakhir menunjukkan bahwa angka pengangguran kembali menurun menjadi 7,9 juta orang. Secara keseluruhan, data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia selama masa pemerintahan Jokowi terus mengalami penurunan meskipun sempat mengalami kenaikan akibat pandemi Covid-19.


GINI RATIO DAN IPM


Dalam membandingkan kinerja ekonomi suatu negara, aspek kesejahteraan sosial juga harus diperhitungkan. Salah satu metode untuk menganalisis ini adalah dengan mengukur tingkat ketidaksetaraan dalam masyarakat menggunakan Indeks Gini Ratio, atau yang biasa disebut koefisien Gini. Ini adalah indikator penting untuk mengukur sejauh mana tingkat ketidaksetaraan sosial di dalam suatu negara.

Pertama-tama, mari kita bahas mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan SBY mungkin lebih berhasil, Jokowi unggul dalam mengatasi masalah ketidaksetaraan antara golongan kaya dan miskin. Meskipun pertumbuhan ekonomi yang kuat, rasio Gini pada era SBY justru mengalami kenaikan dari 0,35 menjadi 0,41 dalam delapan tahun pertama pemerintahannya. Di sisi lain, Jokowi berhasil menurunkan rasio Gini dari 0,41 menjadi 0,38. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketidaksetaraan sosial di era pemerintahan Jokowi berhasil berkurang sekitar 0,03. Penghitungan Gini Ratio dilakukan dalam skala 0 hingga 1. Semakin tinggi angkanya, semakin tinggi tingkat ketidaksetaraan dalam masyarakat. Sebaliknya, semakin rendah angkanya menunjukkan tingkat kesetaraan yang lebih baik di antara berbagai lapisan masyarakat.

Selanjutnya, perhatikan juga Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator penting lainnya dalam mengevaluasi kinerja ekonomi negara. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan tren peningkatan IPM selama masa pemerintahan Jokowi. IPM nasional terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun pertama Jokowi memegang jabatan pada tahun 2014, IPM nasional mencapai 68,9%. Angka ini berhasil ditingkatkan menjadi 69,55% pada 2015 dan 70,18% pada 2016. Meskipun tidak terjadi peningkatan signifikan, Jokowi terus meningkatkan IPM nasional menjadi 70,81% pada 2017, 71,39% pada 2018, dan mencapai 71,94% pada akhir masa jabatan periode pertamanya pada 2019.

Sementara itu, pada masa pemerintahan SBY, IPM Indonesia juga mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2004 hingga 2014. Data menunjukkan bahwa IPM naik dari 68,70% pada tahun pertama pemerintahan SBY menjadi 73,81% pada tahun 2013. Ini mengindikasikan bahwa tren peningkatan IPM selama pemerintahan SBY adalah sebesar 5,11%.

Namun, mungkin beberapa pembaca merasa bingung dengan data tren IPM yang telah disajikan sebelumnya. Mengapa pada tahun 2014, yang merupakan tahun pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, IPM mencapai 68,9%, padahal data terakhir pada 2013 adalah sebesar 73,81%. Penting untuk dicatat bahwa sejak tahun 2010, Badan Pusat Statistik Nasional telah mengubah metode perhitungan IPM dengan metode baru. Perubahan mendasar dalam perhitungan IPM menggunakan metode baru mencakup penggunaan indikator Harapan Lama Sekolah (HLS) sebagai pengganti Angka Melek Huruf (AMH) dalam perhitungan indeks pendidikan, serta menggunakan indikator Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita sebagai pengganti Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dalam perhitungan indeks standar hidup. Selain itu, perhitungan agregasi indeks juga mengalami perubahan, di mana IPM dengan metode baru menggunakan rata-rata geometrik.

Perubahan tersebut membawa beberapa keunggulan bagi IPM dengan metode baru, termasuk dalam menggambarkan gambaran yang lebih akurat tentang pendidikan dan perubahan yang terjadi, serta menjaga keseimbangan antarindikator. Dengan menggunakan metode ini, capaian yang rendah pada salah satu komponen tidak dapat terlalu dominan karena perhitungan rata-rata geometrik yang diaplikasikan. Secara keseluruhan, data tersebut mengindikasikan bahwa meskipun terdapat beberapa perubahan metodologi dalam perhitungan, Jokowi mampu mempertahankan tren peningkatan IPM nasional selama masa jabatannya, sementara SBY juga berhasil meningkatkan IPM namun dengan perubahan metode yang berbeda.

Kesimpulannya, kedua periode pemerintahan menunjukkan pencapaian yang patut diapresiasi, disertai dengan tantangan yang berbeda pada masing-masing masa. Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil melanjutkan tren positif dalam penurunan rasio utang serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan. Di sisi lain, masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih difokuskan pada upaya konkret dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan mengatasi disparitas sosial, sembari merangsang peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) nasional.


Penting untuk memahami bahwa hasil analisis ini harus dilihat dalam kerangka lebih luas, dengan mempertimbangkan dinamika ekonomi global dan faktor internal yang turut memengaruhi trajektori ekonomi Indonesia. Melalui pemahaman mendalam terhadap catatan kinerja keduanya, kita dapat meraih wawasan yang lebih baik dalam merancang kebijakan masa depan yang berkelanjutan dan inklusif bagi kemajuan negara. Oleh karena itu, dalam menyambut pesta demokrasi pemilu serentak 2024, diharapkan kita dapat lebih bijak untuk menentukan pilihan serta sikap kita agar kedepannya para pemimpin bangsa ini dapat melanjutkan dan memperbaiki tugas kenegaraan dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan adanya tulisan ini juga diharapkan bahwa para pembaca dapat menilai dengan lebih objektif dalam membanndingkan kinerja pemerintahan untuk menghindari adanya konflik akibat maraknya pemberitaan yang tidak sesuai dengan data dan fakta.

Referensi :

https://www.bps.go.id/

https://www.bi.go.id/id/statistik/indikator/data-inflasi.aspx

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun